Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Bukan Boss, tentu saja Boss tidak pernah salah. Hanya saja kadang kurang tepat cara nanganin Dek Wening."
"Dak, dek, dak, dek. Panggil nama saja, bukan adikmu. Lebay banget panggilan kamu."
Kusut, namanya juga lagi kalut ngomong apa pun hawanya salah melulu.
"Mana ponselnya? Awas aja kalau jelek, terus Wening nggak suka."
"Ini seri terbaru dan yang paling bagus di kelasnya Boss, anak jaman now pasti suka," jawab Wahyu yakin. Menyodorkan paper bag kecil dengan logo setengah apel digigit.
"Ya sudah, kamu boleh pulang. Pastikan besok tidak terlambat menjemput!" pesan pria itu petang itu.
Wahyu undur diri dari kediaman atasannya. Pria itu harus mempunyai stok sabar yang lebih demi menghadapi bossnya yang belakangan cenderung labil. Lebih tepatnya setelah tragedi gagal menikah dan berakhir dengan adik kecilnya. Mungkin rasa sakit itu masih begitu terasa, jadi harap maklum saja.
Usai Wahyu pulang, Seno tengah mencari cara untuk membujuk istrinya agar mau keluar kamar. Gadis itu tidak mau membuka kuncinya, bahkan diam seribu bahasa kalau Seno menggedor-gedor pintunya.
*Belajar memahami
Jangan sampai kehilangan kesabaran
Saling membangun komunikasi
Memberikan perhatian khusus*
Seno tengah membaca tips cara membujuk kala istri merajuk di laman websitenya.
"Huhf ... sabar, perasaan aku udah sabar," gumam pria itu menilai diri sendiri.
"Memahami? Tentu saja aku sangat pengertian. Dasar bocil tukang ngambek!" Pria itu terus bermonolog mencari solusi.
"Aku biarin aja kali ya? Lama-lama juga butuh, butuh uang jajan, butuh makan?"
"Eh, tapi—dari tadi pagi belum makan. Bagaimana kalau bocah itu wassalam. Bisa bahaya juga hidupku, masa jadi duda sebelum nananinu. Rugi dong!" batin Seno resah. Mondar mandir bak setrikaan panas.
Pria itu pun nampak galau. Hingga memutuskan untuk menurunkan egonya. Mengetuk pintunya kembali, berharap bujukan yang terakhir kali ini akan ampuh.
"Ning! Buka pintunya! Aku tadi nggak sengaja jatuhin ponsel kamu, beneran! Buka dong, aku punya hadiah," seru pria itu di balik pintu.
Hening, tak ada sahutan sama sekali hingga membuat pria itu kembali berpikir negatif.
"Waduh ... beneran ngambek ini. Lama betul merajuknya. Yakali harus minta bantuan mama buat ngebujuknya. Nggak makesense banget baru tinggal sehari udah ribut. Yang ada aku digorok, terus terancam kena omelan massa.
Sementara Wening masih terdiam dengan muka sembab. Tisu-tisu kotor berserakan di lantai kamar. Hatinya begitu sedih, rasanya ingin pulang saja ke kampung halaman. Gadis itu tertidur hingga malam menyapa, jangankan mandi, makan pun tak merasa lapar.
Petang berganti malam, sudah berjam-jam Wening mengurung diri. Seno yang khawatir, terpaksa membohonginya dengan memberitahu kalau ibunya di kampung telepon. Nyatanya itu hanya untuk mengelabuhi saja agar gadis itu setuju membuka pintu kamarnya.
"Ning, ini ibu telepon, katanya beliau sangat rindu. Buka pintunya, Ning!"
Mendengar kata ibu, entah kenapa gadis itu menjadi ragu. Jelas saja Wening terusik. Ditambah beberapa hari ini tidak bisa menghubungi beliau lantaran kendala sinyal.
Pria itu tersenyum mendengar suara kunci diputar pintu dua kali. Membuatnya tak sabar untuk menyeruak masuk dengan cepat.
"Hehe, Ning, kamu nggak pa-pa?" Keduanya saling bertatap dengan muka Wening yang terlihat tak ramah.
"Mana? Ibu beneran telepon? Aku mau minta jemput saja, di sini nggak betah!" ucap perempuan itu jujur.
"Mmm ... kamu kelamaan bukain pintunya, udah ditutup panggilan itu. Jangan ngambek lagi, nanti beneran telepon kok."
"Om bohong ya, keluar dari kamar, keluar!" usir Wening murka.
"Waduh ... jangan ngamuk, Ning, ini udah aku beliin dengan yang baru. Mudah-mudahan suka, ini seri terbaru loh," ujar pria itu promo.
"Om, mau itu seri terbaru, lama, Wening nggak peduli, handphone itu berharga, aku beli dengan uangku sendiri. Nabungnya lama, setidaknya belajar menghargai. Aku tahu Om nggak suka sama aku, tapi nggak gini juga caranya. Sakit, Om, sakit!" kata Wening berapi-api.
Gadis itu meluapkan kekesalannya yang mendalam. Kesal sekali rasanya menghadapi pria dewasa yang suka mena-mena itu.
"Oke, kamu maunya gimana? Ponsel baru? Atau gimana? Ngomong! Ning!"
"Om keluar dari kamar!" pekik gadis itu benar-benar jengkel.
"Oke, Oke, aku keluar, setelah kamu makan dan mandi," ujar pria itu terlihat tenang.
"Apa hubungannya dengan mandi dan makan, keluar!"
"Tentu saja ada, kamu nggak akan nyaman melewati malam ini dengan tubuh kotor dan perut lapar. Jadi ... berdamailah dengan kenyamanan. Ayo, pulang ke kamarmu!"
"Nggak mau! Biarin aja lapar, aku nggak mau makan, nggak mau mandi. Bodo amat!"
"Haish ... dibilangin ngeyel sekali. Kamu yang nurut, bukan aku yang nurut! Mau aku gendong atau aku seret saja!" ancam pria itu gemas sendiri.
"