Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03 - Suami Sungguhan?
Hanya karena Shanum meragukan dirinya, Azkara dengan gengsi selangit mengatakan mampu. Memang siapapun yang melihat Azkara secara sekilas akan berpikir sama.
Terlebih lagi, yang pertama kali bertemu Azkara adalah Shanum. Dia hanya mencoba menyelamatkan Azkara sebenarnya, agar pria itu tidak lebih malu lagi. Akan tetapi, tebakan Shanum agaknya salah kali ini.
Dia tertipu dengan cover Azka yang memang patut dijuluki preman pasar. Setelah percobaan pertama terhenti lantaran Shanum menyela, yang kedua agaknya sukses tanpa hambatan.
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."
Dalam satu tarikan napas dan tatapan fokus pada pria yang menjadi wali istrinya sighat qabul itu Azkara loloskan layaknya seorang ahli di bidangnya. Jangankan salah ucap, semulus itu dia menyelesaikannya hingga Shanum mengerjap tak percaya.
Tak hanya Shanum, tapi beberapa orang yang lain juga sama terkejutnya. Walau ya, masih saja ada yang menggampangkan hal itu, toh pendek dan semua juga pasti bisa.
Jelas saja pernyataan semacam itu ada. Kendati demikian, keberanian Azka dan kemampuannya untuk meloloskan kalimat itu benar-benar sukses mengubah cara pandang beberapa orang padanya.
Prosesi akad nikah berlangsung cukup singkat, walau demikian bagi Kiyai Habsyi tetap saja sakral dan tidak main-main. Tidak peduli bagaimana caranya, yang namanya pernikahan tetap pernikahan.
Sekalipun memang masih pernikahan di bawah tangan, tapi di mata Tuhan sama saja. Pasca akad nikah Azkara juga tetap diperlakukan dengan baik, Kiyai Habsyi masih terus memberikan nasihat pada pria yang kini telah menjadi menantunya.
Bahkan, Azkara tidak diperkenankan segera ke kamar. Kiyai Habsyi memintanya untuk bicara empat mata, dari hati ke hati demi saling mengenal tentu saja.
Dia tidak mengenal Azkara sebelumnya, tapi entah kenapa rasanya ada sesuatu yang tidak bisa diutarakan setiap kali melihat wajah tampan pria itu.
"Kau masih muda, darahmu sepertinya sangat dingin ... kau suka berkelahi?" tanya Kiyai Habsyi yang secepat mungkin Azka tanggapi demgan gelengan pelan.
"Tidak, Abi," jawab Azkara hati-hati.
Tidak ingin salah bicara, dia takut hati mertua yang perlahan mulai menghangat kembali dingin seperti semula.
"Oh iya? Tapi firasat Abi mengatakan begitu ... wajah, sorot mata, alis bahkan melihat sangat jelas sekali, Azkara, apa kau tidak merasa?"
Azkara bingung apa maksud mertuanya. Cara bicara dan tatapannya tak terbaca hingga Azkara tidak bisa menyimpulkan apa yang dipikirkan pria itu sebenarnya.
Lama terdiam, pembicaraan mereka diakhiri dengan suara nguap Kiyai Habsyi yang ternyata menular pada Azkara. Maklum saja, mereka sudah berbincang cukup lama, dan sebelum datang ke rumah ini Azkara sudah berlari cukup lama bahkan mungkin lukanya kini perlahan mengering.
"Tidurlah, hari sudah malam ... besok puasa, jangan sampai kesiangan sahurnya."
"Sahur?"
Azkara menggangguk, tidak hanya di rumah, ternyata di sini dia juga mendengar ucapan yang sama sebelum tidur. Salah-satu ujian terberat dalam diri Azkara hingga detik ini sebenarnya bangun sahur.
Jika ditanya kuat atau tidak tanpa makan ataupun minum, jelas Azkara kuat. Akan tetapi, yang menjadi jika harus mengorbankan waktu tidur, mata Azkara seolah benar-benar tersiksa.
.
.
Kendati demikian, mana mungkin dia akan mengatakan hal itu sejujurnya pada sang mertua. Azkara yang diperintahkan masuk ke kamar menurut saja.
Hingga saat ini, pintu kamar masih terbuka dan Shanum sengaja tidak menutupnya. Setelah sempat mengancam dengan sebilah bellati satu jam lalu, Azkara tertunduk malu tatkala memasuki kamar istrinya.
"Ehem!!"
Bingung lantaran tidak ada tawaran atau semacamnya dari yang punya kamar, Azkara berdehem hingga membuat Shanum yang sejak tadi berbaring membelakanginya menoleh seketika.
Atas kesadaran diri, Azkara meraih bantal dan bermaksud tidur di lantai. Keberaniannya yang tadi asal masuk bak preman seketika ciut, takut diusir atau istrinya berontak hingga memilih tidur di bawah sebelum dilempar kepalanya.
"Kenapa dibawah? Tempat ini masih luas." Suara Shanum memecah keheningan.
Azkara sampai terperanjat kaget dan dibuat terkejut dengan suara Shanum yang begitu tiba-tiba.
"Apa tidak masalah?" tanya Azka menatap ragu Shanum yang malah makin dibuat bingung.
Sama sekali Shanum tidak lupa bagaimana Azkara yang masuk layaknya perampok sampai menodongkan senjata agar dirinya diam. Akan tetapi, kini semua itu seolah musnah, entah karena malam terlalu larut atau kenapa, tapi di mata Shanum sang suami terlihat seperti dua orang yang berbeda.
"Yang jadi masalah sudah kita lewati tadi ... tidurlah, aku harus menyiapkan sahur dua jam lagi," jelas Shanum kembali membelakangi Azkara yang perlahan naik ke atas ranjang itu.
Tidak seempuk tempat tidur di rumahnya, tapi lumayan untuk sekadar beristirahat. Azkara merebahkan tubuhnya di pinggir, sengaja menjaga jarak agar tidak terjadi yang tidak-tidak.
Setelah beberapa saat bertahan dengan posisi membelakangi Shanum, kali ini Azkara menyerah dan kembali berbalik.
Di luar dugaan, posisi sang istri kini juga sama-sama menghadapnya. Melihat wanita itu tidur meringkuk memeluk guling entah kenapa hati Azkara kembali merasa bersalah.
Terlebih lagi tatkala mengingat kesan pertama mereka bertemu, persis seorang begal dan korbannya.
"Maaf, kita harus bertemu dengan cara yang seburuk ini," ungkap Azkara perlahan mendekat, rasa sakit di kaki yang sempat dia balut dengan ikat kepala beberapa jam lalu kembali menimbulkan rasa sakit.
Namun, hal itu tidak membuat Azkara menyerah dan dia fokus saja lebih dekat. Entah atas dasar apa kini keberanian itu justru hadir kembali.
Cukup lama Azkara bertahan, tapi ternyata semesta tidak mengizinkan dia tenang. Di saat mulai mendapat posisi nyaman dan rasa kantuk mulai menyerang, seekor kucing yang tidak diketahui dari mana asalnya itu tiba-tiba mendarat tepat di bagian kaki Azkara yang sakit hingga membuat pria itu memekik seketika.
Saat itulah, Shanum terjaga dan dibuat panik setengah mati begitu melihat Azkara sudah meringis sembari memegangi kakinya.
"Mas? Kenapa?"
"Heuh?" Nanti dulu menjawab pertanyaan, Azkara salah fokus mendengar panggilan yang lolos dari bibir Shanum. Bahkan dia sampai melamun dan memandangi wajah ngantuk sang istri.
"Kakimu berdarah, sebentar." Begitu sigap Shanum bertindak, seolah tidak peduli dengan rasa kantuknya, Shanum mengutamakan keadaan pria itu lebih dulu.
"Maaf, aku buka boleh ya?"
Azkara mengangguk, kakinya memang sempat terluka akibat serangan Erlangga sewaktu adu kekuatan. Dan untuk bentuk pastinya Azkara tidak tahu karena dia juga asal menutupnya terpenting darahnya tidak keluar.
"Aaaawwwhh ... sakit, Say_" Azka sontak menutup mulutnya, hampir saja lolos panggilan Sayang karena terbawa suasana dan mungkin efek terlalu merindukan sang kekasih yang belum juga ada kabar pasca kecelakaan maut yang menimpanya tepat tiga bulan lalu.
"Lukanya parah, kita ke rumah sakit besok ... sepertinya perlu dijahit."
"Ehm, terima kasih," jawab Azkara seadanya, wajah pria itu sampai merah padahal tidak ada yang istimewa.
Akan tetapi, ada satu hal yang ingin Azkara tanyakan. "Shanum, boleh aku tanya sesuatu?"
"Boleh, tanya apa?"
"Kamu kenapa baik pada penjahat sepertiku?" tanya Azkara langsung pada intinya.
"Kewajiban," pungkas Shanum yang membuat Azkara tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Apa maksudnya? Dia menganggapku suami sungguhan?"
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num