(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Uji Coba
Entah sudah berapa kali handphone Edward bergetar dan Fahmi bisa melihat nama Lily muncul di layar yang menyatu dengan radio dan tape tapi sepertinya Edward tidak berminat menerima panggilan itu malah memutus sambungan bluetoothnya hingga tidak mengganggu konsentrasi Fahmi.
“Sepertinya ada hal penting sampai dokter Lily menhubungi anda berkali-kali, dokter.”
“Tidak ada yang lebih penting daripada masalahku saat ini, Fam. Tambah kecepatan, temanku sudah menunggu di sana.”
“Baik dokter.”
Edward tidak protes saat Fahmi mempercepat laju mobil dan sering membunyikan klakson hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan kurang dari 30 menit dan mobil sudah parkir di lantai basement.
“Sebaiknya kamu menungguku di mobil. Susul aku kalau belum kembali dalam waktu 2 jam.”
“Susul kemana dokter ?”
“Lantai 5. Cari saja Jonni, bilang kamu temanku.”
Terlihat Fahmi ragu membiarkan Edward turun sendirian tapi dokter muda itu sudah bergegas keluar langsung menuju lift yang ada di sisi kanan mobil.
Tidak yakin dengan permintaan bossnya, Fahmi ikut turun dan menunggu di depan lift untuk memastikan di lantai berapa Edward berhenti. Ternyata sesuai instruksi, lift berhenti lama di lantai 5.
Tanpa berlama-lama, Fahmi menekan tombol naik dan pintu lift di sebelahnya langsung terbuka. Perasaannya tidak enak, khawatir kejadian yang sama akan berulang lagi tapi kali ini tidak ada Elsa yang bisa membantunya.
Fahmi menghela nafas begitu membaca tulisan yang tertera di depan lift. Ia pun mempercepat langkah dan sayangnya tidak mudah mencari Edward karena selain cahaya lampu di dalam ruangan agak temaram, pengunjung di sana bisa dibilang cukup ramai.
Fahmi langsung menuju meja bar dan mencari tahu tentang pria yang bernama Jonni seperti yang diberitahu Edward. Ia sampai harus sedikit berteriak untuk melawan suara hingar bingar musik yang memekakkan telinga.
Fahmi gelisah dan bolak balik melihat layar handphonenya. Sudah lebih dari 10 menit dan pria yang bernama Jonni tidak kunjung datang menemuinya hingga akhirnya Fahmi nekad menelusuri ruangan yang ada di tempat itu.
“Apa anda sudah booking ?” Seorang pria bertubuh besar mencegahnya memasuki satu lorong yang sedikit lebih gelap dari ruang utama.
“Saya teman Edward Hartawan, ingin bertemu Jonni.”
Pria itu mengerutkan dahi memperhatikan Fahmi dari atas sampai ke bawah. Belum sempat ia berbicara dengan hand talkienya, seorang pria berpakaian jas keluar dari lorong gelap itu.
“Temannya Tuan Edward ingin bertemu anda boss.”
Fahmi menghela nafas dan yakin kalau pria yang sekarang berdiri di hadapannya bernama Jonni.
“Belum waktunya, kenapa kamu sudah datang kemari ?”
“Saya tidak bisa menundanya karena Tuan Robert berkali-kali menghubungi saya dan ingin bicara dengan Tuan Edward. Penting dari rumah sakit.”
Fahmi terpaksa berbohong karena firasatnya kurang baik apalagi melihat tempat yang didatangi Edward bukanlah restoran mewah meski sebagian besar pengunjungnya kelihatan berkantong tebal.
“Di ruang 3.”
Jonni menepi dan memberi isyarat supaya Fahmi melewatinya menuju ruang 3. Tanpa menundanya, Fahmi bergegas ke sana dan betapa terkejutnya ia melihat apa yang sedang terjadi di situ.
“Kenapa kamu kemari ?” bentak Edward yang terkejut melihat kedatangan asistennya.
Tiga orang wanita yang ada di situ dengan pakaian super minim terlihat tidak terganggu dengan kedatangan Fahmi bahkan salah seorang yang duduk di atas pangkuan Edward terlihat anteng-anteng saja. Fahmi sampai membuang muka karena wanita itu sudah tidak memakai penutup di bagian atasnya.
“Pergi kalian !” tegas Fahmi dengan tatapan galak.
“Fam, jangan ikut campur urusanku !”
Fahmi tidak menggubris perkataan Edward malah menarik wanita yang duduk di atas pangkuan bossnya dengan kasar.
“Pergi !” Kali ini suara Fahmi benar-benar keras dan tegas.
Ketiga wanita tadi tidak menggubris perintah Fahmi malah menatap Edward yang akhirnya menganggukan kepala baru mereka keluar.
“Kenapa dokter sampai melakukan hal menjijikan seperti ini ? Apa semudah itu dokter melupakan kejadian di hotel ? Apa merenggut keperawanan seorang gadis tanpa tahu siapa orangnya bukan masalah besar untuk dokter ?”
Edward menghela nafas kemudian beranjak bangun dan mengambil kemejanya yang sudah dilepas dan merapikan kembali celana panjangnya yang terbuka.
“Aku akan menceritakan alasanku padamu. Kita pulang sekarang.”
Fahmi yang merasa kecolongan tidak mau meninggalkan Edward sendirian bahkan saat pria itu menemui Jonni untuk menyelesaikan transaksi mereka.
“Susah kalau punya CCTV hidup,” sindir Jonni sambil tertawa meledek, melirik Fahmi yang tidak peduli dan memasang wajah datar.
“Kapan-kapan kalau butuh lagi…”
“Sepertinya tidak akan ada kapan-kapan,” potong Edward sambil menepuk bahu pria itu sambil berlalu.
**
“Kenapa dokter tidak menemui dokter spesialis malah mendatangi tempat seperti itu ?”
Fahmi menautkan alisnya menatap Edward yang sedang menyesap teh hangatnya.
“Aku belum siap menerima kenyataannya, Fam. Semula kupikir semua ini hanya sementara karena terlalu lelah dan stres dengan pekerjaan tapi sudah 5 hari berlangsung dan segala cara yang aku lakukan tidak ada hasilnya.”
“Lalu hasil uji coba hari ini ?” Edward menggeleng.
“Aku tidak merasakan apa-apa, Fam. Bahkan perempuan yang duduk di atas pangkuanku tadi hanya terlihat seperti pasien di atas meja operasi.”
Keduanya sempat terdiam, masing-masing menikmati minumannya.
“Maaf kalau saya sedikit lancang. Apa dokter pernah terpikir kalau semua ini ada hubungannya dengan perpisahan anda dengan nona Elsa ?”
Edward malah tertawa dan hampir saja tersedak teh yang sedang disesapnya.
“Maksudmu aku stres karena ditinggal perempuan itu ? Aku malah bahagia karena bisa lepas darinya, Fam. Aku tidak pernah menganggap dia istriku dan pernikahan kami hanyalah di atas kertas.”
“Mungkin…”
“Aku tidak suka membahas tentang dia, Fam, menyebut namanya saja sudah malas, rasanya lidahku langsung gatal,” Edward tersenyum miring.
“Aku akan segera menikah dengan Lily tapi untuk sementara hanya bisa nikah siri. Kami akan segera punya anak karena aku yakin dengan begitu daddy tidak akan bersikeras mempertahankan pernikahanku dengannya.”
Hati-hati dengan ucapan anda, dokter, jangan sampai anda harus menjilat ludah sendiri dan semuanya sudah terlambat untuk menyesal.
Seandainya waktu bisa diulang, saya tidak akan membiarkan nona Elsa membantu anda malam itu.
“Kita pulang sekarang, Fam. Antarkan aku ke apartemen.”
“Baik dokter.”
Sepanjang jalan tidak ada percakapan, hanya alunan musik yang terdengar. Edward pun menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata tidak peduli dengan handphonenya yang kembali bergetar berkali-kali dan lagi-lagi nama Lily yang terlihat di layar.
Jalanan yang mulai lengang membuat mereka tiba di lobi apartemen hanya dalam waktu 30 menit.
“Bawa pulang mobil, jemput aku besok pagi sebelum jam 7.”
“Baik….”
Keduanya langsung menoleh saat kaca jendela sisi penumpang digedor dari luar dengan cukup keras.
“Edward turun ! Jangan coba-coba menghindar lagi.”
Edward menghela nafas berat melihat Lily betolak pinggang sambil melotot.
dasar sundel bolong