Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Thanks Ya, Cantik.
Sejak tadi dia ingin melarikan diri, jelas saja begitu mendapat perintah Azkara segera berlalu dengan langkah panjang. Dia mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya dengan jemari, rahang Azka mengeras dan tidak bisa dipungkiri dia kesal sekali.
Walau sudah dia duga papanya akan marah, tapi pukulan yang diberikan rasanya keterlaluan dan hal ini tidak bisa Azkara terima. Sayangnya, tidak peduli sekesal apapun Azkara, dia memang tidak memiliki hak untuk membalas perbuatan papanya.
Satu-satunya hal yang bisa Azkara lakukan saat ini ialah menerima, tanpa membalas tentu saja.
"Azkara ...."
"Hem?" Langkah Azka terhenti, dia beralih menatap seseorang yang menghampiri dari arah berlawanan.
"Kamu diapain? Katakan sama mama," pinta Mama Mikhayla menangkup wajah sang putra dengan kedua tangannya.
"Mama kenapa di sini? Bukannya tad_"
"Jawab dulu, Mama tidak minta kamu untuk bertanya, Azkara," desak Mama Mikhayla menatap sedih ke putra kesayangannya itu.
Belum sempat Azkara menjelaskan, mata wanita itu sudah berkaca-kaca tatkala melihat darah di sudut bibir putranya. Mikhayla hanya memiliki dua anak, keduanya begitu dia cintai melebihi segalanya.
Setelah Zavia menikah, Azkara semakin dimanja. Anaknya pulang malam saja Mikhayla rela mencari kemana perginya. Walau memang agak terkesan seperti ibu-ibu kasar yang tak segan membawakan senjata andalannya, tapi percayalah rasa sayang Mama Mikhayla seluas itu pada Azkara.
Tidak heran jika sewaktu Azkara menghilang setelah pamit ke Yogya dia seperti akan gila hingga ribut besar lantaran sang suami mengatakan tidak perlu khawatir berlebihan.
Kini, dengan jelas dia melihat putranya sampai berdarah. Sebagai seorang ibu yang mencintainya, Mikhayla adalah orang pertama yang tidak terima.
"Bagian mana saja yang dipukul?"
"Sini saja, Ma," jawab Azkara lembut dengan harapan mamanya tidak akan menggila.
"Kenapa bisa dipukul? Hem?"
Azkara agak sedikit bingung, jika dia jujur besar kemungkinan akan lebih parah. Akan tetapi, bila tidak jujur juga salah. Karena itulah, pada akhirnya Azkara mengatakan hal yang sama pada Mama Mikhayla.
Awalnya Mama Mikhayla kaget tentu saja, tapi Azkara berusaha menjelaskan dengan bahasanya dan berhasil melunakan hati sang mama setelah berucap. "Jangan marah dulu, Mama harus dengerin baik-baik."
Mama Mikhayla kembali mendengar dengan seksama penjelasan singkat Azkara tanpa menggunakan emosi lebih dulu. Karena dia tahu, semua bukan kemauan Azkara dan tahu betul putranya tidak sekeji itu.
"Okay, terus gimana? Papa marah karena itu?"
"Iya lah, bukan cuma marah tapi sepertinya sangat kecewa karena aku menyakiti perempuan, Ma," jelas Azkara menghela napas panjang.
"Kecewa?"
"Iya, karena tadi papa sampai bilang 'dimana otakmu sampai berani mengancam seorang perempuan, Azkara?!!' begitu, Ma," ungkapnya tak segan-segan menirukan bagaimana cara Papa Evan bicara dan marah padanya.
Mama Mikhayla mengerjap pelan, wanita itu menoleh ke arah ruang kerja sang suami sembari berkacak pinggang. "Serius papamu bilang begitu?"
"Iya, Mama, sumpah!!"
"Wah, berani-beraninya ... papamu lupa bagaimana dia dulu atau gimana."
"Memang papa kenapa?"
"Kamu lupa gimana papamu awal-awal dapetin Mama?"
Mulut Azkara menganga, dia menutup mulut dan baru sadar langkahnya menghadapi sang papa salah. "Shiit, bisa-bisanya aku lupa!! Tahu gitu kubalikkan semua faktanya ... Papa menculik Mama, 'kan dulu?"
"Iya, parahnya lagi ngancem mama dan bilang keluarga mama bakal dibunuh satu-satu," tambah Mama Mikhayla kembali membahas cerita yang paling disukai Azkara tentang masa muda kedua orang tuanya.
"Tuh!! Bukankah itu lebih kejam?"
"Bukan lagi, dan kamu jangan lupa bukan cuma mama yang diancam, tapi Opa juga ikutan kena," seloroh Mama Mikhayla semangat sekali berbagi cerita dengan teman curhatnya ini.
"Wah parah si Evan, dia sampai begitu tidak sadar. Sementara aku dipukul sampai berdarah gini, masa Mama rela?" tanya Azkara menatap mamanya lekat-lekat.
"Iya tidaklah, mana mungkin Mama rela."
Merasa ada celah untuk balas dendam lewat mamanya, jelas Azkara akan memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya.
"Marahin gih Ma," bisik Azkara mulai menghasut sang mama untuk bertindak segera.
Lucunya, Mama Mikhayla semudah itu termakan hasutan putranya. "Pasti, pasti Mama marahin ... awas saja dia, itu kepalanya wajib digetok biar sadar diri," pungkas wanita itu melangkah ke ruangan kerja sang suami.
BRAAAAK!!
Sejak tadi Azkara pantau dari kejauhan, dan begitu mendengar suara pintu ruang kerja sang papa dibanting dengan tenaga dalam barulah dia berlalu naik ke kamarnya. "Bagus!! Perang dunianya di mulai, fighting, Papa!!"
.
.
Tidak peduli apa yang terjadi di ruang keria papanya, Azkara berlari sekuat tenaga lantaran tidak ingin ikut terseret dalam percekcokan kedua orang tuanya.
Tujuan awalnya masuk kamar bukan lagi sekadar menghampiri sang istri, tapi demi menghindari papanya. Jantung Azkara berdegub kencang, hingga tiba di kamar pria itu mengunci pintu sampai dua kali.
Napas Azka masih tak karu-karuan, dia terduduk sembari bersandar di pintu kamar. Hingga selang beberapa lama barulah Azkara sadar ada yang janggal.
"Shanum?"
Azkara berdiri, sempat berharap ketika masuk kamar akan disambut sang istri, tapi kini nyatanya tidak terjadi. Mungkin karena terlalu lama di bawah, ditambah Shanum yang terlalu lelah hingga sebelum Azka masuk wanita itu sudah terlelap dengan posisi duduk di lantai dan bersandar di tepian ranjang.
Perlahan Azkara dekati, selelah itu istrinya sampai bisa tidur sembari duduk dengan ponsel yang ada di tangannya. Cukup lama Azka pandangi, Shanum tidak lagi menggunakan hijabnya, tapi piyama yang digunakan tetap tertutup.
Berawal dari sekadar memandangi, naluri Azkara perlahan menuntun tangannya untuk mengusap pelan wajah cantik sang istri. "Thanks ya, Cantik ... aku seperti mimpi dapat istri seperti kamu," gumam Azkara tersenyum getir.
Bagaimana cara Shanum membelanya di hadapan keluarga masih terus terbayang dalam benak Azkara. Sungguh, memiliki pendamping seperti Shanum memang sempat dia impi-impikan, tapi itu dulu dan Azka memilih mundur karena merasa tidak pantas, pun hingga detik ini.
Tak tega melihatnya tertidur begitu, Azka meraih ponsel sang istri dan membopongnya dengan hati-hati. Baru saja selesai Azka merebahkan tubuh sang istri ke tempat tidur, wanita itu terjaga dan perlahan membuka mata.
"Maaf, Mas, aku ketiduran."
"Tidak apa, tidurlah lagi," ucap Azka dengan senyum hangat di sana.
Jarak mereka begitu dekat, Shanum bahkan bisa melihat dengan jelas ketampanan Azkara. Bulu mata lentik dan alis tebalnya selalu membuat Shanum salah fokus.
"Kamu berdarah, pasti ini sangat sakit,'kan?" tanya Shanum usai mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibir sang suami yang tampak terluka.
"Tidak, jangan khawatir, aku sudah bias_"
Praaank!!
Tatapan mereka sontak bertemu, sama-sama terkejut sementara Shanum menggigit bibirnya. Walau memang samar, tapi tetap saja terdengar ada yang pecah di dekat pintu kamar.
"Suara apa itu, Mas?"
"Hem? Kucing mungkin, jangan hiraukan ... kita tidur saja," titah Azkara bergegas naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut hingga ke atas lehernya.
Gelagatnya terlihat sekali mencurigakan, Shanum jelas saja bingung. Terlebih lagi tatkala Azkara memeluknya erat-erat.
"Mas, apa tidak lebih baik dicek dulu? Kalau maling gimana?"
"Tidak akan, ayo tidur ... aku lelah sekali," pinta Azka dan untuk yang kali ini agak sedikit mencurigakan bagi Shanum.
"Tidur?"
"Hem? Kenapa memangnya?"
"Kamu tidak meminta itu?" tanya Shanum sangat amat ambigu, tapi sebenarnya mampu Azkara tangkap.
"Itu? Itu apa?"
"Ya itu, bukankah kamu memintaku tidak tidur dulu untuk itu?" Shanum mendongak dan melayangkan tatapan polos yang membuat jantung Azkara berdebar hebat.
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num