Diana, gadis manis yang harus merasakan pahit manisnya kehidupan. Setelah ayahnya meninggal kehidupan Diana berubah 180 derajat, mampukah Diana bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aprilli_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Tahun ajaran baru, teman baru
Setelah banyaknya prahara yang terjadi beberapa hari yang lalu, kurang dari satu minggu genap 100 harinya Buyut.
Bude yang notabene pandai membuat berbagai macam kue basah dan kering dipasrahi membuat kue di acara khitanan anak saudaraku dan selama tiga hari berturut-turut Bude dirumah saudaraku sedangkan Ibu hanya kondangan dan membantu sekadarnya saja, setelah sepulang dari kondangan Ibu bercerita kepadaku.
"Ya Allah Na, apa Ibu salah jika mewujudkan uang Jasa Raharja itu berupa tanah?"
Aku pun bingung dengan maksud Ibuku tersebut
"Ada kejadian apa tadi dirumah Bude Lili, Bu?"
Mengatur nafas perlahan lalu Ibu mulai bercerita
"Disana Ibu menjadi bahan gunjingan dan banyak sekali omongan yang tidak mengenakan. Katanya Ibu terlalu serakah lah, terlalu inilah, itulah, padahal Ibu tidak minta sepeserpun uang dari Jasa Raharja itu Na,"
Aku yang paham akan maksud Ibu hanya menganggukkan kepala lalu berkata
"Sudah Bu jangan difikirkan yang terpenting Ibu tidak seperti apa yang mereka tuduhkan dan biar Allah yang membalas semuanya sekarang Ibu tenang ya jangan jadikan omongan miring itu beban untuk Ibu,"
Ucapku menenangkan dan Ibu menganggukkan kepalanya lalu Ibu memilih masuk ke dalam kamar.
Aku yang mendengar cerita Ibu hanya mengelus dada dan hanya mendoakan yang terbaik untuk Ibu.
H-1 acara tahlil untuk mengenang 100 harinya Buyut pada siang harinya Bude baru pulang dari rumah saudara niatnya Bude akan mandi dan mencuci baju lalu Bude masuk kedalam kamar mandi dan beberapa saat kemudian Nenek melihat apa yang Bude lakukan dan Nenek heran sendiri dengan tingkah Bude yang diluar logika tersebut, enggan bertanya Nenek memilih berlalu.
Satu jam lamanya Bude didalam kamar mandi lalu Nenek menghampiri Bude karena anak pertama Bude Lili menjemputnya, saat Nenek memasuki kamar mandi betapa terkejutnya Nenek melihat Bude sudah tidak sadarkan diri di dalam kamar mandi lalu Nenek memanggil Ayah.
"Ahmad... Tolong Mad... Kakak kamu tidak sadarkan diri!!"
Ayah yang mendengar teriakan Nenek seketika itu langsung menghentikan aktivitasnya dengan perlahan mencoba menggendong Bude namun Ayah tidak kuat menggendong Bude seorang diri lalu Ayah meminta bantuan kepada rekan kerjanya setelah itu Ayah dan rekan kerjanya menggotong Bude menuju kamarnya.
Ibu yang melihat Bude tidak sadarkan diri mendekat lalu mencari denyut nadinya namun tidak ditemukan denyutnya sama sekali nafasnya pun tidak ada dengan suara lirih namun pasti Ibu berkata
"Kakak sudah tidak ada Bu,"
Ucap Ibu kepada Nenek dengan suara lirih, bak kerasukan setan Nenek menjerit sejadi-jadinya dan melontarkan kata yang tidak mengenakan kepada Ibu.
"Puas kamu, Iya, Puas kamu melihat Kakakmu meningga, Ini kan yang kamu inginkan?!!"
Ibu terkejut mendengar penuturan Nenek, sebisa mungkin Ibu meredam emosi dan menahan air matanya agar tidak jatuh.
Aku yang baru pulang sekolah terkejut melihat banyak orang berkerumun didepan rumah sejurus kemudian aku berlari kedalam rumah dan aku melihat Bude sudah terbujur kaku diatas pembaringan.
Aku mencari Kak Cahya ternyata Kak Cahya belum pulang sekolah dan aku melihat Bang Rohman menangis tersedu-sedu sambil memeluk tiang, aku tidak kuasa melihatnya lantas aku memilih menunggu Kak Cahya di depan gang.
Dari kejauhan aku melihat siluet Kak Cahya lalu menghampirinya, belum juga mengucapkan sepatah kata tetangga beda RT memberi warning untuk tidak memberitahu Kak Cahya terlebih dahulu.
"Jangan diberitahu dulu Nak, kasian Kakakmu,"
Ucapnya tanpa tedeng aling-aling dan aku yang semula membuka mulut kemudian mengatupkan nya kembali.
"Ada apa sih Na, Kok orang itu bicara seperti itu?"
Tanya Kak Cahya kepadaku lalu aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Ayo Kak kita pulang,"
Ujarku sambil menggenggam tangan Kak Cahya.
"Tumben kamu seperti ini, Apa ada masalah?"
Aku menghentikan langkah lalu menoleh dan menatap lekat-lekat paras manis tersebut.
"Tidak ada apa-apa Kak, ayo kita pulang,"
"Sebentar Na, kok di depan rumah ada banyak orang, ada bendera kuning juga, siapa yang meninggal Na?!"
Tanya Kak Cahya aku tidak kuasa memberitahu Kak Cahya akhirnya aku memilih menggenggam tangan Kak Cahya dan mengajaknya melangkahkan kaki agar sampai di depan rumah.
"Kakak lihat saja sendiri ya,"
Tanpa menjawab ku Kak Cahya langsung memasuki rumah, dilihatnya sang Ibu terbujur kaku diatas pembaringan sejurus kemudian memeluk sang ibu
"Mak... Mamak... Bangun Mak..."
Aku tidak kuasa melihat Kak Cahya seperti itu dan aku memilih keluar dari ruangan tersebut Ibu mencoba menghubungi saudara dari pihak Ayah Kak Cahya karena anak kedua Bude ikut Ayahnya.
Ternyata anak kedua Bude tidak bisa datang hari ini ke kota B dan baru bisa datang keesokan harinya sedangkan anak pertama Bude yang ikut kerja dengan Pamannya (dari pihak Ayah) memutuskan pulang.
Bang Ian (anak pertama Bude) sampai dirumah setelah menempuh 3 jam perjalanan.
Setelah selesai dikafani dan di sholati aku tidak ikut prosesi pemakaman aku hanya menemani Kak Cahya yang larut dalam kesedihannya.
"Kak sabar ya, Kakak jangan merasa sendiri ada Aku, Ibu, Ayah, Nenek, Bang Rohman, Andi dan Lea disini,"
Ujarku lalu memeluk Kak Cahya begitupun sebaliknya Kak Cahya berbalik memelukku erat.
"Na, Kenapa secepat ini Mamak meninggalkan Kakak pergi Na, Kakak ikut siapa terus Na, Kamu tahu sendiri dari kecil Kakak tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, cuma Mamak Na.. Cuma Mamak yang Kakak punya Na !"
Aku tidak kuasa membendung air mataku lalu aku memeluk erat Kak Cahya sambil mengelus pelan rambut Kak Cahya.
Hari kedua tahlil Bude bersamaan dengan 100 harinya Buyut seperti biasa banyak sanak saudara dan tetangga yang kifayah dirumah dan aku tidak sengaja mendengar cerita Ibu.
"Satu minggu sebelum meninggalnya Kak Tifa aku bermimpi ada dua jenazah didepan rumah..."
Aku tidak mendengar semua cerita Ibu hanya sepenggal cerita itu yang aku dengar dan aku memilih berlalu.
Minggu berganti bulan tidak terasa tahun ajaran baru telah tiba, Kak Cahya memilih ikut Datuknya yang berada di Pulau B, Kak Cahya yang naik ke kelas 11 memilih pindah sekolah lalu aku dan Bang Rohman naik ke kelas 4 SD.
Tahun ajaran baru dimulai saat memasuki hari pertama sekolah di kelas kita kedatangan teman baru ternyata temanku saat TK dahulu dan Aku yang sudah mengenalnya sedari TK tidak canggung lagi terhadapnya.
Friska namanya dia termasuk anak yang humble, friendly dan ceplas-ceplos.
Hari pertama masuk sekolah Friska yang notabene Ayahnya bekerja di pabrik yang sama dengan Ayah Milen mengenal Milen juga.
Kami bertiga berteman baik dan aku yang hanya dekat dengan Milen akhirnya mempunyai teman dekat lagi yaitu Friska.
"Hai Na, masih ingat aku kan?"
Sapa Friska kepadaku lalu aku mengangguk kepala
"Ingat dong, anak yang tengil dan tidak ada kapoknya itu kan?"
Jawabku sambil tertawa terbahak-bahak
"Menyebalkan sekali sih jadi orang,"
Ujar Friska dengan wajah tengilnya, Milen yang bingung dengan interaksi kami pun akhirnya buka suara.
"Kalian sudah saling kenal, Kok aku tidak tahu ya?"
Dengan raut wajah penuh tanya Milen menodong pertanyaan itu kepada kami.
"Iyalah bagaimana tidak kenal, kita dulu teman TK, si Nana yang suka mencubit anak orang sampai nangis lalu ditinggal pergi,"
Jelas Friska dengan gamblang sampai aku malu dibuatnya.
"He Itu dulu ya saat masih TK sekarang aku tidak seperti itu lagi,"
Ucapku dengan mulut cemberut.
"Oh pantas kalian akrab sekali ternyata kalian berteman saat TK dulu,"
Kami berdua menganggukkan kepala dan lagi-lagi hidungku mimisan disaat waktu yang tidak tepat Milen melihatku menyeka darah yang mengalir dari hidungku.
"Na Kamu kenapa sih selalu mimisan, Apa kepala kamu pusing?"
Tanya Milen sambil menyodorkan tisu kepadaku
"Tidak pusing sih aku juga tidak tahu kenapa selalu seperti ini,"
Jawabku sambil menyeka darah yang keluar dari hidungku.
"Hati-hati kamu kena penyakit Leukimia lho Na,"
Ujar Milen yang membuatku bertanya-tanya apa itu Leukimia ?
"Tidaklah Len aku tidak mengidap penyakit apa-apa, aku dari kecil memang seperti ini mungkin aku kecapekan kali ya,"
Milen hanya menganggukkan kepala mendengar ucapanku.
"Ya sudah kamu istirahat saja jangan mainan dulu,"
"Oke Milen."
Jawabku mengakhiri percakapan kita, bel pulang sekolah telah berbunyi sejurus kemudian aku pulang kerumah dan sesampainya dirumah hatiku terasa hampa karena kehilangan beberapa anggota keluarga.
Saat aku menghidupkan televisi air mataku mulai menggenang mengingat kenangan bersama Kak Cahya.
Iya... Film yang saat ini kulihat adalah film favorit Kak Cahya yaitu drama Korea yang hits pada jamannya "Naughty Kiss". Film yang aku lihat itu bergenre romantis tapi air mataku selalu mengalir karena teringat dengan Kak Cahya.
Hari-hari ku lalui sebagaimana mestinya dengan kehadiran Friska aku melupakan sejenak kesedihanku dan Friska menjadi obat bagiku karena kekonyolannya membuatku tidak kuasa menahan tawa.
"Eh Na, kita main gobak slodor yuk,"
Ajak Friska kepadaku
"Ayo tapi kita harus cari teman lagi minimal 3 lawan 3,"
"Cuss Kita cari,"
Sambil menggenggam tanganku Friska mencari teman yang mau diajak bermain gobak slodor dan di depan kita ada kakak kelas yang duduk bersama temannya lalu Kami menghampiri mereka.
"Kak, mau ikut main gobak slodor dengan kami tidak, kami kekurangan anggota,"
Ucap Friska tanpa malu, aku yang notabene pemalu hanya menundukkan kepala.
"Boleh ayo main bersama,"
Ucap kakak kelas itu
"Oh iya Kak, namanya siapa Kak?"
"Namaku Faisal, panggil saja Icang,"
Ucap kakak kelas yang berkulit putih bak orang cina.
"Kalau namaku Burhan,"
Ucap kakak kelas yang berkulit kuning Langsat dan berambut cepak.
"Namaku Friska Kak kalau ini temanku namanya Diana panggil saja Nana,"
Ucapnya sambil mengulurkan tanganku agar berjabat tangan dengan Kak Icang dan Kak Burhan.
"Oke kita mulai permainannya dan kita harus berkubu dulu mau hompimpa apa langsung saja?"
"Hompimpa saja dulu biar enak,"
Ucap Kak Icang
"Oke, hompimpa alaihum gambreng mbok Ijah pakai baju rombeng kaleng bekas dombreng-dombreng,'
Aku dan Kak Icang sekubu sedangkan Friska sekubu dengan kak Burhan lalu Kak Icang suit dengan Friska, Kak Icang kalah otomatis aku dan Kak Icang menjaga pertahanan.
Setiap kubu yang menang harus melewati garis yang dijaga oleh kubu yang kalah, permainannya simple hanya lari dari garis pertama sampai garis terakhir setelah itu kembali lagi ke garis pertama, apabila setiap melewati garis tidak ada anggota yang tertangkap permainan masih berlanjut, apabila salah satu anggota tertangkap permainan berakhir dan kubu yang lain yang memulai permainan.
Kami bermain dengan riang gembira aku yang semula malu-malu merasa senang bermain dengan kedua kakak kelas tersebut sehingga bel telah berbunyi menandakan jam istirahat telah berakhir.
"Besok kita main lagi ya Kak,"
Ucap Friska kepada Kak Icang dan Kak Burhan.
"Oke Dik,"
Setelah Kak Icang dan Kak Burhan memasuki kelasnya aku merasa melupakan sesuatu ternyata aku melupakan Milen dan kulihat Milen menatapku dari kejauhan, aku merasa bersalah karena melupakan dia dan bersenang-senang dengan Friska.
"Len, kamu tadi dimana, aku mencari kamu tapi kamu tidak ada,"
Ucapku lirih
"Ada kok cuma kamu terlalu asyik dengan teman yang lain dan melupakan aku,"
Aku tidak enak hati mendengar penuturan Milen.
"Maaf ya Len janji besok kita main bersama ya kita main bersama kakak kelas dan ternyata asyik juga bermain dengan Kakak kelas,"
Ucapku dan kulihat Milen sedikit berbeda.
"Iya,"
Jawab Milen dengan nada dingin akupun tidak mengucapkan apapun lagi.
Keesokan harinya saat jam istirahat berbunyi Friska mengajakku menjemput Kak Icang dan Kak Burhan di kelasnya akupun mengajak Milen sesuai yang aku janjikan kemarin.
"Ayo Na kita jemput Kak Icang dan Kak Burhan di kelasnya,"
Sambil memegang tanganku Friska mengajakku menuju kelas 5 aku pun tidak lupa memegang tangan Milen dan sesampainya di kelas 5 Friska mengintip Kak Icang dan Kak Burhan apa ada di kelasnya atau tidak.
Ternyata Kak Icang dan Kak Burhan masih belum istirahat dan Guru kelas 5 belum memperbolehkan muridnya beristirahat walaupun bel telah berbunyi.
Banyak yang mengatakan bahwa wali kelas kelas 5 sangat tegas dan killer bahkan anak senakal apapun takut kepada beliau.
Mendengar selentingan kabar seperti itu membuatku takut dengan ke killer an guru tersebut dan aku berjanji pada diriku sendiri agar sebisa mungkin tidak membuat Bu Ratna naik pitam.
Kak Icang dan Kak Burhan keluar dari kelasnya lalu kami menuju lapangan.
"Kita main engklek yuk."
Ujarku dan semua menyetujui usulanku.
Engklek adalah mainan tradisional anak-anak yang berupa gambar delapan kotak dan satu gambar gunung, cara mainnya dapat diundi melalui hompimpa atau suit dan permainan ini harus menggunakan gaco (potongan genteng atau batu yang pipih).
Gaco dilempar pada kotak pertama, lalu pemain mulai melompat-lompat pada kotak-kotak tersebut kecuali kotak yang ada gaconya, kemudian pemain kembali lagi ke asalnya dengan satu kaki lalu mengambil gaco dan melemparkan ke kotak selanjutnya, seperti itu seterusnya.
Tidak terasa bel istirahat berbunyi menandakan jam istirahat pun telah berakhir kami memasuki kelas kami masing-masing.
Hari-hari berikut kami masih bermain mainan tradisional, seperti lompat karet, benteng-bentengan, gobak slodor, dan engklek.
Disekolah tidak ada kendala apapun namun dirumah ada pertengkaran antara Ayah dan Ibu.
"Selalu seperti itu, memang tidak ada kapok-kapoknya Ibumu itu Mas, aku mau tanya ke kamu siapa yang hutang sebanyak itu?!!"
Ibu meluapkan emosinya kepada Ayah dan aku yang semula ingin sesegera mungkin memasuki rumah hanya bisa termangu mendengar teriakan Ibu.
"Mas tidak tahu Dik, Mas tidak pernah berhutang kepada siapapun,"
Ujar Ayah dengan nada memelas.
"Aku yang tidak tahu buat apa uang itu dan aku juga yang harus membayar hutang ibumu itu, Ibumu memang tidak punya *tak ya, Anak dijadikan pundi-pundi tanpa melihat keadaan anaknya seperti apa, Ini terakhir kalinya aku membayar hutang Ibumu lagi, kalau sampai ada yang menagih lagi ke aku, siap-siap kamu keluar dari rumah ini!"
Tanpa menunggu jawaban dari Ayah Ibu memilih berlalu dan aku masuk ke dalam rumah. Kulihat Ayah menundukkan kepalanya sambil mengatur nafasnya aku memilih masuk ke dalam kamar dan memberi waktu kepada ayah untuk menjernihkan pikirannya.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya