Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Tekanan
Di kelas X A, Bu Vivi berdiri di depan kelas dengan wajah masam. Ia menatap sinis ke arah murid-muridnya, anak didik Fitri. Kekesalannya pada Fitri dilampiaskan pada anak-anak yang tidak bersalah.
"Kalian ini memang sama saja dengan wali kelas kalian," sindir Bu Vivi dengan nada sinis. "Suka drama dan cari muka!"
Anak-anak X A hanya bisa menunduk, tidak berani menatap Bu Vivi. Mereka sudah tahu, guru matematika yang satu ini memang terkenal galak dan tidak suka basa-basi.
"Sudah, tidak usah banyak bicara!" bentak Bu Vivi. "Kalian semua sudah besar, harusnya sudah bisa mandiri dan pintar!"
Bu Vivi kemudian menulis soal statistika yang sangat rumit dan sulit di papan tulis. Soal ini bahkan belum pernah mereka pelajari sebelumnya.
"Siapa yang bisa mengerjakan soal ini?" tantang Bu Vivi dengan tatapan tajam.
Anak-anak X A saling lirik satu sama lain. Mereka semua merasa tidak mampu mengerjakan soal tersebut.
"Ayo, jangan diam saja!" desak Bu Vivi. "Cepat maju ke depan dan kerjakan soal ini!"
Dengan ragu-ragu, Chikita mengangkat tangannya. Ia memberanikan diri untuk maju ke depan, meskipun ia tahu soal ini sangat sulit.
"Nah, ini baru anak pintar!" puji Bu Vivi dengan nada sinis. "Chikita, silakan kerjakan soal ini di depan kelas!"
Chikita berjalan ke depan kelas dengan langkah gemetar. Ia menatap soal di papan tulis dengan bingung. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.
"Ayo, cepat kerjakan!" bentak Bu Vivi. "Jangan buang-buang waktu saya!"
Chikita mencoba mengerjakan soal tersebut, namun ia tetap saja tidak bisa. Ia merasa semakin bodoh dan tidak berguna.
"Bagaimana? Tidak bisa, kan?" sindir Bu Vivi dengan nada merendahkan. "Kalian ini memang tidak ada yang pintar!"
Chikita hanya bisa menunduk dan menahan air matanya. Ia merasa sangat malu dan kecewa.
Bu Vivi kemudian menjelaskan cara mengerjakan soal tersebut dengan sabar. Ia berusaha untuk membuat anak-anak X A mengerti, meskipun ia tetap terlihat galak dan tidak ramah.
"Kalian harus belajar lebih giat lagi," kata Bu Vivi. "Jangan hanya mengandalkan saya sebagai guru. Kalian juga harus aktif mencari informasi dari sumber lain."
Setelah selesai menjelaskan, Bu Vivi memberikan beberapa soal latihan kepada siswa-siswanya. Ia meminta mereka untuk mengerjakan soal-soal tersebut secara individu.
Suasana kelas X A pun menjadi hening. Semua siswa fokus mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan oleh Bu Vivi. Mereka tidak ingin membuat Bu Vivi marah lagi.
****
Di kelas X B, Bu Shanty, guru fisika yang terkenal tegas dan galak, sedang mengajar materi tentang kalor. Suasana kelas tegang seperti biasa. Bu Shanty menjelaskan materi dengan suara lantang dan tatapan tajam, membuat para siswa merasa takut dan tidak nyaman.
Saat Bu Shanty sedang asyik menjelaskan, ia mendengar suara berisik dari arah belakang kelas. Ia menoleh dan melihat beberapa siswa sedang mengobrol dan tertawa-tawa, tidak memperhatikan penjelasannya.
Tanpa basa-basi, Bu Shanty langsung mengambil penghapus papan tulis dan melemparkannya ke arah siswa yang berisik tersebut. Lemparan itu cukup keras dan mengenai salah satu siswa di belakang kepala.
Siswa yang terkena lemparan itu terkejut dan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Bu Shanty dengan wajah takut.
"Kalian ini apa-apaan, sih?" bentak Bu Shanty dengan suara keras. "Saya sedang menjelaskan materi, kenapa kalian malah mengobrol?"
Para siswa yang berisik tadi langsung terdiam dan menunduk. Mereka takut dengan kemarahan Bu Shanty.
Bu Shanty kemudian berjalan menuju ke arah siswa yang terkena lemparan penghapus. Ia menatap siswa itu dengan tatapan tajam.
"Kamu ini sudah besar, kenapa masih saja tidak bisa diam saat guru sedang mengajar?" tanya Bu Shanty dengan nada sinis.
Siswa itu hanya bisa menunduk dan tidak berani menjawab pertanyaan Bu Shanty.
Bu Shanty kemudian menggebrak papan tulis dengan keras, membuat semua siswa di kelas X B terkejut. Suara gebrakan itu membuat suasana kelas semakin tegang dan mencekam.
"Kalian semua harus belajar yang benar!" kata Bu Shanty dengan suara lantang. "Jangan hanya mengandalkan saya sebagai guru. Kalian juga harus aktif mencari informasi dari sumber lain."
Setelah itu, Bu Shanty kembali melanjutkan penjelasannya tentang kalor. Namun, para siswa sudah tidak lagi fokus pada materi yang diajarkan. Mereka masih terbayang-bayang dengan kemarahan Bu Shanty dan suara gebrakan papan tulis yang keras.
Suasana kelas X B menjadi sangat hening dan tegang. Para siswa merasa takut dan tidak nyaman. Mereka tidak lagi bersemangat untuk belajar.
****
Di lapangan sekolah yang luas, anak-anak kelas X C bersorak riang. Jam pelajaran olahraga adalah waktu yang paling mereka tunggu-tunggu. Di bawah bimbingan Pak Wira, guru olahraga yang enerjik dan tampan, mereka melakukan gerakan senam lantai dengan semangat. Tawa dan canda menghiasi setiap gerakan mereka.
Pak Wira dengan sabar dan telaten membimbing anak-anak didiknya. Ia menunjukkan gerakan-gerakan senam lantai yang benar, memberikan koreksi jika ada yang salah, dan tak lupa memberikan pujian jika ada yang melakukannya dengan baik. Anak-anak X C pun semakin bersemangat dan antusias mengikuti instruksi Pak Wira.
Mereka melompat, berguling, dan melakukan gerakan-gerakan senam lantai lainnya dengan gembira. Sesekali mereka bercanda dan tertawa bersama, menikmati momen-momen menyenangkan di jam pelajaran olahraga. Pak Wira pun ikut menikmati kebahagiaan anak-anak didiknya. Ia senang melihat mereka sehat, aktif, dan ceria.
Namun, kebahagiaan mereka harus terhenti ketika bel pergantian pelajaran berbunyi. Anak-anak X C yang tadinya riang gembira, kini mulai menunjukkan wajah lesu. Mereka tahu, setelah ini mereka akan menghadapi pelajaran matematika dari Bu Vivi, guru yang terkenal galak tanpa ampun.
"Aduh, sudah bel," keluh seorang siswa dengan nada kecewa. "Padahal masih asyik olahraga."
"Iya, nih," timpal siswa lainnya. "Habis ini pelajaran Bu Vivi, pasti tegang lagi di kelas."
Anak-anak X C berjalan menuju kelas dengan langkah berat. Mereka membayangkan wajah Bu Vivi yang garang, tatapannya yang tajam, dan suaranya yang keras. Mereka juga teringat dengan kebiasaan Bu Vivi yang suka menggebrak papan tulis jika ada siswa yang tidak bisa menjawab soal.
"Semoga saja Bu Vivi tidak marah hari ini," harap seorang siswa dengan nada khawatir.
"Iya, semoga saja," timpal siswa lainnya. "Kalau Bu Vivi marah, pasti kita kena omel lagi."
Anak-anak X C memasuki kelas dengan perasaan takut dan cemas. Mereka sudah siap menghadapi pelajaran matematika yang menegangkan dari Bu Vivi. Mereka berharap, Bu Vivi bisa sedikit lebih sabar dan tidak terlalu galak hari ini.