"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditemukan
"Eh gue keluar sebentar ya, kayaknya di luar ada yang jual stawberry. Mau beli dulu, buat cuci mulut di sini,” ujar Ghina.
“Ya udah jangan lama-lama.”
Ghina mengambil beberapa lembar duit di dompetnya, lalu meninggalkan tasnya di meja makan.
Ghina meluncur ke luar restoran. Dan ternyata yang jual buah stawberry masih ada di luar resto. Dengan semangat langsung membelinya.
Mobil berwarna hitam terlihat berhenti pas di depan Ghina berdiri di luar resto. Ghina masih sibuk mengecek isi kantong plastiknya.
Belum melangkah, salah satu tangan Ghina sudah di tarik oleh salah satu pria bermasker yang keluar dari pintu tengah mobil tersebut. Dalam sekejap Ghina sudah tidak sadarkan diri akibat obat bius yang dibalurkan ke saputangan sebagai penutup mulut dia tadi.
“Ghina kok lama banget ya gak balik-balik,” cemas Rika, hampir 20 menit Ghina belum balik juga ke mejanya.
Rika menitip meja ke pelayan untuk menyusul Ghina di luar.
“Mbak tadi lihat cewek yang beli stawberry pergi ke mana gak?” tanya Rika pada penjual stawberry sambil memperlihatkan foto Ghina di ponselnya.
“Oh si Neng yang beli stawberry barusan, tadi saya lihat dia masuk ke mobil hitam. Mobilnya ke arah Jakarta neng.”
“Astaga, makasih ya Mbak.” Rika kembali ke meja makannya, mengambil barangnya dan membayar bill makan mereka.
“Duh jangan-jangan si Ghina udah ketahuan kaburnya, tapi gak mungkin aah!” gumam Rika deg deg degan.
“Gak mungkin juga gue kabarin orang tuanya, aduh kok gue jadi ribet sendiri iiih!” Rika sudah mulai pusing. Mau hubungin siapa?
Rika kembali ke vilanya dengan kegundahan setelah dapat info kalau Ghina masuk ke dalam mobil.
“Ya Allah, aku harus ngapaiin.” Rika mondar mandir udah kayak gosokan di dalam vilanya. Otak Rika mulai buntu.
.
.
3 Jam kemudian ...
Ghina mulai mengerjapkan matanya, dia merasa asing tempat dia berbaring setelah melihat ke sekeliling ruangan.
Edward terlihat duduk tenang di sofa sambil menatap Ghina yang sudah sadar dari pingsannya.
“Om Edward!” Ghina terkejut melihat Edward berada di ruangan yang sama. Ghina segera bangkit dari ranjangnya dan menuju pintu kamar.
“Iissshhh!” Ghina mencoba membuka pintu kamar ternyata di kunci.
“Sekuat apa pun pintu itu tidak akan terbuka,” ucap Edward.
“Buka pintunya OM!” pekik Ghina.
Edward melangkahkan kakinya menuju Ghina yang berada di depan pintu.
“Mau kabur ke mana lagi kamu?” bentak Edward.
“Bukan urusan Om!”
“Ini jadi urusan saya, sampai kita menikah!” sentak Edward dengan tatapan yang sangat menusuk relung hati Ghina.
“Tidak akan ada pernikahan antara saya dan om!” tegas Ghina menantang tatapan tajam Edward.
Edward memegang pinggang Ghina dengan ke dua tangannya lalu mengangkatnya menuju ranjang dan langsung menghempaskannya ke ranjang.
“Kamu jangan berani-berani menolak pernikahan kita. Atau saya akan memecat papa kamu! Dan akan membuat kalian sekeluarga tambah melarat!” ucap Edward yang sudah berada di atas tubuh Ghina.
Ghina tampak terpaku dengan ucapan Edward yang akan memecat papanya. Jika sampai papanya di pecat, bagaimana dengan keadaan mama dan adiknya kelak.
Buliran air bening tampak keluar dari ujung matanya. Edward masih betah di atas tubuh Ghina, tanpa di sadarinya tubuh bagian bawahnya menempel dengan bagian sensitif Ghina. Dan Edward menikmatinya hingga senjatanya terasa mengeras.
“Sepatutnya sebagai anak, kamu harus menolong orang tuamu,” ujar Edward sambil mengelus salah satu pipi Ghina, dan gadis itu langsung memalingkan wajahnya.
“Tidak ada jawaban, berarti kamu setuju. Mulai sekarang kamu tinggal di mansion saya sampai hari kita menikah!” Edward beringsut dari atas ranjang. Lalu merapikan bajunya yang terlihat kusut.
Sedangkan Ghina terdiam, terpaku dalam pembaringannya.
Sekarang gue harus apa?? Sia-sia saja gue kabur, ternyata dia menemukan gue juga.
“Dan jangan sekali sekali kamu coba kabur lagi!”
Lalu Edward meninggalkan Ghina di kamarnya seorang diri.
Bulir-bulir bening tadi sudah semakin deras berjatuhan di pipi, dalam keadaan meringkuk tangisan Ghina pecah juga.
Lama dia menangis sendiri akhirnya dia mencoba menghentikannya menekan semua perasaan yang ada dihatinya.
“Percuma gue nangis sendiri, tidak ada yang mendengarkan,” gerutunya sambil menyeka air mata dan membuang ingusnya dengan ujung kaosnya.
Netra Ghina mulai berkeliling melihat kamar yang dia tempati. Terlihat mewah tapi tidak mengunggah hatinya.
TOK ... TOK ... TOK
Ceklek!
“Permisi Non, di minta Tuan Besar ke ruang makan sekarang,” ujar pelayan yang masuk ke kamar Ghina.
“Mbak, maaf boleh pinjam ponselnya gak?”
“Boleh Non,” sang pelayan mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya.
Menerima pinjaman ponsel, Ghina mencoba menghubungi sohibnya Rika. Berkali-kali di telepon belum di angkat juga, mungkin karena Rika tidak mengenal nomor tersebut. Ghina mulai putus asa, tapi di coba menelepon kembali.
”Halo Rika ini gue Ghina," sapanya. Akhirnya teleponnya di terima Rika.
“Ya Allah, ini beneran loe Ghina. Sekarang ada di mana? Gue bingung saat dikasih tahu si mbak stawberry, loe di bawa mobil hitam," balas Rika.
“Ya gue di culik sama Om Edward," sahut Ghina melas.
"Astaga! trus loe sekarang di mana?”
“Di mansionnya, eeh nanti gue kabarin lagi ya. Gak enak gue minjem ponsel si mbak di sini.”
“OK.” jawab Rika, lalu Ghina segera memutuskan sambungan teleponnya.
“Terima kasih ya Mbak, insya Allah nanti saya ganti pulsanya." Sambil mengulurkan ponsel si mbak.
“Ya Non, sebaiknya Non segera ke ruang makan. Takut Tuan Besar marah.”
“Tolong antar saya ke sana ya mbak.”
“Mari Non.”
Ghina mengikuti langkah si mbak pelayan menuju ruang makan.
Diruang makan sudah ada Edward dan Kiren yang menunggu kedatangan Ghina.
“Duduk!” titah Edward melihat kedatangan Ghina.
Makanan sudah tersaji di meja makan, Kiren dengan telaten mengambil makanan untuk Edward.
“Terima kasih honey,” ujar Edward yang menerima makanan dari Kiren.
Ghina terlihat belum memulai mengambil makanannya, hanya menatap kedua manusia yang berada di hadapannya.
“Kok belum makan juga Ghina, atau kamu tidak suka dengan makanannya?” Kiren bertanya dengan suara lembutnya.
Netra Edward kembali menatap tajam ke wajah Ghina seperti tadi di kamar, seperti tatapan serigala yang ingin memakan mangsanya.
“Makan! Jangan cari penyakit di sini!” titah Edward.
“Ciiiihhh," gumam Ghina, dia memulai mengambil sedikit nasi dan sedikit lauk. Perutnya sebenarnya lapar, tapi mulut terasa berat untuk mengunyah makanannya.
Dengan terburu-buru Ghina menghabiskan makanannya agar bisa lebih cepat meninggalkan ruang makan.
“Orang tua kamu, sudah saya kabarkan kalau kamu sudah ada di mansion saya. Dan anak buah saya sedang ada di rumahmu mengambil beberapa pakaianmu,” ucap Edward.
“Om seenaknya berbuat sesuka hati,” celetuk Ghina.
“Itu karena kamu yang selalu banyak ulah,” balas Edward.
“Ulah apa!! Jangan karena saya masih kecil, kalian orang dewasa berbuat sesuka hati!” nyolot Ghina.
n