Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Akan tetapi mereka memilih untuk menutupi perihal sikap Raka pada Nirma, karena jika diceritakan maka sama saja dengan membuka aib rumah tangga orang.
Selain itu, demi menjaga hubungan baik antara dua keluarga, dengan harapan bahwa kesabaran Nirma dapat membuka mata hati Raka.
Mengembalikannya seperti Raka yang dulu.
"Saya akan bicarakan nanti dengan Raka, Pak Ustadz. Maaf, kami memang belum sempat memberitahu Raka tentang kemungkinan ini, karena semuanya serba mendadak. Apalagi sekarang Nirma dalam keadaan sakit." jawab Pak Darren.
"Saya sangat mengerti, Pak Darren. Saya akan senang sekali kalau ternyata Nirma adalah anak Pak Vino yang hilang. Semoga Allah memudahkan semuanya dan menunjukkan kebenarannya."
"Aamiin." jawab Pak Vino dan Pak Darren bersamaan.
"Sekali lagi terima kasih sudah membukakan jalan untuk kami." ucap Pak Darren.
"Sama-sama, Pak Darren."
Pak Ustadz melirik Pak Vino yang sedari tadi tampak tidak tenang.
"Oh iya ... di dalam surat itu memang tidak ada petunjuk apa-apa tentang identitas Nirma maupun orang tuanya. Itu hanyalah sebuah surat titipan biasa. Tapi, saya sengaja menyimpannya karena berpikir mungkin surat ini akan berguna suatu hari nanti. Pakaian-pakaian Nirma saat datang ke pondok juga masih kami simpan semuanya."
Perhatian Pak Vino kini tertuju pada sepucuk surat di tangannya. Surat usang yang belum berani ia baca isinya.
Hingga ia mendapat tepukan pada bahunya, barulah ia tersadar.
"Apa mau aku saja yang baca?" tawar Pak Darren, menatap sang sahabat.
Pak Vino menghembuskan napas panjang, mencoba menguatkan hati.
"Tidak. Maaf, aku hanya sedikit ragu."
Akhirnya ia kembali membuka kertas putih yang sudah berubah kusam itu.
Ada doa yang terus mengalir dalam setiap hela napasnya. Doa yang tak pernah putus untuk putri kecilnya.
Baru membaca barisan pertama surat itu saja sudah membuat jantung Pak Vino seperti akan berhenti berdetak.
***
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh.
Pak Ustadz, maafkan kelancangan saya yang telah meninggalkan beban untuk Pak Ustadz.
Saya memberanikan diri membawa anak saya setelah mendengar bahwa pondok Pak Ustadz digratiskan untuk anak-anak yatim.
Anak saya, Nirma Salsabila adalah anak yang malang.
Dia tidak seberuntung anak perempuan lain di luaran sana, yang lahir dalam keluarga berkecukupan, yang memiliki seorang Ayah untuk melindungi, yang setiap hari dimanjakan dan dihujani kasih sayang, yang memiliki hunian hangat untuk tempat berlindung, yang bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan hari esok akan seperti apa.
Dia hanyalah seorang anak perempuan sebatang kara yang bertahan hidup di tengah dingin dan derasnya aliran sungai.
Seorang anak perempuan dengan luka yang tidak terlihat, yang selalu dihantui mimpi buruk dan ketakutan di setiap malamnya.
Nirma sama seperti anak perempuan lain, dia hanya tidak bisa berbicara setelah mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu, yang menyisakan trauma berkepanjangan.
Dan karena keterbatasan biaya, saya tidak bisa berbuat apa-apa untuknya.
Hari ini, karena sebuah alasan yang tidak bisa saya tuliskan, saya terpaksa meninggalkan dia.
Tidak ada tempat lain yang bisa membuat saya tenang selain di bawah naungan Pak Ustadz.
Jika Allah masih mengizinkan, suatu hari nanti saya akan kembali menjemput Nirma dalam keadaan yang lebih baik.
Jika pun kami tidak lagi berjodoh, kiranya Pak Ustadz bersedia menerima dan memberikan perlindungan kepada anak saya yang malang ini.
Semoga Allah selalu melimpahi Pak Ustadz sekeluarga dengan kemudahan dan rezeki yang berlimpah.
Aamiin.
Salam hormat dari saya.
Wassalam.
***
Pak Vino menitikkan air mata setelah membaca barisan kalimat yang tertuang dalam surat tersebut.
Selama beberapa saat waktu seakan berhenti bergulir. Ia larut dalam rasa sakit yang teramat dalam menikam jantung.
Menyayat begitu dalam.
Namun, di saat yang bersamaan ia merasakan bahagia tak terkira.
"Dia pasti anakku, Darren. Dia Zahraku yang hilang." ucap Pak Vino lirih diiringi derai air mata.
***
Usai shalat subuh, Pak Vino, Pak Darren dan Pak Ustadz kembali ke ruangan di mana Nirma berada.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi, suasana rumah sakit masih tampak lengang. Hanya terlihat beberapa petugas kebersihan yang sedang menjalankan tugasnya.
Ustadz Yusuf berserta Umi Fatimah memutuskan untuk pulang dulu ke pondok, sebab anak-anak di sana tidak ada yang mengurus.
"Kalau menurutku lakukan tes DNA saja. Tidak usah menunggu persetujuan dari siapapun lagi." usul Pak Darren yang sedang duduk di ruang tunggu bersama Pak Vino.
"Kadang, justru halangan itu datang dari arah tidak terduga."
"Aku juga berpikiran sama. Kalau begitu aku akan bicara dengan dokter pagi ini." jawab Pak Vino, setuju dengan usul Pak Darren.
"Keputusan yang tepat, tidak usah membuang-buang waktu. Bukankah tes DNA juga butuh beberapa hari untuk mengetahui hasilnya?"
"Insyaallah aku masih bisa menunggu, aku sudah terpisah dari anakku selama 13 tahun. Menunggu beberapa hari saja tidak akan terasa. Lagi pula, aku yakin dia adalah Zahraku. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah merasakan sesuatu yang berbeda."
Pak Darren menepuk pundak sang sahabat.
"Semoga hasilnya nanti sesuai dengan harapan kita."
"Aamiin." Pak Vino bersandar sejenak seraya menatap suasana sekitar. Ia lantas bangkit.
"Aku mau melihat Nirma sebentar."
"Silahkan. Aku akan menghubungi dokter yang menangani Nirma dulu, siapa tahu dia ada solusi."
"Terima kasih, Darren."
Pak Vino memasuki kamar untuk melihat Nirma.
Sejenak pandangannya tertuju pada Raka yang masih tertidur dengan kepala menelungkup di tempat tidur.
Ia mendekat dan berdiri tepat di sisi pembaringan.
Entah sadar atau tidak, satu tangannya terulur membelai puncak kepala Nirma. Pertama kali menyentuh gadis itu hatinya serasa hangat.
Meskipun belum ada kepastian bahwa Nirma adalah putrinya yang hilang, tapi naluri Pak Vino sebagai seorang Ayah berkata bahwa di dalam diri Nirma mengalir darahnya.
Nirma adalah bayi mungil yang ia gendong 19 tahun lalu, bayi mungil yang ia adzankan dengan penuh cinta.
Tangisan pertama Zahra saat terlahir ke dunia, bagaimana ia memanggil Papa untuk pertama kali, dan bagaimana ia merayu dengan manis saat memiliki sebuah keinginan.
"Papa tidak kasihan sama Zahra?" ucap Zahra kala itu, dengan tatapan penuh permohonan.
"Kasihan kenapa anak Papa?"
"Zahra tidak punya tas baru, Pa. Mau yang ini. Papa nih tidak sayang sama anaknya!" tuduh Zahra, membuat Pak Vino terkekeh.
"Ya sudah, nanti Papa belikan untuk senorita."
"Tidak mau nanti, Zahra mau sekarang, Papa! Kata Oma, kalau nanti-nanti itu seperti janji partai jadinya." Bibir mungil Zahra mulai mengerucut.
Pak Vino menyemburkan tawa kala itu. Rayuan manis si kecil Zahra selalu mampu membuatnya takluk dan tak kuasa untuk menolak.
Semua kenangan itu masih terpatri di hatinya. Mengantarkannya pada kerinduan yang begitu dalam.
"Senoritanya Papa ... kamu sudah dewasa sekarang, Nak."
***********
***********