Kisah cinta dua sejoli, yang kembali terjalin setelah beberapa tahun terpisah, kini diuji kembali. Sosok dari masa lalu yang mencoba menghancurkan hubungan mereka, hingga membuat keduanya berada dalam pilihan yang sulit, bahkan hampir meregang nyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SangMoon88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Dengan wajah yang tidak suka, pak Gunawan melangkah kembali pergi dari depan ruangan mereka.
Ya, pak Gunawan memang sudah pergi, namun ia kembali lagi karena lupa menanyakan sesuatu sekaligus ingin memberikan berkas penandatanganan pembaruan kontrak dengan partnernya kepada Al.
Namun saat hendak masuk ke dalam ruangan Al, pak Gunawan mendengar percakapan papi dan Al, maka ia pun mengurungkan niatnya, lalu kembali pergi dengan mimik wajah tidak suka.
Ia menyerahkan berkas itu kepada sekertaris Al yang tidak lain dan tidak bukan adalah Anton. Anton mengernyitkan dahi kala melihat pak Anton tidak jadi masuk keruangan Al.
"Tok.. Tok.. Tok.." Anton mengetuk pintu.
"Ya masuk!" jawab Al.
"Permisi pak, ini ada titipan berkas dari pak Gunawan!"
"Pak Gunawan? Bukannya ia sudah pulang?" tanya Papi.
"Tadi sudah pulang pak, namun beberapa menit yang lalu kembali lagi, katanya mau mengantar berkas ini, namun ia tidak jadi setelah menunggu lama didepan pintu, akhirnya beliau pulang dengan wajah kesal, dan menyerahkan ini agar saya yang memberikannya." tutur Anton.
Papi dan Al saling tatap, mereka mempunyai pikiran yang sama, apa jangan-jangan, pak Gunawan mendengar percakapan mereka, sehingga ia pergi dengan wajah kesal seperti yang Anton katakan.
Kemudian papi berinisiatif untuk menghubungi pak Gunawan untuk mengklarifikasi, namun Al mencegahnya.
"Sebentar pi, Al lihat dulu di CCTV."
Lalu Al mengecek CCTV, dan terlihat dalam rekaman itu Pak Gunawan hendak menuju ruangan, namun ponselnya berdering kemudian ia berlalu menjauh dari depan ruangan Al untuk mengangkat telepon, hingga setelah selesai menelpon dan hendak masuk ke ruangan lagi, ia mendapatkan sebuah pesan singkat. Dan setelah membacanya ia lalu pergi dengan wajah kesal.
Rupanya wajah kesal yang ia tunjukan kepada Anton sambil memberikan berkas itu bukan karena ia mendengar percakapan Al dengan sang papi, melainkan ada hal lain.
Suatu kebetulan sekali, bukan? Tentu saja, bukan karena Al dan papinya takut jika mereka terdengar sedang membicarakan Pak Gunawan dan putrinya, melainkan mereka tidak ingin sampai menyinggung perasaan mereka, dengan menjadi topik pembicaraan ayah dan anak itu.
...****************...
Akhirnya jam makan siang pun tiba, Al, papi, Reza dan Anton memutuskan untuk makan di cafe sebelah. Ternyata disana sudah menunggu Raisya, Kanaya dan Areta.
Mereka mengangguk memberi salam kepada bos besarnya yang tidak lain adalah ayah Alvian. Papi memutuskan duduk diantara Al dan Raisya.
Sambil menunggu pesanan mereka tiba, papi membuka obrolan agar membuat suasana tidak canggung.
"Sya, sudah lama kamu bekerja di perusahaan papi?"
"Sudah pi!"
"Apa sebelum kamu dan Al bertemu?"
"Benar!"
"Bagaimana kalian pertama kali bertemu, dan apa kesanmu saat bertemu dengannya?" tanya papi mulai kepo dengan masa lalu percintaan mereka.
"Saat pertama aku bertemu Vian, gara-gara penjambret, dan bagiku Vian adalah seseorang yang pemberani dan juga penakut pi!"
"Hah? Bagaimana?" tanya papi lagi kurang paham dengan penjelasan Raisya.
"Iya, awal bertemu Vian, dia dengan berani membantu Sya yang lagi dijambret sampai-sampai dia berantem sama jambretnya, dan sudut bibirnya sampai robek karena kena bogem mentah dari si penjambret, tapi saat Sya mau ajak ke klinik Vian menolak, jadi akhirnya Sya obatin sendiri saja, namun pada saat Sya membersihkan dan hendak mengoleskan obat diatas lukanya, Vian ketakutan sampai-sampai meringis sedikit dan meremas erat ujung sofa . Lalu Pas Sya tanya apa dia takut? Vian menjawab dengan gengsi yang tinggi sambil berkata, mana mungkin takut, tadi juga aku berani lawan jambret." jelas Raisya sambil memperagakan ucapan Al kala itu.
Mereka semua tertawa, terkecuali Vian. Ia tertunduk malu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pipinya sedikit memerah membuatnya jadi salah tingkah, karena ulah sang kekasih yang menceritakan kejadian kala itu.
"Lalu setelah itu apalagi?" tanya papi lagi sambil tertawa geli.
"Setelah itu kami tukeran no WA, dan sering berkomunikasi, seperti teleponan, chating, bahkan sering nongkrong juga.
"Apa dia sempet mengungkapkan perasaannya kepadamu?"
Raisya menggeleng, kemudian ia melanjutkan ceritanya.
"Enggak pi, dihari Vian bilang ada hal yang dia ingin ungkapkan kepada Sya, hari itu Vian gak pernah datang, sampai beberapa minggu kemudian ia mengirim sebuah chat yang menggantung, namun setelah itu menghilang. Dan kini kembali dengan wajah lain namun Sya bisa mengenali dia dari mata dan senyumnya, serta makanan favoritnya, atau bahkan kebiasaan-kebiasaannya dulu." jelas Raisya panjang lebar.
"Apa kamu mencintai Al?"
Raisya tertunduk malu, namun ia mengangguk sambil menjawab pertanyaan papi.
"Sya mencintai Vian sedari awal Sya bertemu dia pi, dia selalu menjadi penyelamat untuk Sya, dia selalu ada saat Sya butuh, berawal dari ketergantungan, akhirnya Sya sadar kalo itu adalah cinta, Sya menjadi ketergantungan dengannya, ingin selalu bertemu dengannya, berbicara dengannya, bahkan hidup Sya sempat gak karuan saat ia mengingkari janji temu dicafe malam itu, sampai akhirnya berminggu-minggu berlalu dia memberi pesan yang menggantung. Sya merasa hidup Sya gak sempurna tanpa Vian, Vian yang selalu membuat Sya tertawa dan nyaman tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Berhari-hari Sya menangis memikirkan semua terjadi begitu saja tanpa kepastian, membuat Sya menutup diri dari lelaki, Namun entah mengapa, rasa cinta untuknya itu masih begitu kuat tersimpan dihati, padahal kala itu Sya juga gak tau apa masih bisa bertemu lagi dengannya atau enggak. Namun bagi Sya cinta itu tidak harus memiliki, melihatnya bahagia walau bukan dengan kita, itu adalah bukti nyata dari sebuah cinta." Raisya menjawab tanpa sadar bahwa ia sedang mencurahkan isi hatinya.
Semua yang mendengar tertegun, karena Raisya mengucapkan itu seolah-olah benar tulus keluar dari hatinya, Raisya meneteskan air mata, tanda luka hatinya kala itu begitu dalam.
Al yang baru pertama kali mendengarkan curahan hati Raisya lalu bangkit dan memeluk sang kekasih dari belakang, lalu memberikannya sebuah kotak kecil yang ia simpan di atas meja, tepat dihadapan Sya.
"Maafkan aku Sya, aku sudah pernah membuatmu kecewa dan menggoreskan luka yang begitu dalam. Itu coba dibuka!"
Raisya membuka kotak kecil itu, dan didalamnya terdapat 2 buah cincin couple, bertuliskan nama masing-masing, Sya & Vian untuk Vian pakai dan Vian & Sya untuk Sya pakai.
"Apa kamu mau mengenakan cincin ini sebagai tanda serius hubungan kita, dan hari ini aku melamarmu dihadapan papi dan sahabat-sahabat kita, WILL YOU MARRY ME?"
Raisya terkejut lalu menatap kesekeliling ke arah papi dan para sahabatnya yang sedang bertepuk tangan menyemangati agar Raisya menerima lamaran Al.
Sambil menahan senyum yang penuh kebahagiaan Raisya mengangguk sambil berucap,
"Yes, I do!"
Mereka semua bersorak sambil bertepuk tangan, dan tidak lama semua pesanan sudah datang, dan dihidangkan di meja.