Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Tinggal beberapa hari lagi pesta pernikahan Reno dan Juwita akan di lakukan. Vano fokus bekerja agar bisa menghadiri pesta tersebut, ia tidak mendapatkan info apapun yang mencurigakan tentang Reno dari anak buahnya.
"Jadi benar Reno mencintai Juwita. Baiklah aku akan coba menerima." gumam pria itu sambil membubuhkan tanda tangan pada berkas di tangannya.
Ngomong-ngomong Vano juga belum mencari baju untuk menghadiri pesta tersebut. Niat nya ia akan mencari nya nanti selepas pulang dari kantor.
"Tuan, saya boleh pulang lebih awal kan?"
"Apa tidak bisa ketuk pintu?"
Yuna tidak bisa menutupi rasa sedihnya, ia kaget begitu dikabari jika Ayahnya jatuh dari kamar mandi dan sekarang ada di rumah sakit. "Maaf, Tuan. Urgent!"
"Urgent apa? hari ini kita sangat sibuk."
"Ayah saya jatuh di kamar mandi dan sekarang masuk rumah sakit."
"Apa?"
"Jadi saya boleh pulang lebih awal kan?" pinta Yuna yang air matanya sudah turun membasahi pipinya. Vano merasa kasihan pun menganguk. "Pulanglah!"
"Terima kasih." tanpa menunggu lama Yuna langsung melesat menuju rumah sakit tempat ayahnya di rawat. Gadis itu sangat kalut, takut terjadi sesuatu pada ayahnya. "Pah bertahan pah." gumamnya sambil menggigiti jemari nya sendiri selalu seperti itu saat ia di serang panik.
Begitu sampai ternyata semuanya sudah ada di sana.
"Ma, apa yang terjadi?"
"Sudah Nak! ngga papa kok. Papa sudah stabil kok." Ujar Reyhan mengusap pipi putrinya yang basah.
Reyhan sendiri merangkul adiknya duduk di depan kursi tunggu. "Udah dek, jangan nangis!"
"Tapi Papa."
"Papa baik, kakak janji." Yuna berusaha menghentikan tangisnya meski masih kesulitan karena terlalu khawatir.
Vano sendiri begitu pekerjaan nya selesai langsung menuju rumah sakit guna menjenguk Adnan. Ia juga sudah mengabari Ayah dan ibunya, kalau memungkinkan mereka akan datang tapi mengingat kampung halaman Adnan yang letaknya jauh di luar kota mungkin mereka akan sampai malam hari. Vano berjalan dengan langkah tenang sambil membawa bingkisan di tangannya, ia melihat Yuna yang tidur sambil duduk di ruang tunggu. Penampilan sekretaris nya itu sangat kucel sekarang.
"Ekhem.." Vano berdehem karena tidak menemukan anggota keluarga lain namun Yuna masih saja menatap matanya. Akhirnya Vano memutuskan untuk duduk dan menunggu.
Ia menatap gadis yang usia nya jauh lebih tua darinya tampak keletihan.
"Tuan muda." Reyhan yang baru selesai sholat isya kaget melihat ada Vano di depan ruang rawat ayahnya.
"Tuan muda, apa anda sudah lama menunggu?"
"Tidak juga, aku baru sampai Kak."
"Syukurlah, silahkan duduk lagi Tuan muda."
"Eh iya." Tidak lama Sarah juga muncul membawa bingkisan di tangannya mengingat anaknya belum ada yang makan malam. "Eh ada Tuan muda Vano."
"Iya Tante. Saya datang untuk menjenguk Om Adnan."
"Repot-repot segala padahal Tuan muda sangat sibuk."
"Tidak repot kok, Tante. Oh yah bagaimana kondisi Om Adnan?"
"Sudah lebih baik, suami Tante hanya syok dan tidak ada yang serius."
"Alhamdulillah kalau begitu."
Yuna terbangun karena terganggu dengan orang-orang yang mengobrol di sekitarnya, gadis itu kaget begitu membuka matanya ada wajah galak atasanya berada di sampingnya.
"Loh Tuan? kok bisa di sini?" Tunjuk Yuna ke muka Vano sontak langsung mendapat teguran dari kakak pertama nya. "Dek."
"Boleh saya masuk?"
"Boleh Tuan muda, silahkan!" Vano masuk ke dalam ruangan dimana ada Adnan yang terbaring lemas di atas brankar.
"Tiduran saja Om." Adnan tersenyum tipis.
"Anda datang Tuan muda."
"Iya, lain kali hati-hati Om."
"Namanya juga sudah tua, pandangan Om mulai rabun dan tubuh Om sakit-sakitan sekarang." Vano mengangguk paham, ia menatap orang yang sudah mengabdi pada kakek dan juga Ayahnya seumur hidup dengan pandangan lembut.
"Tuan Wira dan Nyonya bagaimana kabarnya, Tuan?"
"Baik Om, alhamdulillah mereka sehat."
"Syukurlah, apa Tuan Wira sudah sembuh?" Vano mengangguk singkat membuat Adnan terharu.
"Syukurlah akhirnya Tuan Wira tidak menderita lagi.
"Om Adnan jangan pikirkan orang lain terus, pikirkan juga kesehatan Om."
"Iya Tuan muda, terima kasih sudah repot menjenguk saya."
"Sama-sama." Setelah berbincang sejenak Vano pamit. Vano memesan hotel untuk menginap malam ini, sebelumnya ia mengirim pesan pada Yuna kalau ia memberi cuti pada wanita itu sepuasnya sampai Adnan sembuh.
Yuna tersenyum membaca pesan singkat dari Tuan muda pemarahnya ternyata orang itu punya sisi baiknya juga. "Cie-cie kenapa senyum-senyum Dek?" goda Reyhan sambil mencolek pinggang Yuna.
"Apaan sih kak, jail banget."
"Chat sama siapa? kamu ada pacar Dek, kenalin dong sama kakak."
"Hhhmmm pacar apa sih kak, ini dari Vano dia ngasih cuti aku sepuasnya."
"Baik juga Tuan muda."
"Baik apanya, kakak ngga tau aja gimana kelakuan nya di kantor. Bikin pusing."
"Hahahaa, masa sih!"
"Ih iyah kak, Percaya deh! Heran kak Alden kok bisa tahan ya selama ini."
"Kirain kamu suka sama Tuan muda."
"Oh my god kayak ga ada cowok lain aja."
"Hati-hati Dek, entar kamu bucin lagi."
"Amit-amit!" Yuna menggetok kepala nya sendiri dengan tangan ke bangku yang didudukinya.
**
Jauh di Bandung Vani temu kangen bersama sahabat-sahabat lamanya.
"Ih makin cantik aja sih kamu Van." Dona memeluk Vani dan mengunyel-ngunyel pipi temannya gemas.
"Tangannya dong, bestie."
"Hehe sorry habisnya lo gemesin sih," Vani memesankan makanan sekalian menunggu Juwita dan Sisi.
"Anak lo mana Van, kok nggak di bawa."
"Ada sama Mak lampir."
"Heh mulutnya yang sopan bu."
"Lo gak tau sih, maknya Devan nyebelin banget." Vani jadi badmood sendiri mengingat mertuanya yang entah kapan berhenti bersikap menyebalkan.
"Ya namanya juga mertua Van."
"Entar kalo lo nikah tau sendiri rasanya."
"Sorry deh."
"Gue selalu salah dimata mertua! bikin kesel deh."
"Ya udah jangan marah-marah. Kita kan mau senang-senang." Tidak lama Sisi dan Juwita datang, suasana makin riuh apalagi Sisi membawa tiga buntut nya. "Ih ini siapa si?"
"Anak gue lah, masa anak orang gue bawa." Vani gemas sendiri, Vani mengangkat anak Sisi dan memangku di pangkuannya. "Nama kamu siapa cantik?"
"Cantika, Tante."
"Wah namanya benar-benar cantik ternyata."
"Ah tau gitu gue aja aja tadi Sheril sama Axel." Sisi tersenyum tipis.
"Ya ampun Juwita, gak nyangka banget lo bakalan nikah, padahal gue pikir lo bakalan jadi kakak ipar gue." Ujar Vani membuat Juwita menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya, takdir kan nggak ada yang tau Van, memang bukan jodohnya. Kamu apa kabar?"
"Alhamdulillah sehat. Duh makin adem aja sih lo kayak mama dedeh." canda Vani karena hijab yang Juwita kenakan semakin besar.
"Aku masih terus belajar."
"Mantap ukhti, lanjutkan!" Mereka lanjut mengobrol membahas apapun selama terpisah sambil makan juga. Vani senang bisa berkumpul di sini rasanya ia ingin sekali tinggal di bandung saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...