Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 19
Tidak ada nilai tawar, Vano pun berangkat ke kantor bersama Paulina. Di kantor masih sepi, karena terlalu semangat saat ini baru jam tujuh.
"Mama menunggu di ruangan saja. Nanti kalau Mbak Jamu sudah tiba aku suruh dia masuk, Ma" Vano mengantar Paulina ke ruangan.
"Iya" Paulina duduk di sofa lalu menyalakan televisi.
Sementara Vano melangkah ke ruangan, tetapi ketika menekan handle pintu masih dikunci. Sudah dia bayangkan di dalam ruangan pasti masih berantakan, cleaning service saja belum datang apa lagi skretaris. Seharusnya sebelum Vano tiba ruangan sudah bersih. Padahal dia akan menyelesaikan pekerjaan yang selalu tertunda karena selama beberapa hari ini diganggu oleh Dona. Dengan perasaan kesal, Vano kembali ke ruangan Paulina.
**************
Di tempat yang berbeda, sejak Slamet pulang ke rumah tadi malam, tidak ada yang bicara. Bahkan Slamet pun tidur terpisah di kamar tamu. Namun begitu, Slamet yang sedang membuat mie instan untuk sarapan pagi ini bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dua mangkok Mie instan sudah tersedia di meja makan.
"Pagi-pagi begini makan mie instan, kembung nanti" Sewot Ranti, sambil melengos tetapi tanganya tak urung ambil garpu. Dia suap mie instan dengan jumlah yang banyak hingga mulutnya penuh. Menandakan bahwa dia tidak suka dengan sajian pagi itu.
Slamet tahu akan hal itu, tetapi dia tidak menunjukkan perasaan iba pada Ranti yang justru akan menambah besar kepala istrinya itu. Di meja makan diwarnai ketegangan. Sesekali Slamet memperhatikan Ranti yang tengah menuang saos sebanyak-banyaknya ke dalam mangkok mie instan. Agar mulas sekalian dan mendapat perhatian dari suaminya.
"Kalau gajian bulan besok, uangnya harus dikasih aku semua," ucap Ranti setelah meneguk air putih. Hidung dan bibinya merah karena menahan pedas.
"Tidak bisa begitu lah, gaji aku hanya sedikit, uang itu aku harus bagi-bagi. Makannya kamu harus bisa hemat Ranti. Gaji aku di kantor itu hanya tiga juta. Untuk kamu dua juta, untuk ibu, untuk bensin dan lain-lainnya satu juta" jujur Slamet. Slamet berusaha untuk berbicara baik-baik. Jika bisa mengelolanya uang tersebut cukup untuk makan berdua satu bulan, walaupun seadanya. Tetapi uang yang Slamet berikan belum sampai dua minggu sudah habis.
Ranti merengut kesal, jika tahu bahwa Slamet hanya bekerja sebagai cleaning service, tentu saja Ranti tidak akan mau menikah dengan Slamet.
"Atau, kamu belajar mencari uang sendiri. Bukan untuk kebutuhan sehari-sehari kok, setidaknya bisa kamu gunakan untuk beli paket data" sindir Slamet. Dia tahu istrinya gila main game yang menghabiskan banyak data.
"Iya, Iya! Nanti aku jualan, memang mantan istrimu doang yang bisa cari duit" Ranti kembali sewot. Jika dia tidak menjawab lebih dulu. Ujung-ujungnya suaminya itu akan membandingkan dirinya dengan Mia.
"Aku berangkat" dingin Slamet, berpesan akan ada mobil pick up yang akan mengangkut barang-barang Mia. Slamet juga mengatakan telah meminjam pick up temannya agar mengembalikan perabot Mia. Dia tidak mau keenakan menggunakan fasilitas Mia yang masih berada di rumah ini.
"Enak saja, sudah aku bilang kan Mas, tidak akan melepaskan fasilitas di rumah ini hanya untuk mantan istri kamu itu," Seketika Ranti berdiri dari kursi. Mulutnya mencak-mencak mengeluarkan kata-kata kasar.
"Kamu jangan egois Ranti" Slamet yang akan berangkat pun akhirnya tertunda.
"Kamu pikir aku punya apa di rumah ini? Bahkan rumah ini pun aku hanya memiliki setengah. Setengahnya nanti akan aku kembalikan kepada Mia," tutur Slamet tidak mau menutup-nutupi lagi. Slamet lalu pergi, membiarkan Ranti yang berteriak seperti orang gila.
"Awas! Kamu Mia!" Ranti berteriak.
**************
Di lorong lobi yang menuju kamar untuk ganti pakaian cleaning service. Seorang pria berlari kencang menuju ruangan itu. Dia takut ketahuan atasan lalu dimarahi karena terlambat.
"Hai kamu" Seorang pria yang tak lain Supervisor cleaning service mendekati pria yang wajahnya sudah menciut ketakutan, dan hanya bisa mengucap kata maaf. Karena ribut dengan istrinya di rumah, alhasil Slamet terlambat masuk kerja.
"Kenapa kamu sampai terlambat?" Bos pun membentak.
"A-Anu, macet Pak," ucapnya tebata-bata, sambil menunduk memandangi lantai keramik yang masih berdebu.
"Jangan jadikan alasan macet, cepat bekerja,"
"Baik Pak, permisi" Slamet belari ke kamar ganti dengan perasaan sedikit lega, karena lepas dari omelan atasan. Setelah salin baju, Slamet ambil peralatan, kemudian naik ke lantai tujuh. Memang di sana Slamet di tempatkan. Tentu saja menjadi bahan sindiran teman-teman karena yang lain sudah menyelesaikan beberapa ruangan, Slamet baru datang. Slamet tidak mau menjawab karena memang salah.
Satu jam kemudian, Slamet sudah pindah ke depan ruangan Vano. Saat sedang mengepel mendengar pintu ruang kerja Vano dibuka. Dia mengangkat kepala menatap Mia yang muncul dari ruangan tersebut sambil menggendong bakul. Slamet tersenyum, kakinya maju mendekati Mia hendak mengatakan bahwa pagi ini akan ada orang yang mengantar barang ke rumah Mia. Namun, seketika Slamet berhenti kala di belakang Mia muncul Vano yang mengikuti Mia.
Sementara Mia tidak menghiraukan Slamet, melewatinya begitu saja.
"Kenapa ruangan saya belum kamu bersihkan" tegas Vano menatap Slamet tajam.
"Kamu pasti terlambat kan! Dasar pekerja malas" Vano kesal, karena peraturan di kantor ini cleaning service, mau Office harus tiba lebih awal.
"Maaf Tuan" Slamet lagi-lagi kena marah. Memang sudah nasibnya pagi ini sudah kena damprat banyak orang.
Vano membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi begitu tatapan matanya tertuju kepada Mia yang tengah memperhatikan dirinya dengan Slamet. Vano pun akhirnya meninggalkan Slamet. Slamet hanya bisa meneguk saliva, ketika menatap Vano yang berjalan bersebelahan dengan Mia hendak ke parkiran.
"Saya pesan ojek saja Mase" kata Mia berubah pikiran ketika tiba di parkiran, padahal di ruangan tadi Vano sudah berhasil mengajaknya pulang bareng.
"Jangan membantah terus, kamu tidak ingat pesan Mama," Vano yang sudah membuka pintu mobil tidak mau dibantah dan minta Mia agar naik.
"Tapi saya takut Dona marah Mase"
"Takut kenapa? Walaupun suka ketus, Dona tidak pernah menampar pipi orang" potong Vano.
"Bukanya saya takut ditampar Dona Mase, tetapi saya yang takut tangan ini kelewat tidak sabar lalu meninju wajah dia" Mia greget sambil mengepal.
Vano tercengang, tetapi tetap memaksa Mia masuk. Namun, ketika Mia meletakan bakul di bagasi matanya menangkap ban bagian belakang mobil Vano kempes.
"Mase lihat" Mia nununjuk ban yang tertancap paku hingga kempes parah.
Vano berdecak kesal melihat keadaan ban, lalu akan ke bengkel mengganti ban tersebut. Karena Vano belum pernah mengganti ban sendiri.
"Tidak usah ke bengkel, Mas, lama"
"Lalu?" Vano melirik Mia di sebelahnya.
"Biar saya yang mengganti"
"Hahaha..." Vano tertawa lebar mendengar Mia yang akan mengganti ban tanpa ragu.
"Hais, Anda meremehkan saya. Mana alatnya?" Mia lalu kembali ke bagasi, ketika meletakkan bakul tadi sempat melihat banyak alat untuk keperluan melepas ban.
Vano hanya diam memperhatikan Mia yang mengangkat kain kebaya hingga terlihat celana panjang di dalam, kemudian berjongkok.
Tangan kecil itu mengendurkan baut roda dengan kunci, kemudian ambil dongkrak mengangkat mobil dari permukaan aspal.
Mata Vano melebar, tidak percaya bahwa Mbak Jamu akan mampu mengerjakan pekerjaan seperti itu. Mia kuat menahan bobot mobil yang berat itu terlihat ringan. Dengan ban serep Mia mengganti ban yang sudah rusak.
"Alhamdulillah... selesai" Mia tersenyum, pandanganya beralih kepada Vano yang masih bengong. Mau tidak percaya bahwa Mia melepas dan memasang ban dengan cepat, tetapi dia melihat dengan mata kepala sendiri.
"Terimakasih" ucap Vano lalu naik ke depan menyalakan mesin.
Mereka tidak tahu jika tidak jauh dari tempat itu ada seseorang yang mengintai dengan mata merah menahan emosi, karena rencananya gagal.
Vano pun akhirnya menjalankan mobilnya, sebenarnya dia ada janji bertemu rekan bisnis di salah satu Cafe, tetapi mengantar Mia lebih dulu.
"Oh iya Mase, tadi ada yang memesan kue 3000 box. Saya senang sekali" Mia tersenyum melirik Vano yang tengah menyetir.
"Syukurlah" Vano menjawab seolah tidak tahu apa-apa.
Mia tidak tahu jika orang itu suruhan Paulina dan Vano sendiri agar memesan kue dari Mia. Tiba di gang menuju rumah Mia, tanpa diberi tahu Vano belok kanan.
"Loh, kok Mase tahu kalau saya tinggal di daerah ini?" Mia terkejut darimana Vano tahu tempat tinggalnya.
"Itu tidak penting" pungkas Vano, karena Mia sudah tiba di gang yang tidak jauh dari rumahnya.
Setelah mengucap terimakasih kepada Vano, Mia memperhatikan mobil Vano hingga menjauh, kemudian berjalan ke rumah yang hanya tinggal beberapa meter. Mia terkejut ketika barang-barang miliknya dari rumah lama sudah berada di teras.
"Mia... tadi ada yang mengantar barang-barang kamu" lapor Putri.
"Iya Mbak, pasti Slamet yang mengirim furniture ini" Mia menoleh Putri yang hanya mengangguk, lalu pamit masuk karena membawa jemuran yang baru dia angkat.
Mia merogoh kunci dari saku lalu memasukan ke lubang kunci.
Buk.
Bogem keras mendarat di tengkuk Mia, seketika dia berteriak. Hanya dalam hitungan detik, Mia pun ambruk ke lantai.
...~Bersambung~...