SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Aisyah dan Dimas masih bersembunyi di balik mobil sedan itu. Aisyah terus memperhatikan laptop Nadya yang sangat menarik perhatiannya—semua gerak-gerik mencurigakan dari Pak Ruslan terekam sangat jelas di sana. Mulai dari menguntit beberapa siswi yang sedang berjalan di lorong ataupun sekitar sekolah, sampai diam-diam mendengar percakapan anak-anak murid perempuan di kantin. Sementara itu, Dimas masih terfokus pada laptopnya. Layarnya tak lagi menampakkan CCTV, kini ia meretas semua yang ia perlukan. Bahkan ia meretas data biografis dari Pak Ruslan hingga data kependudukannya. Dimas memang sangat menakutkan jika sudah masalah hacking.
“Syah, aku nemuin data Pak Ruslan,” kata Dimas masih dengan tatapan menuju laptopnya. Perkataannya membuat Aisyah penasaran. Ia pun langsung melanjutkan, “Namanya Muhammad Ruslan, S.Kom. Dia dulu punya istri namanya Nur Radila. Sebagai anak MIPA kamu gak mungkin gak tau Nur Radila itu siapa, kan?”
Aisyah terbelalak. “Ibu Syifa!”
“Betul. Mereka bercerai karena masalah keuangan. Nur Radila cumab lulusan SMA. Setelah aku selidiki lebih lanjut, Pak Ruslan dan Nur Radila itu memang udah punya hubungan itu sejak SMA. Jadi, Nur Radila ketahuan hamil setelah dirinya lulus dan mendapatkan ijazah,” jelas Dimas.
Seketika Aisyah memikirkan alasan Pak Ruslan menculik Syifa karena gadis itu adalah anak dari Pak Ruslan sendiri. Seolah bisa membaca pikirannya, Dimas langsung menyangkal Aisyah.
“Ada yang lebih parah, Syah. Mereka cerai karena masalah ekonomi. Nur Radila nikah lagi dan bawa Syifa, tapi kehidupan keluarga baru mereka gak bertahan lama. Ada kecelakaan yang menimpa orang tua Syifa waktu dia kelas 10. Pak Ruslan bukan menculik Syifa karena itu anaknya, tapi liat ini—“ Dimas tak melanjutkan penjelasannya dan justru memperlihatkan sebuah data kesehatan pada Aisyah yang berasal dari suatu psikiater.
Di sana tertera bahwa Pak Ruslan memiliki riwayat psikologis pedofilia—dia memiliki kecenderungan menyukai anak yang lebih muda darinya, yaitu anak SMA. Nur Radila sebagai korban pertamanya sekaligus istrinya, tetapi bercerai karena masalah ekonomi. Anaknya, Syifa Andani, ia menculiknya bukan karena anaknya, melainkan karena ia ‘mencintai’ Syifa. Pantas saja selama yang Aisyah lihat terkait pergerakan Pak Ruslan di rekaman itu, ia selalu menguntit Syifa diam-diam.
“Kita harus masuk buat cari tahu lebih lanjut, Dim,” ajak Aisyah.
Dimas mengangguk. Ia memasukkan laptop Nadya ke dalam tas dan tetap membawa laptopnya. Mereka mencari apakah ada jalan masuk lain selain lewat pintu depan.
Bingo!
Mereka menemukannya.
Jalan masuk lewat pintu belakang rumah yang langsung menuju ke arah dapur. Keduanya masuk sembunyi-sembunyi sambil memperhatikan situasi sekitar—melihat ruang tamu yang kosong membuat mereka berjalan ke sana. Mereka tak menemukan keberadaan Arga dan Rian. Wajah Aisyah menoleh pada sebuah ruangan yang sedikit terbuka, ia melambai pelan pada Dimas agar menghampirinya.
Keduanya pun masuk ke dalam dengan langkah pelan. Ruangan tersebut hanya menampakkan sebuah meja dengan komputer dan buku-buku seolah memberitahu bahwa itu adalah ruang kerja Pak Ruslan. Aisyah menutup pintu dan menguncinya, sedangkan Dimas dengan cepat menuju komputer tersebut untuk mencari informasi di sana mana tahu ia menemukan sebuah file asing.
Aisyah memperhatikan berbagai buku di sana lalu membuka sebuah laci yang menempel di meja kerja itu. Sebuah buku catatan berada di sana. Baik Aisyah maupun Dimas ikut penasaran apa yang tertulis di buku itu sehingga mereka membacanya.
Di buku tersebut tertera cerita masa lalu Pak Ruslan sebagai anak yang selalu terkena pelecehan seksual oleh Ibunya sendiri. Diceritakan olehnya bahwa setiap hari ia dilecehkan dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang tulus dari sang Ibu, lalu dirinya dititipkan pada sebuah panti asuhan di Kota Surabaya sebelum akhirnya pindah ke Malang—membalik lembaran, Aisyah membaca tulisan yang memberitahukan nama korban sekaligus alasan mengapa Pak Ruslan menculik mereka.
...‘Syifa Andani, aku sangat mencintanya. Dia mirip seperti Nur Radila ketika masih SMA. Aku akan mendapatkannya.’...
.......
.......
...‘Riska Nuriawati, anak ini benar-benar nakal di sekolah. Seorang perundung harus diberikan pelajaran hidup. Aku akan menangkapnya juga.’...
.......
.......
...‘Ada anak kelas 10 yang menarik perhatianku. Namanya Cika Lastrana. Dia cantik tanpa kacamata bulatnya. Selama yang ku perhatikan, dia selalu seperti orang gugup. Aku penasaran, jika aku mengambilnya juga, apa yang akan terjadi?’...
.......
.......
...‘Murid paling teladan di SMA Rimba Sakti, Gea Nur Ustawiyah, bersikap kasar padaku. Dia meremehkanku dan mengatakan seolah bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan guru TIK sepertiku. Awas kamu!’...
“Gak ada tentang Nadya di situ,” timbrung Dimas usai membacanya.
Aisyah terus membalik-balikkan lembar kertas di buku tersebut, namun tak menemukan apa yang membuat Pak Ruslan ingin menculik Nadya.
“Nadya itu korban asal tangkap dia. Mungkin Pak Ruslan juga gak sempat buat mikirin apa yang buat dia mau culik Nadya. Alasan paling utama yang terlintas di pikiranku itu Pak Ruslan butuh uang Nadya,” balas Aisyah.
Dimas tampak berpikir sejenak kemudian mencabut flashdisk yang tertancap di CPU lalu menyambungkannya di laptopnya. Ia mulai meretas semuanya—mencari sesuatu yang penting sebagai bukti.
“Dia punya banyak hutang. Hutangnya mencapai angka Rp20.000.000,00. Ini bisa jadi alasan pertama kenapa dia culik Nadya selain karena kita minta Nadya buat pura-pura jadi korban penculikan,” jelas Dimas sambil menunjukkan layar laptopnya pada Aisyah yang kini mengangguk paham. “Kita gak bisa jadiin ini sebagai barang bukti. Semua yang kita selidiki itu ilegal, mulai dari CCTV, data pribadi, sampai riwayat psikologis. Satu-satunya barang bukti kita sekarang adalah buku itu,” lanjutnya seraya menunjuk buku tersebut.
Aisyah mengangguk lagi. “Ini adalah bukti kuat. Sekarang kita harus cari Rian sama Arga,” katanya.
Dimas setuju. Ia menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Aisyah secara perlahan membuka kunci pintu itu, lalu Dimas mengintip dari dalam sebelum akhirnya mereka keluar setelah tahu bahwa situasi sangat aman. Mereka berkeliling di rumah itu, tapi tak kunjung menemukan jalan di mana keberadaan mereka yang diculik.
Ceklek...
Spontan kedua anak itu kembali masuk ke dalam ruangan tadi. Mereka bersembunyi sambil mengintip di balik pintu siapa yang datang dari arah pintu masuk.
Itu adalah Syifa. Dia datang dengan membawa kantong kresek hitam di tangannya. Mata Aisyah menyipit sejenak lalu terbelalak. Dari kejauhan itu, dirinya melihat luka lebam di lengan Syifa dan juga wajahnya. Syifa berjalan melewati ruang kerja. Dimas yang tak ingin kehilangan kesempatan langsung menarik tangan Syifa dan membuat gadis itu masuk ke dalam ruang kerja Pak Ruslan—Dimas langsung menutup pintu pelan.
Syifa sudah memejamkan matanya ketakutan sambil menunduk membenamkan wajahnya. Ia tak mengatakan apapun. Tubuhnya bergetar tak karuan akibat trauma yang ia rasakan.
“Ini kita, Syif,” ucap Aisyah pelan.
Mata itu mulai terbuka perlahan. Sayu dan sedikit merah. Kantung matanya sangat terlihat. Ia terkaget melihat Aisyah dan Dimas di hadapannya.
“Kasih tahu kita di mana ruangan Pak Ruslan culik kalian,” pinta Dimas to the point.
Syifa menggeleng kuat dengan perasaan takut yang ada di dalam dirinya.
“Gak apa-apa, Syif,” sahut Aisyah kemudian memperlihatkan layar ponselnya pada Syifa, “aku udah bilang ke Ayahku, kok. Udah aku share juga lokasi kita sekarang, bentar lagi polisi datang,” katanya menerangkan.
“A-aku,” suara serak Syifa mulai terdengar sangat lirih. Dimas dan Aisyah masih setia menunggu perkataan Syifa. “Aku takut kalian kenapa-kenapa,” lanjutnya sambil membenamkan wajahnya kembali dengan menunduk takut.
Dimas dan Aisyah saling berpandang sejenak. Aisyah pun mulai berkata lagi dengan tenang, “Kita udah berani datang ke sini, jadi itu udah resiko kita.”
“Ma-masalahnya, di-di tempat itu—ada Arga sama Rian,” lirih Syifa takut.
Mereka berdua langsung terbelalak mendengarnya.
“Kalau gitu cepat kasih tau kita di mana tempatnya! Kita bakalan bebasin kalian,” kata Dimas sedikit meninggikan suaranya membuat Syifa semakin menunduk takut.
“Syifa, kita butuh kerja sama kamu. Aku bisa pastiin kita semua keluar dari sini dengan selamat,” sahut Aisyah tenang. “Kamu gak perlu takut lagi, Syif. Kita lawan dia bareng-bareng,” lanjutnya.
Gadis berpakaian lusuh itu akhirnya mengangguk pelan dengan mata yang berlinang. “A-ayo i-ikut aku,” katanya seraya membuka pelan pintu ruangan itu.
Mereka mengekori Syifa dari belakang. Hingga menuju pada kamar Pak Ruslan sendiri. Syifa mulai membuka sebuah pintu di dalam kamar itu yang ternyata terdapat tangga di sana. Mereka pun mulai turun perlahan. Dimas dan Aisyah menyamakan derap kaki mereka seperti Syifa agar tak ketahuan bahwa Syifa kembali sambil membawa dua orang ‘asing’. Sampai di bawah, ada sebuah pintu lagi.
Mereka bertiga mulai masuk ke dalam.
“Oh, gadis kesayangan Papa sudah pulang?”
...—o0o—...