Di usianya ke 32 tahun, Bagaskara baru merasakan jatuh cita untuk pertama kalinya dengan seorang gadis yang tak sengaja di temuinya didalam kereta.
Koper yang tertukar merupakan salah satu musibah yang membuat hubungan keduanya menjadi dekat.
Dukungan penuh keluarga dan orang terdekat membuat langkah Bagaskara untuk mengapai cinta pertamanya menjadi lebih mudah.
Permasalahan demi permasalahan yang muncul akibat kecemburuan para wanita yang tak rela Bagaskara dimiliki oleh wanita lain justru membuat hubungan cintanya semakin berkembang hingga satu kebenaran mengenai sosok keluarga yang selama ini disembunyikan oleh kekasihnya menjadi ancaman.
Keluarga sang kekasih sangat membenci seorang tentara, khususnya polisi sementara fakta yang ada kakek Bagaskara adalah pensiunan jenderal dan dirinya sendiri adalah seorang polisi.
Mampukah Bagaskara bertahan dalam badai cinta yang menerpanya dan mendapatkan restu...
Rasa nano-nano dalam cinta pertama tersaji dalam cerita ini.
HAPPY READING.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RITUAL
Bau asap kemenyan memenuhi ruangan yang akan dijadikan tempat dimana Ningsih melakukan ritual malam ini.
Menggunakan jarik hitam yang menutupi bagian dada dan separuh paha mulusnya, Ningsih duduk ditepi ranjang yang akan dijadikan ranjang pengantinnya malam ini.
Menyerahkan keperawanannya sebagai pengantin sesembahan sebagai syarat awal untuk melakukan ritualnya demi bisa mendapatkan sang pujaan hati pun terpaksa dilakoninya.
Sempat terlintas penyesalan dihatinya paling dalam, namun tekad bulat telah dia buat dan tak ada langkah mundur lagi membuat Ningsih pun berusaha bertahan dengan jalan yang telah dipilihnya.
Ki ageng Goni terlihat beberapa kali menelan ludah melihat penampilan Ningsih yang menggoda dihadapannya.
Jakunnya naik turun menahan gelora nafsu birahi yang perlahan mulai menguasainya melihat dua buah melon yang cukup besar menonjol dibalik jarik tipis yang Ningsih gunakan.
Jiwa kelaki-lakian ki ageng Goni yang telah lama tertidur seakan bangkit kembali melihat kemolekan tubuh Ningsih yang terlihat duduk pasrah ditepi ranjang menerima nasibnya.
Perlahan, kakai ki ageng Goni mulai melangkah masuk kedalam kamar dengan nafas memburu hingga suara batinnya menggema “Sabar. Ada saatnya nanti kamu juga akan bisa menikmati tubuhnya”.
Untungnya akal sehat ki ageng Goni masih bekerja sehingga tak menyebabkan dia mati konyol karena bagaimanapun keperawanan Ningsih harus dia persembahkan kepada sosok siluman penunggu hutan jati ini demi mempermulus ritualnya nanti.
“ Apa kamu sudah siap”, ujar ki ageng Goni membuyarkan lamunan Ningsih.
“Su-sudah ki....”, jawabnya gugup.
“Bagus...ikuti aku”, ucap ki ageng Goni sambil berjalan memimpin didepan, menuju bagian belakang rumah kayunya.
Ningsih mengikuti kemana ki ageng Goni melangkah, hingga keduanya tiba halaman luas yang ada dihalaman belakang rumah kayu tersebut.
Disana, tampak beberapa obor yang menyala tertancap mengelilingi sebuah kursi kayu dimana ada gentong besar berisi bunga tujuh rupa terendam air disampingnya.
Disamping gentong yang terbuat dari tanah liat itu ada canting kayu yang akan Ningsih gunakan sebagai gayung.
“Duduklah dikursi itu”, perintah ki ageng Goni pada Ningsih.
Tubuh Ningsih seperti robot yang berjalan patuh mengikuti semua instruksi ki ageng Goni.
Setelah Ningsih duduk dikursi, ki ageng Goni yang berada dibelakang tubuh Ningsih mulai membaca mantra dengan mata terpejam agar konsentrasinya tak terpecah.
Setelah selesai membaca mantra, matanya yang terpejam mulai terbuka lalu diapun mulai mengambil canting kayu untuk memandikan Ningsih sebagai salah satu ritual pengantin sesembahan malam ini.
Dengan mulut komat-kamit membaca mantra, ki ageng Goni mulai membasuh tubuh Ningsih mulai dari kepala hingga seluruh tubuhnya basah dan bunga tujuh rupa yang ada didalam gentong menempel dikulitnya.
Bibir Ningsih mulai membiru dengan gigi gemeratak menahan rasa dingin yang melanda, namun demi kelancaran ritual dia pun berusaha menahannya.
Harum aroma bunga yang menempel ditubuhnya menguar diudara pertanda jika ritual mandi telah usai.
Ningsih pun diperintahkan oleh ki ageng Goni masuk kembali kedalam kamar, menunggu pengantinnya datang.
Sementara, ki ageng Goni kembali masuk kedalam ruangannya, duduk disebuh tikar anyaman sambil berkomat-kamit didepan tungku hitam yang ada dihadapannya, membaca mantra sambil sesekali menabur garam kasar diatas tungku hingga bau kemenyan semakin pekat.
Wushhh....
Angin berhembus kencang masuk kedalam bilik kamar yang Ningsih gunakan hingga hawa dingin yang menusuk hingga ketulang kembali dirasakan akibat pakaian basah yang dikenakannya.
Semilir angin memasuki bilik kamar dimana Nigsih berubah menjadi asap tebal yang kemudian menampakkan sosok pemuda gagah dan tampan.
“Mas Bagas...”, guman Ningsih, berjalan mendekat kearah sosok lelaki dengan wajah mirip Bagaskara.
Sosok menyerupai Bagaskara itu berlahan mendekati Ningsih yang tampak terkejut sekaligus bahagia karena ternyata sosok pengantin yang ditunggunya adalah lelaki yang sangat dicintainya.
“Kamu sangat cantik”, ujarnya membuat Ningsih tersipu malu.
Siluman yang tengah menyamar sebagai Bagaskara tersebut meraih kedua tangan Ningsih dan menuntunnya untuk berbaring ditengah ranjang yang telah ditaburi kelopak bunga.
Harum wangi menguar diudara dengan beberapa lilin yang menyala diatas meja samping ranjang membuat suasanya yang tercipta semakin romantis.
Tanpa banyak kata keduanya pun mulai pergumulan panas sebagai bentuk perjanjian Ningsih yang telah menyerahkan jiwanya kepada bangsa iblis.
Jerit pekik kenikmatan memenuhi bilik kamar tersebut, memecah kesunyian malam membuat ki ageng Goni yang berada diluar kamar kepanasan.
Hasrat kelaki-lakiannya kembali membuncah mendengar pekikan penuh kegairahan, namaun ki ageng Goni masih sabar menunggu hingga junjungannya menyelesaikannya karena masih sayang nyawa.
Setelah sang siluman lenyap, ki ageng Goni segera menyelesaikan tugasnya dengan mengambil jarik hitam yang tadi dipakai oleh Ningsih serta sprei puti bernoda darah yang menandakan keperawanan wanita itu sudah hilang dan membawanya ke belakang rumahnya.
Sprei bernoda darah itu dia masukkan kedalam sebuah bejana dan ki ageng Goni kembali melakukan ritual terakhirnya dengan cepat.
Setelah semua selesai, diapun kembali kedalam kamar dimana Ningsih berada dengan tatapan penuh nafsu melihat tubuh molek polos tersebut terlentang ditengah ranjang.
Dengan rasa tak sabar, ki ageng Goni langsung melumat bibir tebal Ningsih dan meremas dua buah melon besar yang sedari tadi menggodanya.
Ningsih yang merasa gairahnya kembali datang mulai membuka mata dengan ekpresi terkejut “Aki...”, ucapnya tercekat.
Namun, nafsu birahi menderanya sehingga diapun menyambut hangat kecupan dan lumatan yang ki ageng Goni layangkan kepadanya.
Ki ageng Goni menghentak kuat berkali-kali diatas tubuh Ningsih, membuat wanita muda itu menoleh kekanan-kekiri sambil menikmati sesuatu yang seakan terus menusuk inti tubuhnya dengan cepat.
Setelah bergumul selama tiga puluh menit, tubuh ki ageng Goni rubuh diatas Ningsih setelah dia mengeluarkan semburan diatas perut wanita muda itu.
Ki ageng Goni sadar, jika didalam liang kenikmatan Nigsih ada benih junjungannya sehingga dengan terpaksa dia mencabut pusakanya dan mengeluarkan benihnya diluar agar tak tercampur.
Dan kejadian ini terus berulang selama tujuh hari berturut-turut dan hal tersebut tak dipermasalahkan oleh Ningsih yang justru merasa bahagia karena dia seperti sedang bercinta dengan Bagaskara, meski dia sadar jika itu hanyalah siluman yang menyerupai lelaki yang dicintainya.
Selain melayani siluman dengan wujud Bagaskara, Ningsih juga melayani ki ageng Goni yang ternyata juga perkasa hingga dia menjerit kenikmatan ketika bergumul dengan lelaki tua tersebut yang nyatanya memiliki tenaga sangat besar untuk memuaskannya.
Setelah melakukan ritual penyatuan, Ningsih selalu memakan kembang yang ki ageng Goni berikan kepadanya.
Dihari kedelapan, sebelum pergi ki ageng Goni memberikan Ningish sebuah kalung dengan bandul batu hitam sebagai hadiah dari suami ghoibnya.
“Ningsih ingat, setiap malam bulan purnama kamu harus bersiap menyambut kedatangan suami ghoibmu. Siapkan dupa, kembang tujuh rupa dan darah ayam hitam seperti apa yang kamu bawa kemari. Kamu juga harus mandi kembang tujuh rupa seperti disini sebelum kalian melakukan penyatuan”, pesan ki ageng Goni sebelum Ningsih melangkah keluar dari rumah kayunya.
Ningsih melangkah dengan aura yang berbeda dari sebelumnya karena ki ageng Goni mengatakan jika dia akan mudah untuk menakhlukan lelaki manapun yang dia inginkan karena dia telah memiliki ilmu pemikat dalam tubuhnya.
Selama semua pantangan dipatuhi maka Ningsih bisa membuat siapapun lelaki yang menatapnya akan jatuh bertekuk lutut dihadapannya, mengiba dan memohon untuk dicintai olehnya.
“Bagaskara, tunggu aku dan kali ini akan kupastikan kamu bertekuk lutut dihadapanku”, guman Ningsih penuh kepuasan.