Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
“Ya iya, bapak kan orang kaya, apalah artinya uang empat juta untuk orang seperti bapak. Tapi bapak dengan teganya memotong gaji saya yang hanya lima puluh ribu demi menyicil utang yang empat juta itu.“
“Tapi itu kan kewajiban bapak untuk membayarnya. Saya bisa saja meminta uang cas senilai empat juta rupiah, sebab saya juga memberikannya cas kepada bapak dan istri, tetapi saya masih punya hati pak, oleh sebab itu saya bilang bapak bisa nyicil dengan cara potong gaji.”
Pak Burhan menghelas napas, ekspresi wajahnya datar.
“Ya sudah, potong saja pak, anggap saja saya bekerja di sini kerja bakti,” ujar pak Burhan, yang membuat pak Bani naik pitam.
“Kalau begitu mulai sekarang bapak saya pecat, besok jangan datang lagi ke mari,” ujar Pak Bani, “dan ingat pak, utang bapak yang sisanya satu juta sembilan ratus ribu itu harus bapak kembalikan paling lambat Minggu ini. Kalau tidak, maka anak buah saya akan menjemput bapak dari rumah,” ujar pak Bani. Ia merasa kesabarannya sudah habis m lihat sikap pak Burhan.
“Kurang ajar, maksud kau apa memecat aku sepihak ha..” Pak Burhan langsung meraih kerah baju Pak Bani, hendak menonjok pak Bani.
“Heiii lepaskan!” beruntung, orang-orang pak Bani langsung masuk dan menarik tubuh Burhan.
“Seret manusia angkuh yang tdak tahu diri itu keluar dari sini,” ujar pak Bani kepada orang orangnya.
“Kau yang tidak tau diri memecat, orang sebaik aku,” teriak pak Burhan, sebelum ia diseret keluar.
“Lepaskan, aku bisa keluar sendiri,” ucapnya kepada para orang orang pak Bani, begitu ia sampai di depan pintu.
“Kenapa dia di pecat bos?” tanya pak Zei kepada pak Bani.
“Dia angkuh dan sombong, saya tidak suka,” ucap pak Bani, “sudah, kalian lanjut bekerja,” sambung pak Bani.
*****
“Apa bapak di pecat? Kok bisa? Pak Bani dan istrinya kan orang baik pak,” Sumi kaget.
Tidak percaya kalau suaminya di pecat, sebab yang ia tahu pak Bani dan istrinya dalah orang baik yang berwelas asih yang tinggi.
Buktinya ia begitu di perlakukan dengan baik oleh Bu Lusi dan pak Bani tadi pagi di rumahnya. Bahkan ia di jamu dengan minuman dan makanan terbaik di sana.
“Iya bisalah Bu. Kamu enggak tau aja bu kalau pak Bani itu orangnya hanya pura-pura baik, bukan baik beneran. “
“Pura-pura baik bagaimana pak? Ibu gak ngerti?”
Sumi mengernyitkan keningnya, yang Sumi lihat pak Bani dan Bu Lusi itu baiknya dari hati bukan di buat-buat seperti yang dikatakan oleh Burhan suaminya.
“Bayangkan saja Bu, bapak harus potong gaji setiap hari buat bayar utang yang dua juta..” Burhan sontak terdiam, padahal hutang itu ia rahasiakan dari istrinya.
“Utang apa pak?” tanya sumi pura-pura tidak tahu. Sumi ingin tau apa pengakuan suaminya dan dikemanakan uang sebanyak itu tampak memberitahu dirinya dan anak-anak mereka.
“Anu Bu...”
“Katakan pak”
Burhan terdiam, ia seperti masuk ke dalam perangkapnya sendiri.
“Bapak pinjam uang dua juta rupiah dari pak Bani, tapi sudah nyicil sebesar seratus ribu.”
“Ya Allah yah, terus uangnya dikemanain, kenapa ibu bisa enggak tau?”
“Uangnya buat emak berobat di kampung.”
“Jawab jujur.”
“Serius, Bapak berani bersumpah.”
Sumi pun menyandarkan tubuhnya ke dinding papan kamar mereka.
“Maafkan bapak Bu, bapak sengaja enggak ngasih tahu ibu, sebab emak memang nelponnya mendadak katanya uang mereka kurang dua juta untuk beli sawah. “
Mendengar itu Sumi semakin menangis, bisa bisanya mertuanya meminta Burhan mengusahakan uang sebesar itu hanya untuk menggenapi uang mereka untuk membeli sawah, padahal mertuanya tahu bagaimana kehidupan mereka di kota ini. Dan yang lebih parahnya lagi, Burhan memyanggupin permintaan emaknya sedangkan Burhan tahu anak-anak mereka lebih butuh uang.
“Kamu tega mas, kamu tahu tidak tadi pagi aku pergi ke rumah pak Bani untuk meminjam uang dua juta rupiah buat bayar tunggakan sekolah Santi dan Riski. Kamu pikir uang apa yang nanti aku bayarkan ke sana mas. Kamu pikir tidak, kamu peduli tidak terhadap anak-anak kamu. Yang kamu pikirkan hanya rokok-rokok dan setiap hari rokok. Aku pusing mas.”
“Plak.“
Sebuah tamparan mendarat di pipi Sumi.
Anak-anak mereka berkumpul di ruang tengah, mereka mendengar pertengkaran hebat orang tuanya. Dari luar kamar.
“Jaga mulutmu, kamu kira apa penyemangatku selama ini untuk bekerja?” tanyanya pada Sumi, sedangkan Sumi menatap nanar wajar suaminya Burhan sambil memegangi pipinya yang memanas akibat tamparan Burhan.
“Rokok… penyemangat ku hanya rokok,” sambung Burhan.
“Hanya rokok, jadi aku dan anak-anak kau anggap apa? Tidak cukupkah anak-anak jadi penyemangat untuk bekerja”
“Anak-anak bukan penyemangat, mereka beban, yang numpang hidup denganku,” ujar Burhan pergi keluar kamar, enam pasang mata milik anaknya menatap ke arah Burhan. Burhan menyisir rambutnya dengan kelima jarinya, kemudian pergi meninggalkan rumah.
“Menyusahi saja,” Burhan berucap sebelum ia membanting pintu ruang tengah.
Melihat ayah mereka sudah pergi, ke lima anaknya pun masuk ke dalam kamar dan memeluk Sumi. Kecuali Santi, Santi hanya berdiri di bibir pintu kamar dan menatap wajah ibunya yang memerah akibat tamparan ayahnya.
gak punya anak kah gmn klo posisi ke 5 adik santi adalah anaknya... gak suka dg spt ini thor