Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintu yang Tak Boleh Dibuka.
Dalam sebuah desa terpencil, tersembunyi di antara pepohonan pinus yang tinggi, terdapat sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Orang-orang di desa sering membicarakan rumah itu dalam bisik-bisik takut, terutama tentang satu hal: sebuah pintu di bagian belakang rumah, pintu yang tak boleh dibuka. Meskipun rumah itu sudah lama tak berpenghuni, ada satu aturan yang dipegang teguh oleh penduduk desa: Jangan pernah mendekati pintu itu.
Namun, ketakutan sering kali menjadi jembatan menuju rasa ingin tahu yang tak terbendung, dan di sinilah kisah ini dimulai.
Dina, seorang mahasiswi arkeologi, tiba di desa itu bersama rekannya, Siska. Keduanya mendapatkan tugas dari dosen mereka untuk meneliti tentang kepercayaan masyarakat lokal terhadap mitos dan legenda. Informasi yang mereka terima tentang pintu yang terlarang itu sangat memancing rasa ingin tahu mereka. "Mungkin ini hanya dongeng penduduk setempat untuk menakut-nakuti orang," pikir Dina.
Di hari pertama, mereka menginap di penginapan kecil di ujung desa. Pemilik penginapan, Pak Ramli, seorang pria tua berwajah tegang, memperingatkan mereka.
“Kalian jangan main-main di rumah tua itu,” katanya dengan suara parau. “Terutama jangan dekati pintu di bagian belakang. Sudah banyak yang hilang setelah mencoba membukanya.”
Dina hanya tersenyum tipis mendengar peringatan itu. “Pak, apa yang ada di balik pintu itu sebenarnya?” tanyanya.
Pak Ramli terdiam, menatap jauh ke luar jendela. “Hanya kegelapan. Dan yang berani membuka pintu itu, akan terhisap ke dalamnya.”
Malam itu, Dina dan Siska berdiskusi panjang tentang kemungkinan-kemungkinan apa yang tersembunyi di balik mitos tersebut. Siska, yang lebih berhati-hati, mulai meragukan apakah mereka harus benar-benar menyelidiki rumah itu. Namun, Dina, dengan rasa ingin tahunya yang kuat, sudah memutuskan.
“Kita harus ke sana besok pagi,” kata Dina tegas.
Keesokan harinya, dengan bekal peta yang didapat dari penduduk desa, mereka tiba di rumah tua yang suram. Dindingnya berlumut, atapnya sudah banyak yang runtuh, dan hawa dingin menyelimuti sekelilingnya. Rumah itu tampak seperti makhluk hidup yang tertidur, menunggu seseorang membangunkannya.
Mereka memasuki rumah itu dengan hati-hati. Lantai kayu berderit setiap kali mereka melangkah. Cahaya matahari yang samar-samar masuk melalui jendela yang kotor, menerangi debu yang beterbangan di udara. Semua tampak normal, seperti rumah tua pada umumnya—kecuali satu hal: pintu kayu di bagian belakang yang berdiri kokoh, jauh berbeda dengan bagian lain rumah yang sudah lapuk.
“Ini dia,” kata Dina pelan. Pintu itu berwarna hitam pekat, tanpa hiasan apa pun, dan terasa seperti menahan napas saat mereka mendekatinya. Ada sesuatu yang aneh dengan pintu ini, seolah-olah ada energi tak terlihat yang mengelilinginya.
“Kita harus pergi dari sini, Dina,” bisik Siska, matanya menyiratkan ketakutan. “Ini terlalu aneh.”
“Tenang saja,” balas Dina. “Ini cuma pintu tua.”
Siska menatap Dina dengan cemas, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun lagi, Dina sudah meraih gagang pintu itu. Saat tangannya menyentuh gagang pintu yang dingin, hawa dingin yang lebih menusuk tiba-tiba menyelubungi mereka berdua. Dina mengerutkan kening, merasakan sesuatu yang tidak biasa.
“Ada apa, Din?” tanya Siska dengan suara bergetar.
“Aku... Aku tidak tahu. Tapi ini aneh,” jawab Dina sambil melepaskan tangannya dari gagang pintu. “Sepertinya pintu ini... hidup?”
Siska menarik napas dalam-dalam. “Jangan buka, Dina. Sesuatu tentang ini terasa salah. Kita seharusnya mendengarkan Pak Ramli.”
Namun, Dina sudah tenggelam dalam rasa ingin tahunya. “Kita harus tahu, Sis. Kita sudah sampai sejauh ini.”
Dina menarik napas panjang, lalu kembali memegang gagang pintu. Kali ini, dia menariknya perlahan. Pada saat yang sama, sebuah suara aneh terdengar dari balik pintu. Suara itu seperti bisikan samar, terlalu lembut untuk dipahami, namun cukup kuat untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Saat pintu terbuka, angin dingin berhembus keluar dari celahnya, membawa aroma busuk yang membuat mereka mual. Di balik pintu, hanya ada kegelapan pekat. Tidak ada tangga, tidak ada ruangan, hanya ruang hitam yang tampaknya tak berdasar.
“Ini... kosong,” kata Dina, bingung.
Siska mundur selangkah. “Tutup pintunya, Dina! Tutup sekarang!”
Namun, sebelum Dina sempat melakukannya, kegelapan dari balik pintu tampak bergerak. Seperti asap, kegelapan itu merambat keluar dan mengelilingi mereka berdua. Dina terkejut, berusaha menutup pintu dengan keras, tetapi pintu itu seolah menolak untuk ditutup.
Suara bisikan semakin jelas, tetapi sekarang terdengar seperti banyak suara yang berbicara bersamaan. "Kembali... Kembali..."
“Kita harus pergi!” teriak Siska, menarik lengan Dina. Tapi sesuatu menahan Dina di tempatnya, seperti ada kekuatan yang mengakar kuat dari balik pintu, menariknya perlahan ke dalam kegelapan.
“Aku tidak bisa bergerak!” seru Dina panik. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar. “Siska, bantu aku!”
Siska mencoba menarik Dina sekuat tenaga, namun kegelapan itu semakin kuat, membungkus tubuh Dina dengan cepat. Dina menjerit saat tubuhnya mulai menghilang ke dalam kegelapan.
“Dina, jangan!” Siska menangis, berusaha meraih sahabatnya, tetapi yang tersisa hanyalah kekosongan.
Siska terhempas ke lantai dengan keras. Pintu yang tadinya terbuka kini tertutup kembali dengan bunyi gemuruh. Di sekelilingnya, rumah tua itu kembali sunyi, seolah tidak ada apa-apa yang pernah terjadi. Nafas Siska tersengal-sengal. Dia menatap pintu hitam itu dengan ngeri.
"Dina..." bisiknya.
Selama beberapa menit, Siska hanya duduk terdiam, tak mampu mencerna apa yang baru saja terjadi. Kemudian, dengan tangan gemetar, dia berdiri, dan tanpa berpikir panjang lagi, dia berlari keluar dari rumah itu.
Siska kembali ke desa dengan wajah pucat dan tak berkata sepatah pun. Penduduk desa hanya bisa menatapnya dengan kasihan, menyadari apa yang mungkin telah terjadi. Tidak ada yang berani bertanya, tidak ada yang berani mendekatinya.
Beberapa hari kemudian, polisi datang, tetapi tak ada jejak Dina yang ditemukan. Hanya satu hal yang pasti: pintu itu masih berdiri di sana, di belakang rumah tua, tertutup rapat seperti sebelumnya. Tak ada yang berani mendekat, tak ada yang berani membukanya lagi. Penduduk desa tahu betul, pintu itu adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih kelam dari yang bisa mereka bayangkan.
Dan Siska, satu-satunya yang selamat, tak pernah berbicara lagi tentang apa yang terjadi di sana, kecuali satu hal: "Jangan pernah membuka pintu itu."
Cerita ini berakhir di sana, dengan pintu yang masih tersegel oleh misteri dan kegelapan yang tak terpecahkan, menunggu korban berikutnya yang tak bisa menahan godaan untuk melanggarnya.