Sarah harus menelan pil pahit, suami yang dicintainya malah menggugat cerai. Namun, setelah resmi bercerai Sarah malah dinyatakan hamil.
Kenyataan pahit kembali, saat ia akan mengatakan bahwa dirinya hamil, ia malah melihat mantan suaminya bersama teman wanitanya yang terlihat lebih bahagia. Sampai pada akhirnya, ia mengurngkan niatnya.
Sarah pergi dari kehidupan mantan suaminya. Akankah mantan suaminya itu tahu bahwa dirinya hamil dan telah melahirkan seorang anak?
Ini hanya sekedar hiburan ya, jadi jangan berkomentar tak mengenakan, jika tidak suka skip saja. Hidup itu harus selalu dibawa santai😊😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon febyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25
Sarah tiba di rumah bi Ami, karena ia harus menjemput Putra terlebih dulu. Lagi pun, kendaraannya memang di simpan di sana karena di rumah kontrakkannya terlalu sempit. Pas tiba di sana, biasanya anaknya sudah menunggu. Menyambut di depan pintu, menantikan kedatangan sang mama karena selalu membawa cemilan untuknya.
Entah kenapa bocah berusia lima tahun itu tidak ada di tempat biasa menunggu. Sarah membuka helm dan meletakkannya di di spion. Ia segera turun dan masuk ke dalam rumah bi Ami. Rumah nampak sepi, pada kemana?
"Asalamualikum, Bi, aku pulang," ucap Sarah.
Bi Ami muncul dari dalam kamarnya. "Waalaikumsalam," jawabnya.
"Putra mana, Bi? Tumben dia tidak menungguku di depan?" tanya Sarah sambil membuka res sleting jaket, membukanya lalu meletakkannya di sandaran kursi.
"Putra di dalam," jawab bi Ami, lalu terdiam sejenak.
Sarah melihat ekspresi wanita tua seperti ada yang aneh, raut wajah yang nampak cemas.
"Ada apa, Bi?" Sarah penasaran dengan raut wajah bi Ami.
"Putra demam," lirih wanita itu.
Tanpa menunggu lama lagi, Sarah langsung ke kamar bi Ami melihat anaknya. Hati Sarah begitu nyeri saat melihat buah hatinya meringkuk di atas tempat tidur. Bocah itu tengah tertidur.
"Baru saja tidur, Bibi kasih dia obat warung," ujar bi Ami dari belakang Sarah. "Semoga panasnya turun," sambungnya.
Sarah mendekat secara perlahan, takut mengganggu istirahat anaknya. Ia berjongkok tepat di hadapan Putra, menyentuh kening anak itu. Tubuhnya panas, Sarah takut sangat takut. Takut di mana ia teringat akan Putra yang pernah dirawat hampir satu bulan lamanya di rumah sakit.
Sarah mengusap kepala anak itu lalu menciumnya. "Cepat sembuh, sayang," bisiknya.
Putra yang mendengar dan merasakan kecupan itu pun membuka mata. "Mama ...," lirih anak itu.
"Iya, sayang. Ini Mama sudah pulang.
"Papa mana?" tanya Putra.
Disaat anaknya menanyakan keberadaan ayahnya membuat hati Sarah sakit. Apa yang harus ia lakukan? Jawaban apa yang harus dijawab? Lelaki itu sudah bukan makhramnya, tak seharusnya selalu berada dalam satu atap, apa kata orang jika tahu hampir setiap hari bermalam di rumahnya?
Beruntung, pak rt tengah tidak ada karena sedang pulang ke kampung halamannya. Karena pak rt sering mengusir laki-laki yang sering datang ke rumahnya. Karena lelaki itu sendiri masih menunggu dengan setia. Menanti Sarah menerima cintanya, meski itu tidak akan pernah terjadi hanya nama Farhan yang selalu tersimpan.
"Papa ada urusan, jadi tidak bisa pulang," jawab Sarah.
Anak kecil itu langsung memalingkan wajah, bahkan merubahkan posisinya jadi membelakangi sang mama. Rupanya Putra nampak kecewa dengan jawaban itu, karena ia tahu bahwa kedua orang tuanya tengah bertengkar. Terlihat jelas tadi pagi, meski bi Ami berusaha menutupinya. Namun, wajah Sarah yang terlihat dingin membuat Putra tahu.
Sarah berdiri, melihat anaknya dengan nanar. Rasa kecewa itu tidak bisa terelakkan, anaknya tengah merajuk.
"Bi, aku pulang sebentar. Kalau panasnya masih belum turun kita bawa dia ke rumah sakit," kata Sarah.
"Aku tidak mau ke rumah sakit, aku mau ketemu papa," teriak Putra. Anak kecil itu tidak mau ke rumah sakit, takut disuntik, takut dipasang jarum lagi di tangan.
Sarah menoleh ke arah anaknya, tapi disaat itu juga ia pergi, pulang ke kontrakkan untuk membersihkan diri.
***
Seusai mandi Sarah segera kembali ke rumah bi Ami. Namun, perutnya terasa melilit karena lapar. Bukan cuma lapar, sepertinya mag-nya kambuh. Sebelum ke rumah bi Ami, ia pergi ke depan gang mengendarai motornya untuk membeli makanan karena tak sempat memasak, sekalian membeli bubur untuk anaknya.
Setelah membeli itu semua, ia baru pulang.
"Abis dari mana?" tanya bi Ami pas Sarah tiba di depan rumah.
"Beli bubur untuk Putra," jawab Sarah.
"Cepat masuk sebentar lagi maghrib," ajak bi Ami.
Kedua wanita itu pun masuk, dan Sarah langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan yang baru dibelinya.
"Mas Pandi belum pulang, Bi?" tanya Sarah.
"Belum, katanya lembur sampai jam 6," jawab bi Ami dari dalam kamar yang sedang menjaga Putra.
"Aku belikan dia lauk untuk makan, aku taro di rak ya, Bi."
Tak lama, Sarah pun menyusul ke kamar sambil membawa nampan yang berisikan bubur juga nasi dan segelas air putih.
"Sini, biar Bibi yang suapi kamu makan saja." Bi Ami mengambil mangkuk bubur itu. "Putra sayang, bangun dulu nak. Makan bubur dulu ya," bujuk wanita itu.
"Gak mau, aku mau papa." Suara Putra terdengar berat seperti akan menangis.
"Kamu makan dulu sana, Bibi gak mau kamu ikutan sakit," ujar bi Ami pada Sarah.
"Iya, Bi. Aku tidak akan lama." Sarah keluar dari dalam kamar dan duduk di ruang tamu menyantap makananya yang terasa hambar di lidah. Tapi ia harus tetap makan, perutnya sudah minta diisi. Meski mual ia tetap paksakan.
Akhirnya makan pun selesai walau tidak habis. Sarah segera kembali ke kamar. Ternyata anaknya itu masih belum makan, ia hanya bisa menghela napas panjang. Putra susah dibujuk kalau sudah marah.
"Biar aku yang bujuk dia, Bi."
Bi Ami memberikan mangkuk bubur itu kepada Sarah. Karena sudah maghrib, bi Ami pamit mengambil whudu. Sarah sendiri sedang tidak shalat karena tengah datang bulan. Setelah perginya bi Ami, Sarah meletakkan mangkuk itu terlebih dulu di sisi ranjang. Dari belakang ia meraih tubuh anaknya.
Namun, Sarah sangat terkejut saat mendapati tubuh anaknya yang semakin panas. Sarah panik, segera ia memangku anaknya itu. Keluar dari kamar.
"Putra kenapa?" tanya Pandi yang baru saja tiba.
"Untung Mas pulang, antar aku ke rumah sakit ya, Putra demam," pinta Sarah.
Tak mengenal lelah, lelaki itu langsung mengiyakan permintaan Sarah. Pandi sudah menganggap Putra seperti anaknya sendiri, keberadaan Putra sedikit mengobati rasa rindunya kepada anaknya yang tinggal bersama mantan istrinya.
"Ibu mana?" tanya Pandi.
"Masih shalat kayaknya," jawab Sarah.
Tak lama, bi Ami muncul dari kamar sebelah.
"Bu, kita mau ke rumah sakit," kata Pandi.
"Iya, Bi. Putra makin panas," timpal Sarah.
Bi Ami menyentuh kening anak kecil itu. "Ya sudah, kalau ada apa-apa hubungi Bibi."
Sarah dan Pandi segera berangkat ke dokter umum terlebih dulu.
Tibalah mereka di sana, beruntung tidak ada antrian sehingga mereka langsung masuk ke ruangan. Dokter memeriksanya, tapi sepertinya Putra bukan demam biasa, dokter menyaranakan untuk dibawa ke rumah sakit yang penangannya lebih canggih.
Sarah begitu khawatir, tapi detik itu juga mereka segera membawa Putra ke rumah sakit yang lebih besar. Tiba di sana, Putra langsung ditangani oleh dokter, akhirnya dokter memutuskan bahwa anak itu harus dirawat karena panasnya terlalu tinggi.
"Anak saya sakit apa, Dok?" tanya Sarah pas Putra sudah di ruang rawat.
"Tipes, Bu" jawab dokter itu.
Hati Sarah semakin sedih. Putra kembali dirawat untuk yang kedua kalinya.
_
_
Hai gaes, maaf ya kalau part ini banyak typo, gak sempet cek, lagi kurang sehat nih kepala nyut-nyutan, doakan aku cepet sembuh ya ges love you untuk kalian semua🥰😘😘