Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8
Setelah sampai di kosan, aku langsung membuka proposal beserta coretan-coretan dari dosen yang sudah diberikan. Waktu aku melihat dokumen itu, rasanya aku pengen ketawa sendiri.
Saking banyaknya coretan dan catatan dari dosen, rasanya seperti proposalku ini baru saja dihancurkan oleh sekelompok kritikus yang sangat detail.
“Pantes aja banyak yang direvisi,” gumamku sambil memandangi proposalku yang penuh coretan dan catatan dari dosen.
Sejujurnya, aku sedikit shock melihat betapa banyaknya bagian yang perlu diperbaiki. Aku mulai membandingkan catatan beliau dengan proposalku. Dan wah, ternyata hasilnya bikin aku geleng-geleng kepala.
“Gila, latar belakangku cuma dua lembar,” ucapku sambil tertawa kecil.
Ternyata dua lembar itu, bahkan nyatu sama rumusan masalah. Bukannya punya dua bagian yang jelas, malah jadi satu kesatuan yang berantakan.
Aku ingat dosen bilang dengan tegas, “Latar belakang harusnya paling sedikit tiga lembar.” Tapi kenyataannya, latar belakangku malah nyampur jadi satu dengan rumusan masalah.
Dan yang lebih parah, latar belakang itu cuma ada satu catatan kaki. “Satu catatan kaki? Seriously?”
***
Iya, aku baru sadar akan semua itu. Latar belakang cuma selembar setengah, referensi cuma satu—sungguh kelihatan banget enggak niatnya. Padahal, saat aku kerjakan, rasanya kayaknya bagus, tapi setelah dicetak dan mulai ngadepin dosen, kok malah jadi gini.
Aku memandangi dokumen yang sudah penuh dengan coretan dan catatan dari dosen.
“Bagaimana bisa sampai segini parahnya?” pikirku, sambil meresapi betapa sederhana tapi mendalamnya kekurangan yang ada.
Setiap kali aku membandingkan antara apa yang aku buat dengan apa yang diharapkan, rasanya seperti terjebak dalam mimpi buruk akademis.
Latar belakang yang cuma selembar setengah tampaknya tidak memenuhi ekspektasi sama sekali. Aku ingat dengan jelas betapa semangatnya aku saat menyusunnya, merasa yakin bahwa itu sudah cukup solid.
“But in reality, it turned out to be far from adequate,” aku bergumam pada diri sendiri. Semuanya terlihat sangat tidak proporsional, dan referensi yang cuma satu terasa seperti hanya sentuhan kecil yang tidak menyentuh substansi.
***
Aku benar-benar terjun dalam memperbaiki proposalku. Sambil duduk, aku mulai mengamati dokumen yang penuh coretan dan catatan dari dosen.
My frustration started to fade, tergantikan oleh tekad untuk memperbaiki semua yang telah salah.
This was the moment when I truly had to give my best, ni adalah momen ketika aku benar-benar harus memberikan yang terbaik, mengingat semua kekurangan yang telah diidentifikasi.
Frist, aku mulai dengan latar belakang proposal yang sebelumnya cuma dua lembar. Satu lembar setengah di antaranya sebenarnya adalah gabungan antara latar belakang dan rumusan masalah. Sekarang, aku memutuskan untuk memisahkan keduanya dan memperluas latar belakang hingga empat lembar.
“"If I want to make a serious impression, I need to work harder,"
"Kalau mau ngasih kesan yang serius, ya harus kerja lebih keras,” pikirku sambil mengetik dengan semangat baru.
Aku menggali lebih dalam tentang topik yang aku pilih, mencari literatur terbaru dan relevan untuk menyokong argumen yang akan aku buat.
I read journal articles, recent books, and checked references from various sources. Aku membaca artikel jurnal, buku-buku terbaru, dan memeriksa referensi dari berbagai sumber.
Setiap kali menemukan informasi yang berguna, aku langsung mencatatnya dengan cermat dan menambahkan ke dalam dokumen. One by one, referensi yang dulu cuma satu, kini berubah menjadi enam.
During this process, aku merasakan bahwa pekerjaan ini bukan hanya tentang menambah jumlah lembar atau referensi, tetapi juga tentang memperdalam pemahaman dan penyampaian informasi.
“Every detail matters, setiap detail penting. Setiap referensi harus relevan dan mendukung argumen dengan kuat,” kataku pada diriku sendiri, sambil terus menyusun dan menyempurnakan.
Aku memastikan bahwa setiap paragraf memiliki tujuan yang jelas dan bahwa argumen yang disajikan benar-benar didukung oleh data yang solid. Latarnya sekarang lebih komprehensif, dengan struktur yang lebih jelas dan alur yang lebih logis. Aku mengoreksi setiap kalimat, memastikan bahwa semuanya terhubung dengan baik dan membangun argumen yang kokoh.
***
Setelah menghabiskan waktu seharian penuh untuk merevisi latar belakang proposal, aku merasa perlu memberi otak istirahat sejenak.
"Alright, time to relax. Oke, waktunya bersantai," pikirku, lalu merebahkan diri di kasur yang empuk.
Aku mulai menonton video lucu-lucu yang bisa bikin ketawa, semacam refreshment yang sangat diperlukan setelah seharian bergelut dengan dokumen.
Pada awalnya, aku hanya berniat untuk beristirahat beberapa menit saja. But, before I knew it, time flew by. Tapi, ternyata, waktu berlalu begitu cepat.
Video demi video mengalir tanpa henti, dan aku semakin terlena dalam kenikmatan bersantai sambil bermain dengan handphone.
Rasanya, kasur ini benar-benar terasa seperti surga, dan setiap kali aku memutuskan untuk bangkit, aku malah terhenti oleh dorongan untuk "watch one more video. Menonton satu video lagi."
Tanpa terasa, malam telah tiba dan aku semakin merasa malas untuk melanjutkan pekerjaan. "Ah, I'll do it later, nanti aja lah," pikirku dengan alasan yang klise.
"My brain needs more refreshing. Otakku butuh refreshing lebih banyak."
Dan dengan pikiran itu, aku akhirnya memutuskan untuk tidur. Aku membiarkan virus penunda-nunda revisi menyerangku lagi, merayap perlahan dan membuatku nyaman dalam zona nyaman yang nyaman tapi tidak produktif.
***
Rumusan masalah proposalku sebelum di revisi:
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Pengaruh Harga dan Kepercayaan Terhadap Minat Konsumen Menggunakan jasa Perjalanan Biro Haji dan Umroh Pt. A (Studi kasus Masyarakat Desa ~~, Kecamatan ~~)?
***
Tujuan penelitian, proposalku sebelum di revisi:
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah untuk Mengetahui Pengaruh Harga dan Kepercayaan Terhadap Minat Konsumen Menggunakan Jasa Perjalanan Biro Haji dan Umroh Pt. A (Studi kasus Masyarakat Desa ~~, Kecamatan ~~).
***
Kegunaan penelitian, proposal sebelum di revisi:
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang signifikan, baik bagi masyarakat Desa ~~, biro perjalanan haji dan umroh, maupun penelitian akademik. Manfaat utama meliputi:
1. Memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi minat konsumen dari Desa \~\~\, Kecamatan \~\~\, dalam menggunakan layanan perjalanan biro haji dan umroh.
2. Memberikan prespektif yang berguna bagi Pt. A untuk mengelola aspek harga dan memperkuat kepercayaan pelanggan di area tersebut.
3. Membentuk dasar referensi bagi peneliti-peneliti lain yang berniat untuk melanjutkan penelitian dalam bidang pariwisata religi tingkat lokal.
***
Saat aku mulai menyusun bagian penelitian terdahulu untuk proposalku, aku sadar kalau aku cuma mencantumkan tiga referensi.
Aku tahu betul seharusnya ada lebih dari tiga, dan referensinya pun harus berasal dari berbagai sumber seperti buku, jurnal nasional, dan internasional.
But, well, I didn't know where to start. Tapi, yah, aku enggak tahu harus mulai dari mana, dan akhirnya cuma nyantumin tiga referensi yang ada.
Aku udah mencoba mencari lebih banyak referensi, browsing the internet, cek perpustakaan kampus, bahkan minta saran teman. However, the results were fruitless.
“I’m really such an idiot, aku ini benar-benar goblog,” pikirku sambil menatap tiga referensi yang sudah kutulis.
Meskipun aku tahu bahwa ada lebih banyak referensi yang seharusnya bisa kucantumkan, I felt stuck, aku merasa sudah mentok.
Aku tidak mampu menemukan lebih banyak referensi, dan sepertinya aku juga tidak memiliki cukup motivasi untuk terus mencari lebih jauh.
This feeling of frustration, semakin membuatku merasa terjebak dalam lingkaran setan: trying, failing, giving up (mencoba, gagal, menyerah).
Dengan hasil yang ada, aku hanya bisa berharap dosen tidak terlalu mempermasalahkannya dan bisa menerima apa yang sudah kuusahakan.