Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Galen?
***
"Gila sih, gue masih nggak percaya kalau lo lah yang digosipin anak-anak selama ini."
Celetukan Rita hanya mampu membuatku meringis tepat setelah aku membagikan undanganku kepadanya. Saat ini kami sedang berada di Cafe dekat rumah sakit, jam kerja kami telah usai. Aku sengaja mengajaknya kemari untuk mentraktirnya sebagai tanda permintaan maaf karena sudah merahasiakan statusku selama ini.
"Gimana bisa sih, Ge?" Ia kembali bertanya dengan nada tidak percayanya.
"Ya, gitu lah, Rit," jawabku seadanya.
Semua memang terjadi begitu saja, sangat cepat sampai membuatku sulit mencerna semuanya, bahkan sampai sekarang terkadang masih sulit untukku menerima semua ini. Ya meski Mas Yaksa maupun keluarganya memperlakukanku dengan baik, tapi rasanya tetap tidak mudah untukku.
"Jadi ini bukan lo bakalan dinikahi kakak ipar lo tapi lo udah sah jadi istrinya?"
Aku mengangguk.
"Jadi cuma gue doang yang belum nikah di antara kita semua?" imbuhnya kembali bertanya dan kali ini hanya mampu membuatku meringis sungkan.
"Gila, pantesan kedua orang tua gue ngebet banget pengen gue cepet-cepet nikah ternyata yang sesantai lo tahu-tau udah jadi istri orang aja."
"Bukan mau gue, Rit."
"Jadi lo beneran dipaksa?" Rita sedikit memajukan badannya dan menurunkan nada bicaranya. Ekspresinya terlihat sekali kalau dirinya sedang penasaran.
"Ini wasiat almarhumah kakak gue, mau nggak mau gue sama Mas Yaksa ya harus menikah."
Rita memundurkan tubuhnya sambil manggut-manggut paham. "Oh, jadi begitu. Terus kalian... Gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana, gue sama Mas Yaksa sama-sama sepakat untuk belajar kok, meski kita belum saling cinta kayak pasangan suami-istri pada umumnya, kita coba untuk komitmen bareng-bareng."
"Wow, nggak ada kontrak harus gimana atau apa?"
"Rit, plis lah kurang-kurangin nonton drama." Aku berdecak sedikit kesal dengan pertanyaannya barusan.
"Ya siapa tahu kan lo sebenernya punya pacar. Eh, nggak mungkin sih lo nggak punya pacar. Jadi cowok lo gimana pas tahu lo nikah sama kakak ipar lo sendiri? Ngamuk nggak?"
"Enggak ya. Gue nggak ada pacar. Berhubung gue nggak ada pacar itu lah yang bikin gue akhirnya nikah sama kakak ipar gue sendiri."
"Oh, jadi begitu. Berarti nggak rugi-rugi amat lah ya lo nikah sama kakak ipar lo sendiri." Setelah mengatakan kalimat itu, Rita tiba-tiba berdecak kesal, "ya nggak bakalan rugi sih, lha wong modelan ipar lo aja Pak Dirut muda kita. Bener yang dibilang orang-orang lah ya, kalau lo menang banyak."
Terlepas dari beban yang harus ku tanggung karena menjadi istri Mas Yaksa, memang benar kalau aku mendapatkan banyak keuntungan dari pernikahan kami. Meski ada harga yang harus aku bayar untuk mendapatkan keuntungan itu.
Seperti hari ini, aku harus mendapatkan tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang sengaja lewat depan nurse station hanya untuk melihat sosok yang telah resmi menjadi istri dari bos mereka. Tidak jarang tatapan tak suka sekaligus meremehkan ia berikan padaku secara terang-terangan.
Tersinggung?
Bohong kalau aku jawab tidak. Tapi mau bagaimana lagi aku harus siap dan menerima dari segala konsekuensinya. Mungkin kalau aku tidak memutuskan untuk tetap bekerja tatapan tidak suka dari mereka tidak akan kudapatkan. Dan sayangnya aku memilih untuk merasakan itu semua. Jadi mau bagaimana lagi selain menerimanya?
"Jadi rencana lo habis ini apa?"
"Balik."
Rita berdecak sambil menggulung pastanya. "Maksud gue kerjaan lo, lo yakin masih mau lanjut kerja?"
"Iya. Gue bakalan tetep kerja sambil ngurusin anak-anak sambung gue."
"Ge, emang nggak capek?"
Aku mengulas senyum super tipis. "Ya, capek lah, Rit. Capek banget malah."
Selain capek fisik, sejujurnya aku juga merasa capek mental.
"Kan kalau di rumah lebih enak, Ge. Lo tinggal ngurusin anak-anak sama bapaknya, lo nggak harus denger para karyawan jelekin lo."
"Maka dari itu gue tetep milih kerja, Rit, karena gue nggak mau dicap cuma morotin duit suami gue. Makanya gue harus kerja nggak sih?"
Rita menghela napas. "Jadi perempuan itu serba salah, Ge, apalagi kalau status perempuan itu sudah jadi istri dan bahkan ibu. Lo nggak kerja dicap morotin duit suami, padahal memang hak istri. Tetep kerja pun bakalan dicap nggak becus ngurus anak suami, padahal beberapa istri kerja karena bantu suami. Nah, kasus lo, lo nggak perlu kerja nggak sih, Ge? Jangan egois demi kasih makan ego lo."
Aku diam sesaat. Kalimat Rita cukup menamparku, apakah aku tetap bekerja hanya demi memberi makan egoku karena tidak ingin diremehkan?
"Gue bukannya mau nyuruh lo berhenti bekerja, Ge, cuma, yah, apa salahnya lo pikir lagi mengingat posisi lo sekarang ini, sebenernya lo butuh kerja atau enggak sih. Gitu."
Aku tersenyum. "Kayaknya lo udah beneran siap banget jadi istri ya, Rit."
"Emang," balas Rita penuh percaya diri, "gue kan juga nggak mau kalah. Emang lo doang yang mau kawin? Dih, gue juga dong."
Kedua bola mataku seketika membulat sempurna. "Jangan bilang lo udah dilamar?"
Rita tersenyum malu-malu kemudian menggeleng. "Belum. Masih bulan depan. Tapi rencana abis lamaran langsung gas nikah sih, biar nggak kalah sama Bu bos dong," candanya diiringi tawa renyah.
Aku tersenyum lega. Akhirnya Rita dan Hasan akan menikah. Akhirnya perempuan itu tidak akan merasa galau lagi dengan statusnya yang tidak jelas. Padahal dulu pun status Rita jelas pacarnya.
"Congrat's ya, Rit, akhirnya lo nggak bakalan galau karena belum dinikahin."
"Iya nih, Ge, akhirnya perjuangan gue bertahun-tahun nungguin dia ngelamar gue bentar lagi bakalan terwujud. Gue bakalan nyusul lo jadi istri orang."
Kedua mata Rita tiba-tiba berkaca-kaca, ia sudah meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Buru-buru aku mengeluarkan tisu dari dalam tas dan menyodorkan pada Rita.
"Udah dong, Rit, jangan nangis kan ini berita bahagia. Ntar dikira gue ngapain lo." Masih sambil mengelus pundaknya aku sedikit mengomelinya dengan nada bercanda.
"Sorry," cicitnya merasa bersalah, "gue nangis bahagia kok. Bukan nangis sedih."
"Lo hebat. Lo keren. Hasan bakalan rugi banget kalau sampai dia ninggalin lo."
"Bener." Rita mengangguk setuju sambil terkekeh.
"Udah, ayo dihabisin makannya abis itu cabut. Gue harus balik soalnya udah ditungguin anak-anak gue."
Bibir Rita mencabik kesal. "Iya, iya, nggak usah pamer kalau sekarang lo udah ganti status gitu lah."
Kali ini giliran aku yang tertawa. Ingin membalas kalimat Rita, tapi saat mendengar namaku dipanggil, terpaksa aku harus mengurungkan niatku. Aku kemudian berbalik ke asal suara dan pada detik berikutnya tubuhku menegang sempurna.
"Galen?" desisku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.