Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan baru dan jalan yang tak terduga
Lara berjalan sedikit tertatih, dengan langkah yang tampak lemah. Meski luka di lengannya tidak terlalu dalam, rasa sakit dan kelelahan jelas terlihat di wajahnya. Sementara itu, Darius terus menatap wanita itu dengan pandangan curiga, seolah setiap gerakannya mencerminkan ancaman. Samuel tahu bahwa hati Darius selalu penuh dengan kecurigaan terhadap orang baru. Tapi dalam situasi seperti ini, ia juga mengerti bahwa kehati-hatian bisa berarti hidup dan mati.
“Apa kau benar-benar tahu jalan ke tempat aman itu?” tanya Darius akhirnya, memecah kesunyian yang menegangkan.
Lara menoleh, berusaha menahan rasa takutnya terhadap pria bertubuh besar itu. “Ya, aku tahu jalannya. Aku berhasil keluar dari sana saat… saat mereka menyerbu. Hanya saja… aku tidak tahu bagaimana situasi di sana sekarang.”
Samuel menatap Lara dengan mata penuh simpati. "Tak masalah. Kita akan sampai di sana bersama-sama," ujarnya menenangkan.
Scrappy menggonggong pelan, seakan setuju dengan Samuel. Suara anjing kecil itu membawa sedikit kedamaian di tengah ketegangan yang mereka rasakan. Meskipun kecil, anjing itu memberikan semangat yang entah bagaimana membuat perjalanan ini terasa sedikit lebih ringan.
***
Saat malam semakin larut, mereka menemukan bangunan bekas kantor kecil yang tampak sepi dan aman. Dindingnya masih utuh, hanya beberapa jendela yang pecah. Mereka sepakat untuk berhenti di sini, beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan esok pagi.
Di dalam, ruangan tampak gelap dan dipenuhi debu. Namun, mereka merasa ini cukup aman untuk bermalam. Samuel menyisir ruangan, memastikan tidak ada zombie yang bersembunyi di sudut gelap, sementara Darius berjaga di pintu masuk.
Setelah merasa cukup aman, mereka duduk melingkar di lantai yang dingin, menghabiskan sisa makanan yang mereka bawa. Samuel membagikan roti kering pada mereka, sementara Scrappy menikmati potongan kecil yang diberikan Samuel dengan senang.
“Kalian sudah lama bertahan di sini?” Lara memecah keheningan dengan suara pelan.
Samuel mengangguk. “Hanya beberapa hari. Kami masih mencari cara untuk bertahan hidup lebih lama.”
“Dan kau?” Darius menambahkan dengan suara datar. “Bagaimana kau bisa bertahan sendirian?”
Lara menunduk, mengingat kejadian yang begitu mengerikan di hari-hari awal wabah. “Aku berada di sebuah tempat penampungan… bersama keluargaku. Tapi saat mereka menyerbu, hanya aku yang berhasil keluar.” Suaranya bergetar, jelas menunjukkan luka batin yang masih ia rasakan.
Samuel terdiam, merasakan kesedihan yang terpancar dari kata-kata Lara. Dia tahu rasa kehilangan itu, meski ia tak banyak bicara tentang masa lalunya sendiri. Tapi dalam sekejap, ia merasakan koneksi yang tak terucapkan dengan wanita itu—bahwa mereka semua berjuang, menanggung rasa sakit yang mungkin tak akan hilang.
Darius, di sisi lain, hanya mengangguk singkat, seolah menganggap cerita itu hanya sebagian dari kenyataan dunia baru ini. Baginya, belas kasihan hanya akan menjadi kelemahan. Namun, di sisi lain, ia merasa sedikit tergerak oleh cerita Lara, meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya.
***
Saat malam semakin larut, Samuel berdiri untuk berjaga di pintu, sementara yang lain beristirahat. Ia melihat ke luar, ke kota yang gelap gulita tanpa lampu jalan, tanpa suara apapun selain angin yang bertiup pelan. Dalam pikirannya, ia merenung tentang apa yang akan terjadi esok hari. Mereka berada dalam perjalanan yang tidak pasti, dengan bahaya yang terus mengintai di setiap sudut.
Scrappy yang berbaring di sampingnya mengangkat kepala, memandangi Samuel dengan mata cokelatnya yang tajam. Samuel tersenyum kecil, merasa seolah anjing itu mengerti beban yang ia pikul. Ia mengelus kepala Scrappy perlahan, seolah anjing kecil itu adalah satu-satunya penghiburan dalam dunia yang telah kacau ini.
Di sisi lain ruangan, Darius tertidur dengan mata yang masih setengah terbuka, selalu siap menghadapi ancaman yang datang. Lara, meski terlihat rapuh, berhasil tertidur, namun wajahnya masih menyiratkan ketakutan yang mendalam.
Samuel menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan mungkin akan penuh dengan penderitaan yang tak terduga. Tapi dengan orang-orang di sekitarnya, ia merasa ada harapan kecil yang masih menyala. Dalam keheningan malam, ia berdoa dalam hati, berharap bahwa mereka semua bisa bertahan sampai akhir.
-------------------------------------------------------------------
Pagi menjelang dengan perlahan, namun bukannya memberi kenyamanan, cahaya yang menembus jendela pecah gedung tua itu malah membuat mereka merasa rentan. Jalanan di luar terlihat kosong, namun keheningan di dunia baru ini lebih menyeramkan daripada suara apapun. Tiap langkah yang mereka ambil bisa mengundang bahaya.
Samuel terbangun lebih dulu, merasakan tubuhnya masih kaku akibat tidur di lantai keras. Ia mengamati ruangan, memastikan Darius dan Lara masih tertidur di sudut masing-masing, sementara Scrappy mengendus-endus di dekat pintu, waspada namun tenang. Samuel merasakan ikatan tak terduga dengan anjing kecil itu, mungkin karena Scrappy sama tersesatnya dengan mereka semua.
Darius menggeliat pelan, membuka matanya sambil meregangkan badan. “Apa sudah aman?” tanyanya, meski ia tahu jawaban itu tak pernah benar-benar ada.
Samuel hanya mengangguk, pandangannya tetap ke arah luar jendela. “Kita harus pergi sebelum ada yang menyadari kita di sini.”
Lara bangun perlahan, wajahnya masih pucat namun matanya menunjukkan tekad. Meski mereka baru bertemu, ada rasa percaya yang mulai terbentuk di antara mereka, didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup. Masing-masing membawa cerita yang terluka, dan meskipun samar, ada kehangatan kecil dalam kebersamaan ini.
***
Saat mereka melangkah keluar dari gedung, kabut pagi mulai menyelimuti jalanan, menciptakan suasana yang seram. Gedung-gedung tinggi yang biasanya menjulang angkuh kini terlihat seperti bayangan muram yang terabaikan. Tiap sudut tampak seperti jebakan, menunggu mereka lengah untuk menyerang.
Darius memimpin jalan dengan senjata di tangan, sementara Samuel berjaga di belakang dengan mata tajam. Mereka sudah sepakat untuk mengikuti arah yang diingat oleh Lara menuju tempat yang mungkin aman. Namun, mereka semua tahu ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan penuh bahaya.
Lara tampak tegang, terus menengok ke kanan dan kiri. Sesekali ia bergumam, mencoba mengingat rute yang pernah ia lewati. Meski tidak yakin seratus persen, ia memberikan arahan dengan setengah berbisik, mencoba mengurangi kebisingan.
Mereka berjalan dalam diam, melewati beberapa bangunan yang sudah hancur dan ditinggalkan. Mobil-mobil yang terparkir di jalan tampak berdebu dan berkarat, menjadi saksi dari kepanikan yang pernah terjadi. Samuel merasa ada hawa dingin yang terus menyelimuti, seolah kota ini telah kehilangan seluruh jiwanya.
Scrappy, yang berjalan di samping Samuel, tiba-tiba berhenti, mengendus udara dengan gelisah. Samuel menyadari perubahan sikap anjing itu dan memberi isyarat pada Darius dan Lara untuk berhenti.
“Ada yang salah,” bisik Samuel sambil mengawasi sekitar.
Darius mengangkat alis, memperhatikan Scrappy yang mulai menggeram pelan. Mereka berdiri dalam kesunyian, mendengarkan suara-suara samar yang muncul dari arah selatan. Derap kaki yang berat terdengar, membuat Samuel dan Darius mempersiapkan senjata mereka.
“Zombie?” bisik Lara, tampak ketakutan.
Samuel mengangguk pelan. “Tapi tidak hanya satu atau dua... Sepertinya gerombolan.”
Mereka bertiga mundur perlahan, mencoba mencari tempat berlindung. Samuel mengarahkan mereka ke sebuah gang sempit yang diapit gedung-gedung tinggi. Meski gang itu gelap dan pengap, setidaknya mereka bisa menghindari pandangan zombie untuk sementara.
Dari balik bayangan, mereka mengintip ke arah jalanan utama. Gerombolan zombie mulai muncul, berjalan dengan langkah-langkah terseok dan tatapan kosong yang mematikan. Jumlah mereka lebih banyak dari yang diperkirakan, mungkin puluhan atau bahkan ratusan. Pemandangan itu membuat dada Samuel berdebar cepat.
“Jika kita tetap di sini, mereka mungkin akan mencium bau kita,” kata Darius sambil menatap Samuel dengan cemas. “Kita harus bergerak, tapi ke mana?”
Lara menunjuk ke arah utara, ke sebuah gedung tua yang tampak lebih kokoh dari bangunan lain di sekitarnya. “Di sana, ada lorong bawah tanah yang mungkin bisa kita lewati. Dulu, aku pernah menggunakannya untuk lari dari serangan zombie sebelumnya.”
Samuel memandang gedung itu dengan ragu, tetapi pilihan mereka memang terbatas. Ia memberi isyarat agar mereka bergerak cepat dan diam-diam. Dengan hati-hati, mereka berlari menuju gedung tua itu, mencoba menghindari perhatian dari gerombolan yang semakin dekat.
Setelah tiba di gedung, Lara memimpin mereka ke sebuah pintu yang tersembunyi di balik tumpukan sampah dan puing. Pintu itu terbuka dengan susah payah, memperlihatkan tangga yang menurun ke bawah tanah. Aroma lembap dan debu memenuhi udara, namun mereka tidak punya waktu untuk ragu. Satu per satu, mereka masuk ke dalam lorong yang gelap.
***
Di dalam lorong, suara mereka teredam oleh dinding beton tebal. Cahaya yang masuk dari celah-celah di atas memberikan sedikit penerangan, namun sisanya gelap gulita. Samuel mengeluarkan senter kecil dari tasnya, sinarnya menyapu lorong panjang dan sempit yang tampak seperti labirin.
“Berapa jauh lorong ini?” tanya Darius dengan suara pelan.
Lara berpikir sejenak. “Jika aku ingat dengan benar, sekitar seratus meter ke utara, lalu kita akan mencapai lorong lain yang mengarah ke permukaan.”
Samuel mengangguk, memberi isyarat agar mereka terus maju. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong, seolah memperingatkan mereka akan bahaya yang mungkin ada di ujung jalan. Di tengah keheningan, setiap suara kecil terasa seperti ancaman.
Tiba-tiba, Scrappy berhenti, menatap ke arah ujung lorong dengan bulu yang berdiri. Anjing kecil itu mulai menggeram, matanya menyiratkan ketakutan. Samuel merasakan kegelisahan yang sama, seakan ada sesuatu yang mengintai mereka dari dalam kegelapan.
“Ada apa lagi?” bisik Lara, suaranya bergetar.
Sebelum ada yang sempat menjawab, suara langkah kaki yang berat terdengar dari depan mereka. Bayangan besar muncul di ujung lorong, bergerak perlahan dengan gerakan yang tak biasa. Samuel menyadari bahwa ini bukan sekadar zombie biasa. Makhluk ini lebih besar, tubuhnya terlihat cacat namun kokoh.
“Zombie mutasi…” bisik Darius, matanya melebar karena ngeri.
Zombie yang mereka lihat ini tampak lebih kuat, dengan otot-otot yang menonjol dan kulit yang tampak rusak namun keras. Makhluk itu mengeluarkan suara geraman dalam, suaranya seperti logam berderak. Mereka tahu, ini bukan musuh yang mudah dihadapi.
Samuel mengangkat tombaknya, bersiap untuk menyerang jika makhluk itu mendekat. “Kita harus mundur perlahan. Kalau kita berisik, dia bisa mengejar kita.”
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, Scrappy menggonggong keras, seakan memperingatkan Samuel dan yang lainnya untuk segera lari. Suara gonggongan itu menarik perhatian zombie mutasi tersebut, yang langsung mengarah ke arah mereka dengan gerakan cepat.
“Lari!” teriak Samuel sambil menarik Lara dan Darius untuk segera berlari menjauh. Mereka berpacu dengan waktu, menelusuri lorong yang gelap dan sempit, sementara suara langkah kaki berat terus membuntuti mereka.
Mereka berlari melewati belokan-belokan lorong, mencoba meloloskan diri dari kejaran. Darius hampir tersandung di satu titik, namun Samuel dengan sigap membantunya untuk bangkit. Saat mereka sampai di ujung lorong, Samuel mendobrak pintu besi di hadapan mereka. Pintu itu terbuka, memperlihatkan cahaya matahari yang menyilaukan.
Mereka berhamburan keluar dari lorong bawah tanah, kembali ke jalan yang sepi. Meski nafas mereka terengah-engah, mereka tidak berhenti, terus berlari menjauh dari lorong tersebut. Makhluk itu tidak keluar, namun suara geraman kerasnya masih terdengar dari kejauhan, memberi tahu mereka bahwa bahaya masih belum benar-benar hilang.
Setelah merasa cukup jauh, mereka berhenti di sebuah taman kecil yang penuh dengan rumput liar. Darius membungkuk, memegang lututnya sambil terengah-engah. Lara terdiam, wajahnya pucat setelah pengalaman mencekam tadi. Scrappy berbaring di dekat Samuel, terlihat kelelahan namun tetap waspada.
Samuel menatap mereka semua, lalu berkata dengan suara tegas, “Kita tidak bisa tinggal di kota ini lebih lama. Jika zombie mutasi mulai muncul, kita harus mencari tempat lain yang lebih aman.”
Darius mengangguk setuju, untuk pertama kalinya tanpa bantahan. Lara pun hanya bisa mengangguk, merasa bahwa mereka harus segera menemukan tempat perlindungan baru yang tidak dihantui oleh monster-monster mengerikan ini.