Trisya selama ini tinggal di Luar Negri. Dia harus kembali pulang ke Indonesia atas perintah ibunya. Ibunya khawatir dengan perusahaan yang dikuasai ibu tirinya. Hal itu membuat Trisya mau tidak mau harus bergerak cepat untuk mengambil alih Perusahaan.
Tetapi ternyata memasuki Perusahaan tidak mudah bagi Trisya. Trisya harus memulai semua dari nol dan bahkan untuk mendapatkan ahli waris perusahaan mengharuskan dia untuk menikah.
Trisya dihadapkan dengan laki-laki kepercayaan dari kakeknya yang memiliki jabatan cukup tinggi di Perusahaan. Pria yang bernama Devan yang selalu membanggakan atas pencapaian segala usaha kerja keras dari nol.
Siapa sangka mereka berdua dari latar belakang yang berbeda dan sifat yang berbeda disatukan dalam pernikahan. Devan yang percaya diri meni Trisya yang dia anggap hanya gadis biasa.
Bagaimana kehidupan Pernikahan Trisya dan Devan dengan konflik status sosial yang tidak setara? apakah itu berpengaruh dengan pernikahan mereka?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21 Istri Pembela Suami.
"Kamu tidak bisa?" tanya Trisya dengan nada yang menurutnya itu sangat aneh sekali.
"Iya. Aku memang tidak bisa," jawab Devan jujur.
"Kenapa kamu terkejut seperti itu? Apa aku pernah mengatakan sebelumnya kepadamu jika aku bisa?" tanya Devan. Dia selama ini terlalu banyak bicara dan membanggakan diri sendiri dan mungkin saja terselip suatu kebohongan dan maka dari itu eksperesi Trisya tampak kaget
"Tidak! Aku pikir kamu bisa melakukan segalanya," sahut Trisya.
"Hey kenapa diam? Ayo cepat kemari!" ajak Rangga kembali.
"Aku sudah mengatakan tidak bisa bermain golf. Jadi lanjutkan saja permainanmu," sahut Devan.
"Ayolah coba! jangan hanya mengobrol seperti itu. Istrimu saja bisa. Masa iya, menantu dari pimpinan Perusahaan Royale tidak bisa melakukan olahraga orang kaya. Bukankah kamu harus terbiasa dengan olahraga seperti ini. Devan kamu sekarang bukan orang biasa lagi. Jadi biasakan saja semuanya. Tidak ada yang salah jika kamu harus memanfaatkan semua ini," sahut Rangga yang berbicara sembari senyum-senyum.
Walau kata-katanya terlihat santai tetapi terdengar sangat tidak enak di telinga Devan dan seperti ada sindiran untuk dia.
"Apa maksud anak ini," gumam Trisya yang berbicara pelan terlihat sangat kesal pada mulut adik sepupunya itu yang mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak penting.
"Devan! kemarilah. Kamu jangan hanya berdiri di sana saja. Cobalah! bukankah kamu sangat bisa mencoba hal-hal baru. Jangan sampai aku harus menarik mu dan memaksamu," ucap Rangga lagi.
"Ayo Devan! ikutlah bermain bersama kami," sahut Hariyanto.
"Baiklah!" sahut Devan yang ternyata tidak punya pilihan lain yang menghampiri dua orang tersebut. Saat Devan melewati Rangga. Rangga menepuk bahu Devan.
"Sepupu ipar, kak bisa mengalahkan ku di Perusahaan Royale dengan semua kemampuan yang kau miliki. Tetapi di rumah ini kau tidak bisa mengalahkan ku. Lihatlah kau saja tidak bisa bermain Golf. Aku jauh lebih ahli daripada kamu," ucap Rangga dengan tersenyum seolah sangat bangga yang memiliki satu kemampuan yang tidak dimiliki Devan.
Memang di Perusahaan Rangga sama sekali tidak ada apa-apanya yang sangat jauh di bawah Devan dan Devan juga sering sekali memerintah Rangga dan memberikan Rangga nasehat. Sekarang Devan sudah menjadi iparnya yang membuat Rangga seolah bisa membalas dendam.
Devan sama sekali tidak menanggapi hal itu dan langsung menghampiri Haryanto yang sekitar 2 meter lagi dari jarak Rangga berdiri.
Rangga menyunggingkan senyumnya dan tiba-tiba kaget saat bahunya ditepuk dengan sangat kuat dan lebih tepatnya mendapatkan geplakan.
"Auh! Kak!" ucap Rangga dengan kesal yang cukup menahan sakit dengan memegang bahunya.
"Apa maksud perkataanmu kepada suamiku hah?" tanya Trisya dengan memperlihatkan wajah tegasnya dan mata yang melotot tajam.
"A-aku mengatakan apa?" tanya Rangga yang sedikit takut yang memegang bahunya yang masih terasa sakit.
"Kata-kata yang keluar dari mulut berbisa mu itu dijaga sedikit. Awas saja jika telingaku mendengar hal itu lagi. Kau akan langsung berurusan denganku!" tegas Trisya.
"Aku tidak mengatakan apapun kepada suamimu dan kalau dia tersinggung itu urusan dia. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungnya," ucap Rangga.
"Jika diberitahu didengarkan dan bukan mencari pembelaan. Kau jelas-jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Kau hanya menang di kandang yang harus kau urus itu adalah Perusahaan, bukan kebanyakan olahraga kekayaan yang kau ucapkan itu!" tegas Trisya dengan wajahnya yang begitu galak.
Rangga sampai kesulitan menelan salivanya yang tampaknya sangat takut kepada Trisya. Padahal mereka berdua sepupu dan beda usia mereka hanya 2 tahun saja. Di sini Trisya perempuan dan walau Trisya lebih tua seharusnya Rangga tidak takut seperti itu.
"Dasar bocah tengil," ucap Trisya yang langsung berlalu dari hadapan Rangga.
Rangga membuang nafas perlahan ke depan dan memegang dadanya. Bisa-bisanya mendapat teguran seperti itu membuat jantung Rangga berdebar dengan kencang.
Olahraga yang katanya olahraga orang kaya itu masih dilanjutkan. Devan yang memang dasarnya tidak pernah melakukan hal itu yang sekarang benar-benar diajari oleh seorang pria yang tak lain adalah pelatih golf yang langsung dipanggil oleh Haryanto untuk mengajari Devan saat itu juga.
Mona sudah berada di sana yang sekarang sedang melap keringat suaminya. Bukan hanya Mona saja tetapi Lena juga sudah tiba di sana. Seperti biasa dia begitu kesal ingin muntah saat melihat ayahnya romantisan dengan wanita lain.
"Sudah sayang kamu lanjutkan bermain lagi!" ucap Mona.
"Terima kasih sayang," sahut Haryanto yang melanjutkan permainannya.
Devan yang merasa lelah dan tangannya sudah sangat pegal yang bolak-balik melempar bola dan tidak pernah tepat pada sasaran. Sampai dia menghentikan permainan itu berjalan menuju meja untuk meneguk air putih meredakan tenggorokannya.
Trisya masih terus bermain dan memang begitu ahli dalam permainan golf. Devan merasa salah masuk kandang.
"Sepertinya akan ada yang kepanasan!" ucap Lena yang tiba-tiba menghampiri Mona. Suara sindiran itu terdengar di telinga Devan dan dia juga menoleh ke arah dua orang tersebut.
"Kenapa aku harus kepanasan, Nak?" tanya Mona dengan tersenyum.
"Aku bukan anakmu dan jangan sok akrab dengan kau!" tegas Lena.
"Apa hubungan mereka terlihat tidak baik?" batin Devan yang merasa penasaran.
Walau tidak ingin ikut campur, Tetapi dia memiliki rasa ingin tahu yang terus saja minum sembari matanya melihat ekspresi wajah kedua wanita yang memang tidak baik-baik saja, terlihat ada perang dingin dan persaingan yang terlihat jelas dari sorot mata keduanya.
"Wajahmu terlihat begitu khawatir. Apa karena Trisya sekarang sudah menikah dan kau sangat was-was," ucap Lena.
"Aku tidak pernah was-was. Karena aku sama sekali tidak pernah punya tujuan apapun. Trisya menikah dan kemudian mendapatkan jabatan yang tinggi di Perusahaan Royale hal itu sama sekali bukan sesuatu hal yang harus aku pikirkan," ucap Mona dengan santai yang tersenyum miring.
"Benarkah! tapi aku melihat kepanikan di wajah dan kau akan lebih panik lagi. Jika hak waris Perusahaan benar-benar akan jatuh kepada Trisya!" tegas Lena.
"Itu hal yang bagus dan aku sangat mendukung dia," sahut Mona tersenyum yang tampak terpaksa lalu langsung pergi dari hadapan Lena dan Devan hampir saja ketahuan dan pura-pura mengalihkan pandangannya dengan sembari minum.
Sepertinya Mona menyadari jika pembicaraan mereka terdengar yang membuat Mona melirik kearah Devan dan Devan langsung menundukkan kepalanya. Dia tersenyum dan pura-pura tidak mendengar apapun.
"Wanita itu memang benar-benar sangat pintar bersandiwara. Lihat saja posisimu akan berakhir!" umpat Lena dengan kesal.
"Apa ada sesuatu yang penting dengan Trisya menikah atau tidak?" batin Devan yang merasa sangat penasaran.
Devan melihat ke arah Trisya yang masih fokus bermain golf bersama dengan Haryanto. Rangga yang sekarang sudah mengajak buah hatinya bermain. Sementara Sherly yang sedang memotong kuku putranya. Mata Devan juga melihat ke arah Lena yang sudah duduk dengan kaki menyilang yang tubuhnya disandarkan di kursi santai itu.
"Aku tidak pernah tahu secara detail bagaimana keluarga ini. Tetapi aku bisa melihat jika keluarga ini bukan keluarga yang harmonis dan saling cuek satu sama lain. Tetapi bukankah memang orang kaya seperti itu. Walau sedang berkumpul tetapi tidak akan memanfaatkan waktu untuk mengobrol dan mereka akan memiliki kesibukan masing-masing," batin Devan dengan menghela nafas.
Bersambung......
mungkin nenek sudah tenang karena perusahaan itu sudah di pegang oleh Trisya, karena itu dia tenang meninggalkan dunia ini
sama² punya tingkat kepedean yg sangat luar biasa tinggi