Kaiya Agata_ Sosok gadis pendiam dan misterius
Rahasia yang ia simpan dalam-dalam dan menghilangnya selama tiga tahun ini membuat persahabatannya renggang.
Belum lagi ia harus menghadapi Ginran, pria yang dulu mencintainya namun sekarang berubah dingin karena salah paham. Ginran selalu menuntut penjelasan yang tidak bisa dikatakan oleh Kaiya.
Apa sebenarnya alasan dibalik menghilangnya Kaiya selama tiga tahun ini dan akankah kesalapahaman di antara mereka berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Jakarta, Indonesia
Kaiya Agata menatap gedung yang menjulang tinggi didepannya dengan raut wajah takjub. Sirin University. Ia tidak menyangka akan lolos seleksi masuk kampus ternama itu. Umurnya sembilan belas tahun. Harusnya ia sudah menjadi mahasiswi tahun kedua di tahun ini. Namun gadis itu punya alasan. Ia harus berterimakasih pada tantenya yang telah berjuang keras membuatnya berani menghadapi dunia luar lagi.
Ah, masih ada Kean. Dokter tampan yang selalu membantunya.
Kaiya mengibaskan rambut panjangnya kebelakang agar tidak menghalangi pandangan lalu bergegas masuk gerbang yang terbuka lebar itu. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus jaket tebalnya. Akhir-akhir ini cuaca berangin, jadi ia harus pakai jaket ke kampus yang di tumbuhi banyak pepohonan itu.
Begitu memasuki halaman kampus, seorang senior mengarahkannya ke tempat para mahasiswa-mahasiswi baru berkumpul. Pandangannya lurus ke depan. Para anak baru setia duduk melantai di lapangan tertutup.
Gadis itu memilih berjalan ke bagian belakang dan duduk di sana. Karena ia paling suka menyendiri. Kaiya tiba-tiba kaget dan berputar cepat. Matanya melebar menatap perempuan dengan rambut sebahu yang sudah duduk disampingnya.
Gadis itu tersenyum padanya seolah tak merasa berdosa karena sudah menepuk kuat bahunya tadi dan membuatnya kaget setengah mati. Kaiya tak kenal wanita itu.
"Hai, gue Lory." sapa gadis itu memperkenalkan diri.
Kaiya balas tersenyum tipis kemudian menyambut uluran tangan gadis sih bernama Lory.
"Kaiya." balasnya.
Hanya dengan sekali lihat ia tahu Lory adalah tipe gadis ceria dan easy going yang bisa cepat akrab dengan siapa saja.
"Lo jurusan musik juga?"
Kaiya mengangguk. Ia masih merasa canggung. Ini pertama kalinya ia berbicara dengan orang lain selain dokter Kean dan tantenya setelah tiga tahun berlalu.
Semenjak memutuskan berhenti dari sekolah lamanya dulu, gadis itu mulai menutup diri dari orang-orang. Sifatnya berubah drastis menjadi seseorang yang sangat pendiam dan tertutup.
Dua tahun ia di rawat di rumah Sakit dan hanya dokter Kean teman bicaranya. Tantenya terlalu sibuk bekerja bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Namun Kaiya menyayangi wanita itu.
Tantenya adalah satu-satunya orang yang peduli padanya dan membelanya di saat banyak orang menyalahkannya. Karena tantenya juga ia bisa mendapatkan pengobatan atas trauma fatal yang dideritanya. Akhir-akhir ini penyakit itu mulai membaik asal tidak ada pemicunya. Ahh, ada satu orang lagi yang banyak membantunya. Ia menganggap orang itu sebagai sahabatnya sekarang. Sayang sekali mereka tidak bisa bertemu langsung. Karena orang tersebut sedang melanjutkan pendidikannya diluar negeri.
Setelah keluar rumah Sakit, Kaiya mati-matian mengejar ketertinggalan di sekolah baru meski dirinya sebenarnya belum begitu siap menghadapi banyak orang, ia berusaha keras untuk bisa terlihat seperti orang normal kebanyakan.
Yah, sekalipun rata-rata teman-teman sekolahnya menganggapnya terlalu aneh karena hampir tidak pernah bicara. Ia terpaksa mau kuliah pun awalnya karena tidak ingin membuat tantenya sedih. Karena itulah ia belajar sekeras mungkin mengejar ketertinggalannya demi masuk Universitas, demi tantenya. Walau kadang bayang-bayang masa lalu masih menghantuinya, ia ingin berusaha untuk bangkit.
"DIAM KALIAN SEMUA!"
Sebuah teriakan keras terdengar menggelegar di seluruh lapangan. Kaiya bisa mengerti senior itu marah karena karena sejak tadi suasana sangat riuh seperti pasar.
Suasana yang tadinya riuh kini berubah hening. Kaiya jadi penasaran siapa yang berteriak tadi. Jarak duduknya yang berada paling belakang membuatnya kesusahan melihat wajah sang senior yang berteriak dari depan tadi.
Badan mungilnya tidak bisa melampaui para pria yang duduk di barisan depan meski kepalanya berkali-kali mendongak ke atas, kecuali ia berdiri.
Lalu di dengarnya pria yang berteriak tadi kembali berseru.
"DALAM HITUNGAN TIGA, SEMUA YANG DUDUK DI BARISAN PALING BELAKANG SUDAH PINDAH KE DEPAN! SATU ..."
perintah tegas itu membuat Kaiya dan Lory saling menatap gelagapan.
"DUA ..."
Tanpa pikir panjang Kaiya dan Lory bangkit dan berlari secepat kilat mengikuti teman-teman mereka yang tadinya sama-sama duduk di barisan paling belakang.
"TIGA!"
Hufftt ...
Akhirnya,
Kaiya mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan. Ia dan Lory sudah duduk paling depan. Gadis itu mengusap-usap dadanya yang berdetak tak beraturan. Astaga, lama-lama ia bisa mati mendadak kalau dibuat kaget terus terusan begini. Apalagi dirinya belum pernah lagi lari terbirit-birit begitu semenjak sakit dulu. Syukur sekarang kondisinya mulai normal lagi.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Lory menatap Kaiya yang dilihatnya agak pucat.
Kaiya mengangkat wajahnya dengan tangan yang masih setia memegangi dadanya. Sebelum ia sempat menatap ke samping menghadap Lory, pandangannya bertemu dengan sosok pria jangkung berwajah tampan yang berdiri tepat didepannya. Mereka berdua saling menatap dengan ekspresi yang sama-sama terkejut bukan main.
Jiro ...
Gumam Kaiya dalam hati. Pandangannya berpindah ke belakang lelaki itu seolah merasa ada tatapan lain yang juga sedang mengamatinya dari sana.
Nafasnya tercekat, ia terpaku seketika. Di depan sana berdiri seorang pria lain yang pernah mengisi masa lalunya.
Sosok itu berdiri seperti magnet yang kuat, dingin dan tegas. Memukau dengan segala pesona yang di milikinya. Tubuhnya tinggi menjulang dan wajahnya memancarkan keangkuhan yang sempurna.
Lelaki itu sedang menatapnya dalam dan tajam. Tak ada senyum lembut seperti dulu saat mereka masih dekat.
Kaiya tertegun ...
Ginran tampak berbeda, seperti bukan seseorang yang dikenalnya. Di sebelah pria itu berdiri Naomi. Ekspresi Naomi pun sama kagetnya. Matanya membelalak besar menatapnya.
Kaiya tidak melihat Darrel di sana meskipun berulang kali matanya mencari-cari ke segala arah. Hanya ada para senior lain yang tidak dikenalnya berdiri di sana.
Jauh di lubuk hatinya, Kaiya senang bisa melihat mereka lagi. Orang-orang yang pernah sangat dekat dengannya dulu, seperti keluarga. Namun, ada perasaan asing dalam dirinya. Sekarang rasanya mereka sudah begitu jauh. Kejadian dulu yang belum selesai dan kepergiannya yang mendadak tanpa penjelasan apapun membuatnya merasa mereka begitu asing.
"Kaiya, Kaiya!"
Suara Lory menyadarkannya. Ia melirik gadis itu dan tersenyum tipis lalu kembali menghadap depan.
Tatapannya kembali bertemu dengan mata hitam pekat milik Ginran. Pria itu sejak tadi tidak pernah mengalihkan tatapannya sedetik pun darinya. Kaiya cepat-cepat membuang muka ke arah lain. Jantungnya sudah berdetak tak karuan.
Di ujung sana, raut wajah Ginran berubah. Pria itu tampak marah. Kaiya meringis pelan. Kenapa mereka harus bertemu lagi sih.
Sementara itu dari depan, Ginran mendengus keras saat melihat Kaiya membuang muka ke arah lain. Jelas sekali gadis itu sengaja tidak mau melihatnya. Tangan pria itu terkepal kuat. Ia biasanya tenang, namun gadis yang dulu pernah mengisi hari-harinya itu, yang tiba-tiba menghilang tanpa sepatah kata pun kini muncul didepannya tanpa dia duga.
Ginran benar-benar tahu bahwa keberadaan gadis itu masih amat mempengaruhinya. Ia sudah menunggu selama tiga tahun ini untuk meminta penjelasan. Dan selama itu juga, ia tidak pernah melupakan gadis itu. Itulah sebabnya ia tidak bisa menahan diri. Semua rasa dalam hatinya langsung menyatu.
"Ginran, kenapa?" Sandra, teman satu jurusannya tiba-tiba mendatanginya dan bertanya. Gadis yang sudah lama menyukainya dan terus memperhatikannya sejak tadi.
Ginran tak menghiraukan Sandra. Pandangannya terus fokus pada gadis yang duduk berbaur dengan mahasiswa baru lainnya di depan sana.
Kaiya adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuat seorang pria populer sekelas Ginran yang selalu dikenal dengan sikap dingin tak tersentuh itu menjadi urak-urakan.
kl kyk ginran naomi apalagi jiro, mereka kyk bukan teman, tp org lain yg hanya melihat "luar"nya saja
2. teman d LN