Selama 10 tahun lamanya, pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tapi, tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni Dean, mantan kekasih serta calon tunangannya dimasa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#33•
#33
Dua jam sebelum kejadian.
“Kamu yakin akan mendatangi rumahmu?” Tanya Bunda Sherin memastikan.
Hari ini, Adhis akan mendatangi rumah yang sangat tidak ingin ia datangi, ia perlu beberapa dokumen, yang nantinya dibutuhkan untuk proses perceraian. Termasuk bukti-bukti foto pernikahan siri Raka dan Anggita. Adhis yakin sekali foto itu masih ia simpan di brankas ruangan kerjanya, beserta buku nikah miliknya.
Sejujurnya Adhis tak ingin lagi datang ke rumahnya, mengingat kali terakhir bagaimana Raka benar-benar berhasil menghancurkan mental serta hatinya sebagai seorang istri. Tapi tanpa bukti serta buku nikah tersebut, perceraian proses perceraian tak akan bisa dilanjutkan.
“Yakin, Bund, aku sudah memastikan jam kerja Mas Raka melalui website rumah sakit. Jadi bisa dipastikan jika Mas Raka tak ada di rumah saat ini.” Adhis merapikan kepangan rambutnya, kemudian memakai parfum favorit nya sebagai sentuhan terakhir. “Adhis pergi sama sopir, Bund, sama pengawal juga. Jadi Bunda tak perlu khawatir.”
“Baiklah, hati-hati yah, kabari Bunda jika ada apa-apa,” pesan Bunda Sherin.
“Baik, Bunda sayang, mmmuuuachh …” jawab Adis tak lupa mencium pipi Bunda Sherin seperti kebiasaannya ketika anak-anak dulu.
Jarak dari rumah kedua orang tuanya ke rumahnya sendiri, tidaklah terlampau jauh, karena itulah Adhis sudah berdiri di depan rumahnya kurang lebih 30 menit kemudian.
Sama seperti Raka, Adhis pun melihat tumpukan amplop dengan logo Pengadilan Agama, dari sana Adhis busa menyimpulkan, bahwa Raka tak pulang kerumah mereka. Pasti Raka lebih memilih pulang ke rumah Anggita, dan Adhis hanya bisa tersenyum getir ketika menyadari kenyataan tersebut.
Tak ingin larut dalam kesedihannya, Adhis bergegas masuk menggunakan kunci cadangan yang selalu ia bawa di dalam tasnya.
Bunga-bunga di taman mungilnya, tampak menjuntai tak beraturan, rumput liar mulai tumbuh tak terkendali, bahkan daun-daun kering mulai berserakan di teras rumah. Ini pertanda bahwa rumah yang dulu selalu penuh dengan canda tawa dan nyanyian kemesraan, kini telah sepi seiring dengan rasa cinta yang kian memudar dari hatinya.
Serupa dengan halaman rumah, kondisi di dalam rumah pun sama-sama terabaikan. Tapi setidaknya Raka sudah meminta Mbok Jum membersihkan rumah, jadi rumah terlihat rapi, walau ada debu tipis disana-sini.
Kembali sudut mata Adhis menatap pintu kamarnya, ia hanya memejamkan mata sementara kakinya tak sanggup melangkah memasuki ruangan tersebut. Adhis menggeleng membuyarkan rasa sedihnya, ia berjalan cepat menuju ruang kerjanya, agar cepat pula urusannya beres.
Adhis menutup pintu ruang kerjanya setelah mendapatkan dokumen yang ia inginkan.
Kepala ditegakkan, dan langkahnya penuh keyakinan, bahwa keputusan inilah yang memang harus ia ambil pada akhirnya. “Selamat tinggal,” gumam Adhis, seolah berbisik pada rumah yang telah menjadi saksi hari-hari bahagianya menjadi nyonya di rumah ini, Nyonya Raka Adhitama. Karena gelar itu kini akan ia lepaskan untuk di sandang wanita lain.
“Ayo, Pak kita berangkat lagi,” titah Adhis ketika kembali mengunci pintu gerbang.
“Ndoro Ayu, barusan ada kurir yang mengantarkan ini.”
Adhis menerima amplop yang serupa dengan amplop yang menumpuk di kotak surat. Pantas saja jika sidang perceraiannya tak kunjung dimulai, karena Raka sama sekali tak menanggapi surat panggilan dari pengadilan, bahkan tak ada pengacara yang mewakilinya.
“Kita ke rumah sakit sebentar, Pak, sekalian aku minta Mas Raka agar merespon surat panggilan ini.” Walau malas, pada akhirnya Adhis harus menguatkan diri untuk bisa berhadapan kembali dengan Raka. Karena menghindar, tak akan menyelesaikan masalah.
“Tapi, Ndoro Ayu, bagaimana kalau Ndoro Kakung marah?” Tanya pengawal yang menemani Adhis.
“Ndak papa, pak, nanti aku yang bicara sama Ayah.”
Tak lagi berani membantah, mobil mewah Adhis bergerak meninggalkan bangunan mewah tersebut. Tujuan mereka rumah sakit hendak mengantarkan surat panggilan secara langsung.
•••
Adhis turun dari mobil, “pak, kalau 20 menit aku belum kembali, tolong susul ke dalam ya,” titah Adhis pada pengawalnya, tak lupa ia menginformasikan letak ruangan Raka berada.
“Siap, Ndoro Ayu.”
Adhis segera berjalan memasuki lobi rumah sakit, seorang security mengangguk ke arahnya, karena ia tahu siapa dirinya.
“Eh, ada Bu Adhis,” sapa suster Devita, perawat yang ada di bangsal bedah thorax, tempat Raka bertugas. “Mau makan siang sama Dokter Raka, yah?” tanya suster Devita seperti biasa, karena ia cukup hafal dengan kebiasaan Adhis jika mendatangi rumah sakit.
Adhis hanya tersenyum kecil, “Dokter Rakanya, ada?”
“Ada, Bu, beliau masih visite pasien di ruang VVIP.”
“Baiklah, aku tunggu di ruangan saja.”
“Silahkan, nanti kalau Dokter Raka datang, akan saya informasikan sama beliau.”
Adhis tak perlu izin untuk masuk ke ruangan suaminya, karena ia sudah hafal kode pintu ruang kerja Raka.
Adhis bermaksud pergi setelah meletakkan Amplop dari Pengadilan Agama untuk Raka, namun perhatiannya tiba-tiba tertuju pada amplop dengan warna serupa yang sudah berada di atas meja.
Dilihat dari logonya, ini pasti laporan tahunan rekening koran milik Raka.
Adhis meletakkan tas di meja kerja Raka sebelum membuka amplop tersebut, lebih dari 20 halaman dan isinya sungguh membuat Adhis terduduk begitu saja di kursi kebesaran Raka.
“Tidak, Adhis, kamu tak boleh lemah,” monolog Adhis, bergegas ia mengeluarkan ponsel dan memfoto lembar demi lembar laporan rekening koran milik Raka.
Setelah merapikan kembali isinya, Adhis gendak melangkah pergi, namun…
Ceklek!!
Pintu terbuka dan Raka datang dari arah sana, Wajah pria itu sudah sumringah bahagia ketika suster Devita mengabarkan kedatangan Adhis.
“Sayang!”
Tentu bisa diketahui dengan jelas bahwa Raka segera memeluk erat wanitanya, namun Adhis yang sudah terlanjur luka bahkan mulai mati rasa atas pengkhianatan Raka hanya diam, tubuhnya kaku bahkan sedikit risih.
“Menyingkirlah, Mas, aku harus pergi,” tolak Adhis beberapa saat kemudian, ia mulai memberontak, dan Raka yang tak ingin istrinya pergi, semakin mempererat pelukannya.
“Tidak, Mas tak akan membiarkanmu pergi, Sayang, kamu istri Mas, sampai kapanpun tidak akan berubah,” tolak Raka. Pelukannya semakin erat, insting kerinduannya butuh penyaluran. Sudah terlalu lama Adhis menghindar, terhitung sejak ulang tahun pernikahan mereka, dan itu bahkan sudah berlalu dua bulan yang lalu.
“Lapas, Mas! Mas mau apa?!” pekik Adhis.
Namun Raka tak memberi jawaban, ia terus melakukan apa yang ia inginkan, bahkan Adhis sudah terbaring tak berdaya di sofa, sementara Raka berkuasa atas dirinya.
“Diam, Sayang, cukup nikmati saja, kamu suka kan, kalau Mas mencium tubuhmu seperti ini?”
Bisik Raka, sementara ia terus menghidu titik-titik sensitif tubuh istrinya.
Adhis terus berteriak, sementara tubuhnya mengeluarkan reaksi perlawanan. Tapi sekali lagi, semakin Adhis memberontak, semakin kuat pula cekraman Raka di kedua pergelangan tangannya.
Air mata Adhis berlinang, walau Raka masih berstatus sebagai suaminya, tapi ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah dari pria tersebut. Jadi jika nanti ia harus meregang nyawa demi mempertahankan kehormatannya, apapun akan Adhis lakukan.
Akhirnya Adhis mendapat cela, ketika Raka mulai menciumi ceruk lehernya, Adhis nekat menggigit telinga Raka.
“Aaaa … !!” Raka menjerit kesakitan sembari memegangi telinganya, karena gigitan itu, bukan gigitan mesra seperti dahulu ketika mereka masih bersama.
“Apa sekarang kamu pun berani menolak suamimu!”
“IYA!! Kenapa?! Apa Mas pikir aku selamanya bisa Mas bodohi?!” teriak Adhis tanpa gentar. Wajahnya merah padam, rambut dan riasan wajahnya tak karuan, lipstiknya berantakan karena sesaat lalu Raka mencium bibirnya dengan brutal.
“Kamu masih istriku, jadi Mas masih berhak atas dirimu!!” Raka menegaskan kepemilikannya.
Adhis tersenyum miris, “Masih istri? Mas tahu hukum seorang suami yang melalaikan nafkah untuk istrinya? Pernikahan kita sudah cacat! Mas!”
“Apa maksudmu?” tanya Raka ketika menyadari ada sesuatu.
Adhis menghampiri meja, kemudian melempar amplop coklat berisi laporan rekening koran. Seketika kertas itu berhamburan di sekitar Raka, jelas si pemilik rekening tersebut terkejut bukan kepalang. “Kamu melihatnya?” tanya Raka gemetar.
“Iya, jelas sekali bahwa selain berbohong soal pernikahan kedua, Mas juga tidak adil padaku.” Air mata Adhis berlinang semakin deras. “Mas mengirim sejumlah besar uang ke rekening Anggita setiap bulan, tapi dari dua belas bulan yang tertera di kertas itu, tak ada satu rupiah pun yang mampir ke rekeningku.”
“Sayang, aku bisa jelaskan, itu karena kamu bekerja dan penghasilanmu cukup besar. Sementara Anggi memerlukan uang itu untuk biaya perawatan ibunya.”
Adhis kembali tertawa sumbang, dari sini Adhis semakin yakin bahwa ia sudah bukan yang utama bagi Raka, walau jelas Raka mengatakannya puluhan bahkan ratusan kali. “Apa itu menjadi alasan untuk Mas melalaikan hakku sebagai istri?” tanya Adhis lemah.
“Tidak Sayang, bukan begitu maksudku ...” Kembali berusaha menjelaskan.
Adhis berusaha mengabaikan maksud Raka menjelaskan, karena baginya, semua sudah jelas.
“Bagiku sudah sangat jelas, Mas. Hubungan kita gak mungkin dilanjutkan.” Adhis menyambar tas bermaksud pergi dari ruangan tersebut, tapi Raka yang merasa harus mempertahankan wanita yang ia cintai kembali mendekat dan memeluk Adhis.
“Jangan pergi Sayang, aku membutuhkanmu?”
“Kalau begitu, maukah Mas melepaskan Anggi demi aku?” bisik Adhis.
Raka terdiam, ia tak sanggup membuka mulut. “Tepat seperti dugaanku, Mas tak mau melepaskan Anggi, kan?”
Perlahan, Raka melepaskan pelukannya, “Mas sangat mencintaimu, Mas pastikan itu.”
“Lalu?”
“Anggi sedang hamil anak kedua kami, aku tak mungkin melepaskannya.” Jawaban itu membuat Adhis semakin hancur, bukan lagi hancur perasaannya, tapi jika digambarkan, raganya pun sudah pecah berantakan.
“Selamat, Mas,” ucap Adhis, suaranya bergetar, kedua matanya menyiratkan betapa hancur perasaannya saat ini.
Adhis mendorong pelan tubuh Raka yang menghalangi langkahnya, namun Raka kembali menarik lengan Adhis, ia tampak frustasi dan putus asa. Tak tahu harus seperti apalagi ia mempertahankan sang istri agar tetap bertahan di sisinya. Namun tenaga yang Raka gunakan terlalu kuat, hingga tanpa sengaja punggung Adhis membentur lemari kaca, seketika beberapa pisau bedah milik Raka, berceceran di lantai.
“Maaf, Sayang, Mas tak sengaja,” ucap Raka, berusaha membantu Adhis kembali berdiri tegak.
Tapi Adhis sudah kehilangan akal, ia yakin Raka tak akan melepaskannya dengan mudah. “Menjauh, Mas!!”
Raka terbelalak, ketika Adhis mengarahkan pisau bedah ke lehernya sendiri.
“Sayang … apa yang kamu lakukan?” tanya Raka, jika sebelumnya Adhis yang berurai air mata, kini Raka yang mulai menangis ketakutan.
Pisau bedah bukan benda yang secara umum bisa dijumpai dimana saja seperti pisau dapur, karena peruntukannya hanya diperlukan di ruang operasi, atau ruang IGD dalam kondisi darurat. Dan soal ketajaman, tentu tak perlu lagi ditanyakan, karen dengan tenaga bayi sekalipun, pisau itu bisa merobek permukaan kulit manusia dengan mudah.
“Menjauh, Mas!! Atau pisau ini benar-benar membuat perceraian kita menjadi nyata!” ancam Adhis.
Raka mundur beberapa langkah, ia tak mau gegabah hingga berakhir mencelakai istrinya sendiri. “Sayang tolong jauhkan pisau itu.” Raka kembali memohon.
“Hanya jika Mas mau menjauh dariku!!” pekik Adhis. Ia berusaha berdiri dan kembali menyeimbangkan tubuhnya.
Tepat di saat Adhis berhasil berdiri tegak, Raka berusaha mengambil alih Pisau, “lepaskan Mas!”
“Tidak akan, lebih baik kamu membunuh Mas! Berikan pisau ini!” paksa Raka.
Tarik menarik terjadi, hingga hal yang tak diinginkan pun terjadi begitu saja. Karena Adhis menggunakan tenaga penuh, ia berhasil meloloskan tangannya. Pisau itu tanpa sengaja menusuk perut bawah Adhis.
•••
Dean membeku di tempatnya, dari tempatnya berdiri, ia melihat Raka dengan pakaiannya yang berlumuran darah, tengah membantu para petugas melakukan pertolongan pertama. Entah siapa pasien yang ia bawa, semakin dekat langkah kakinya, perasaan Dean semakin carut-marut tak karuan.
Berjalan semakin dekat, dengan rasa penasaran yang terus meningkat, membuat Dean merasa jantungnya terhenti seketika. Ia tak lagi melihat darah yang mengalir sangat banyak dari tubuh Adhis, tapi pengalaman di ruang IGD selama bertahun-tahun membuat Dean melihat hal yang lainnya juga, ia melihat lebam kebiruan di lengan Adhis yang menjuntai begitu saja dari atas brankar.
Firasatnya mengatakan Raka sempat melakukan kekerasan pada Adhis.
“Sayang … aku mohon buka matamu, bertahanlah, aku akan menyelamatkanmu.” Kedua tangan terampil Raka terus bergerak menghentikan pendarahan, sementara air mata berlinang dari kelopak matanya.
Dean sungguh tak bisa lagi menahan diri, mendekat dan mencengkram kerah pakai.
“Tidak cukupkah kamu hanya menyakiti hatinya saja? Hah?!”
“Aku tidak melakukan apa-apa padanya, aku hanya mencegahnya menyakiti dirinya sendiri!”
Kedua dokter senior itu saling melempar tatapan tak suka. Sementara para perawat serta dokter muda yang bertugas di sana terus bergerak cepat melakukan aksi pertolongan pertama.
“Dokter Dean!! Kesadaran pasien terus menurun!” lapor dokter Syeila, sang dokter muda yang kebetulan bertugas di ruang IGD.
Dean menghempaskan tubuh Raka begitu saja, ia menatap Raka dengan penuh ancaman, jika saja tak berburu waktu, sudah pasti ia akan menghajar Raka habis-habisan.
Dean segera mengoles hand sanitizer di kedua telapak tangannya, setelah itu ia memakai sarung tangan medis. Suster Elia yang mengikutinya sejak dari kantin menyodorkan USG, karena Dean harus memeriksa seberapa dalam pisau itu menancap di perut Adhis.
“Dok, ini terlalu dalam, sepertinya melukai dinding rahim pasien,” ujar suster Elia.
“Minta Dokter Obgyn bergegas ke ruang operasi, Dokter Syeila, sudah berapa kantong da^rah yang masuk?”
“Dua kantung, Dok, sekarang sedang proses kantung ketiga.”
“Siapkan lima kantung lagi, dan segera pindahkan pasien ke ruang Operasi.”
Dean kembali mengamati layar USG, ia menyadari ada sesuatu di rahim Adhis, membuat Dean tak kuasa menahan air matanya. Adhis pasti sudah sangat menantikan kehadirannya, Dean terus menggerakkan transducer, berusaha mendeteksi detak jantung janin, namun setelah beberapa saat mencoba, sudah tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Sama seperti janin itu, Dean pun menyerah.
•••
Hufftt … tarik nafas gengs, sudah lama othor gak bikin narasi di ruang gawat darurat, tegang gak?? 😁😁
2000 kata nih, jangan minta nambah🤕 dan kalo gak komen othor mau ngambek… 🥴🥴🥴
Pecinta textbook pasti 😀
apapun keputusan kak author kamu terima aja ya raka
keinginan eyang bella terkabul nih.