Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Bersalah
Setelah membawa El dan Al masuk ke rumah, Sean duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Meski wajahnya tampak tenang, hatinya bergemuruh dengan rasa bersalah. Ia memandangi si kembar yang duduk diam di depannya, tubuh mereka penuh luka lecet dan lebam.
Sean menghela napas panjang, menatap tangan dan wajah kecil kedua anaknya. Luka-luka itu tidak besar, tapi tetap membuat hatinya terasa berat.
Sean menatap kedua anaknya dengan tajam. "El, Al, jelaskan kenapa kalian bertengkar."
El, yang merasa bertanggung jawab sebagai kakak, akhirnya berbicara. "Mereka mengejek kami, Pa. Mereka bilang kami nggak punya mama."
Mendengar itu, rahang Sean mengeras. "Dan kalian memutuskan untuk bertarung?"
"Kami nggak bisa diam saja, Pa. Mereka menghina Mama," jawab Al dengan suara yang mulai bergetar.
Sean menghela napas panjang, lalu berlutut di depan kedua anaknya. Ia mengusap kepala mereka, meskipun ekspresinya tetap dingin. "Kalian tidak salah membela keluarga, tapi jangan gunakan kekerasan. Papa akan mengurus masalah ini."
Sementara itu, El dan Al duduk di sofa, masih merasa bersalah.
Meski wajah Sean tampak tenang, hatinya bergemuruh dengan rasa bersalah. Ia memandangi si kembar yang duduk diam di depannya, tubuh mereka penuh luka lecet dan lebam.
Sean menghela napas panjang, menatap tangan dan wajah kecil kedua anaknya. Luka-luka itu tidak besar, tapi tetap membuat hatinya terasa berat.
Tanpa banyak bicara, Sean membawa kotak P3K. Ia membersihkan luka-luka di tubuh si kembar dengan hati-hati. El dan Al sesekali meringis kesakitan, tapi mereka tidak protes.
"Papa marah ya?" tanya Al dengan suara pelan.
Sean menoleh, lalu menjawab singkat, "Papa tidak marah. Tapi lain kali, katakan pada Papa lebih dulu."
El menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Al, yang biasanya lebih ekspresif, hanya mengusap air mata yang mulai menggenang di matanya.
"Kenapa nggak cerita ke Papa kalau ada yang ganggu kalian?" Sean bertanya, tapi nadanya tidak mengintimidasi.
El menjawab lirih, "Kita nggak mau bikin Papa khawatir. Papa kan sibuk..."
Jawaban itu membuat Sean semakin merasa bersalah
"Apa yang sebenarnya Aku pikirkan?" gumam Sean dalam hati.
Ia merasa gagal sebagai seorang ayah. Sean berpikir membawa si kembar ke kamp militer adalah keputusan yang aman, seperti sebelumnya. Selama ini, mereka tampak bahagia bermain bersama Jordi atau berjalan-jalan di sekitar kamp. Tapi ternyata, ada hal-hal yang tidak mereka ceritakan kepadanya.
"Mereka tidak pernah pulang dengan luka seperti ini sebelumnya. Kenapa aku tidak tahu? Kenapa aku pikir semuanya baik-baik saja?"
Sean mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia membayangkan bagaimana reaksi Netha jika tahu tentang kejadian ini. Wanita itu, meskipun terlihat santai dan cuek, namun setelah melihat kedekatan Netha dan si kembar yang saling menyayangi. Apa yang akan Netha pikirkan tentang dirinya setelah tahu ia gagal menjaga mereka?
Ketika Sean sedang membersihkan luka terakhir di lutut Al, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia melirik layar, dan nama yang tertera membuat dadanya berdegup kencang: Netha.
Sean diam sejenak, ragu apakah harus menjawabnya atau tidak. Panggilan pertama berlalu tanpa ia sentuh. Begitu pula panggilan kedua. Namun, pada panggilan ketiga, ia akhirnya menghela napas panjang dan menjawab.
📍 Kediaman Netha
Saat hari mulai petang, Netha merasa perutnya kembali lapar. Sebelum pulang, ia memutuskan untuk mampir ke restoran lain yang tidak jauh dari rumahnya. Ia menikmati makan malam sendirian dengan suasana tenang.
Setelah makan, ia juga membeli beberapa camilan dan buah segar untuk dibawa pulang.
Sesampainya di rumah, Netha langsung menuju kamar mandi. Ia mandi dengan air hangat, mencoba menghilangkan rasa lelah setelah seharian berkeliling. Setelah itu, ia merebahkan diri di kasur, menikmati kenyamanan rumah yang sepi.
Namun, ketika ia mulai memikirkan si kembar, ia baru menyadari satu hal: sejak mereka pergi, belum ada kabar sama sekali dari Sean maupun si kembar.
"Kenapa mereka belum menelepon? Apa mereka sudah sampai di sana? Bagaimana kabar mereka?"
Perasaan cemas mulai menghampiri Netha. Ia segera mengambil ponselnya dan menelepon Sean. Namun, panggilannya tidak diangkat.
Ia mencoba lagi, tetap tidak ada jawaban.
"Apa yang dia lakukan?" pikirnya mulai kesal.
Pada panggilan ketiga, akhirnya Sean menjawab.
📍Rumah Dinas
"Halo," jawab Sean dengan nada datar, berusaha menyembunyikan kecemasannya.
"Nggak ada kabar sampai malam begini. El dan Al mana? Kenapa nggak telepon aku sama sekali?" suara Netha terdengar khawatir dari seberang.
Sean baru hendak menjawab ketika tiba-tiba Al, yang melihat ponsel itu, menangis keras sambil memanggil nama mamanya. "Mamaaa! Lihat, Al luka, Ma!" teriaknya sambil menunjuk lecet di lengannya.
Sean langsung panik, mencoba menenangkan Al. Namun, tangisan Al justru membuat El ikut menangis.
"Mama, El juga sakit! Lihat, Ma!" El menunjuk goresan di pipinya, air mata mengalir deras.
Di seberang telepon, suara Netha terdengar makin panik. "Sean, apa yang terjadi? Kenapa anak-anak menangis begitu? Kenapa mereka terluka?!"
Sean kehilangan kata-kata. Ia berusaha menenangkan si kembar sambil memegang ponsel. "Netha, dengar dulu, aku bisa jelaskan..."
Namun, Netha tidak memberinya kesempatan. "Besok aku jemput mereka! Aku nggak peduli, aku nggak bisa diam kalau anak-anak terluka seperti ini!" serunya sebelum menutup telepon.
Sean duduk terpaku, ponselnya masih di tangan. Ia menatap si kembar yang sudah sedikit tenang, meskipun air mata mereka masih mengalir.
Sean tahu, besok akan menjadi hari yang panjang. Ia bukan hanya harus menghadapi Netha, tetapi juga mengakui kesalahannya.
"Aku pikir bisa menjaga mereka... Tapi aku salah," gumamnya pelan.
Sean mengusap wajahnya sekali lagi, kali ini dengan lebih keras, seolah ingin menghapus rasa bersalah yang menumpuk di dadanya. Dalam pikirannya, ia sudah bisa membayangkan Netha berdiri di depannya, menatap tajam dengan ekspresi penuh kekecewaan.
Dan itu, lebih menakutkan daripada medan perang sekalipun.