Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Tangan indung menggenggam jemari Shana, mengusap punggung tangan Shana dengan senyum hangatnya. “Nduk, tolong jangan kecapekan, ya? Kamu juga jangan banyak pikiran. Ya?”
Mata Shana membalas tatapan lembut indung sebelum akhirnya mengangguk. Mulut Shana hanya terdiam saat melihat indung seperti ingin berkata lebih.
“Indung dengar, kamu di rumah lakuin semuanya sendiri…? Jangan ya, Teh. Bilang sama Kaivan sewa pembantu saja. Kasihan kamu, Teh,”lanjutnya mengusap puncak kepala Shana yang basah. Handuk yang Shana kenakan sudah tanggal sedari tadi. Lalu, tubuh indung berbalik menghadap rumah. “Laras! Ambilin sisir!”teriaknya.
“Eh, nggak perlu, Bu. Nanti aku sisir sendiri,”tolak Shana. “Takut ngerepotin.” Dia menggigit bibirnya saat indung memukul pelan lengannya.
“Ah, kamu nih. Sekarang kamu itu anaknya indung juga. Ya?” Keduanya menoleh pada Laras yang baru keluar rumah sembari menyodorkan sisir pada indung. “Sini deketan. Biar indung sisir.”
Shana tersenyum tipis sambil menggeser duduknya menjadi bersisian dengan indung. Hampir tidak ada celah antara mereka. Indung menyisir rambut panjang Shana lembut. Seperti anaknya sendiri.
Momen ini membuat Shana dejavu. Merasa pernah diperlakukan seperti ini saat umurnya masih kecil. Mungkin sekitar delapan tahun. Sebelum ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Setelahnya, hari-hari yang dijalani Shana begitu berat.
Dan merasakan telapak tangan itu menyentuh kepalanya sembari terus mengajaknya berbicara. Membuat Shana merasakan hangatnya disayang kembali.
“Ya, Teh? Pokoknya kalau Kaivan nggak izinkan. Biar indung aja yang bantu-bantu kamu di rumah.” Rupanya Shana baru tertarik dari lamunannya hingga tidak mendengar ucapan indung sedari tadi.
Apa? Indung mau ke rumah?
Shana tidak bisa membayangkan akan serusuh apa nanti rumahnya, jika ibu sampai tahu kedatangan indung.
“Emm … nanti aku coba bicarakan sama Mas Kai dulu, ya…”
Tentu saja indung tersenyum manis sembari menyetujui ucapan Shana. Indung tidak tahu padahal itu adalah sebuah penolakan halus.
“Pokoknya indung mau kamu hanya fokus sama kandunganmu. Ya?” Terdengar suaranya melemah. “Apalagi, ini cucu pertama indung di usia Kaivan yang hampir menginjak usia empat puluh tahun.”
Mata Shana menangkap pergerakan Kaivan yang masih menempelkan ponsel di telinga. Terlihat dari posturnya yang beberapa kali meremas rambut, sepertinya lelaki itu dalam masalah.
Tapi, Shana kembali berpikir. Siapakah yang menelpon di saat cuti seperti ini? Sepenting itukah pekerjaannya sampai harus mengganggu cuti seseorang?
Lama Shana mengawasi Kaivan dari duduknya, sampai tidak sadar indung sudah selesai menyisir rambutnya dan mengambil satu piring ubi rebus dan satu piring ikan bakar. “Makan dulu, Nduk.”
“Ah? Iya.”
Mata Shana kembali melihat Kaivan sebelum akhirnya memenuhi ajakan makan indung. Setelah mencuci tangan, Shana meminta izin, “Bu, aku panggil Mas Kai dulu, ya..?”
“Boleh. Boleh.” Indung mengangguk.
***
“Apa, sih, yang sebenarnya kamu inginkan?”
Seseorang di seberang sana tertawa kecil sebelum akhirnya menjawab, “Mas … mauku cuma kamu. Apa lagi memangnya?”
“Aku ‘kan sudah bilang, aku ini—”
“Ya. Ya. Ya. Kamu sudah mengatakannya berulang kali. Tapi, aku juga akan mengatakannya sekali lagi pada kamu. Bahwa apa pun alasannya, aku hanya menginginkan kamu.” Terdengar penuh peringatan.
Kaivan mendesah pelan, dia terduduk di paving blok yang belum sepenuhnya jadi di belakangnya. “Sa, dengar.” Kaivan memijiti keningnya, “Kamu itu masih muda. Anak orang kaya. Cari lah pria lain yang sepadan dengan kamu.”
“Kamu, Mas. Kamu orangnya.” Keras kepala sekali kedengarannya.
“Sa, kenapa—”
“Kamu lupa? Suatu hal yang kita habiskan bersama. Aku ingat semua detailnya kalau kamu lupa.” Seram sekali kedengarannya.
Namun, peduli apa Kaivan. Wajahnya mendongak, menatap jauh pada Shana yang tengah tersenyum dengan rambut yang disisir oleh indung. Senyuman yang manis nan teduh. Yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Kaivan untuk menyakitinya. “Sampai di sini saja obrolan kita, aku tidak akan mengecewakan istriku,”ucap Kaivan hendak menutup panggilan itu.
Namun, “Matikan panggilan ini jika kamu ingin karirmu lenyap sekarang juga.”
Seseorang di seberang sana menyeringai ketika panggilan itu belum dimatikan. Dia merasa menang telak pada ambisinya.
Kaivan menggenggam ponsel itu erat, lama. Sebelum akhirnya mendengkus dan akhirnya menempelkan kembali ponsel itu ke telinganya. “Kasih tahu aku rencanamu.”
“Ceraikan istrimu, nikahi aku.”
Kaivan berdecak, “Kayaknya kamu sudah tidak waras. Aku tidak akan pernah melakukannya,”ujar Kaivan kembali menatap Shana yang sudah menerima piring oleh indung. “Aku sangat mencintainya.”
“Kalau begitu, poligami saja. Aku bersedia menjadi istri keduamu. Tidak masalah jika dia keberatan.” Kedengarannya seseorang di sana belum putus asa.
Lelucon macam apa itu? Membuat perut Kaivan merasa tergelitik. Dia tertawa sumbang sampai akhirnya berdiri dan membelakangi segerombolan keluarganya. Padahal, tentu saja mereka tidak akan mendengar suara Kaivan, begitu pula obrolannya.
“Raisa, ayolah. Apa yang kamu inginkan dari pria berusia tiga puluh delapan tahun? Aku dari keluarga miskin dan aku tidak punya apa-apa seandainya aku keluar dari pekerjaan,”ujar Kaivan. “Realistis sedikit lah.”
“Kamu masih bertanya…?” Raisa tidak benar-benar mengajukan pertanyaan, dia hanya mengingatkan. “Kamu yang pertama. Dan, aku rasa … aku cukup senang hati disentuh pertama kali oleh pria sepertimu. Aku suka.”
Kaivan berdecih, tidak habis pikir dengan pemikiran gadis itu. “Aku tidak mengingatnya sama sekali.”
“Seandainya ada rekaman…? Apa kamu percaya?”
Hening.
Kaivan tidak bisa berkata apa-apa. Dia menyugar rambutnya dengan perasaan gusar. Dia benar-benar tidak yakin dengan ingatannya.
“Mas? Kamu nggak apa-apa, kan? Nggak pingsan, kan?” Terdengar kekehan di sana saat Kaivan masih bergeming. “Bagaimana jika suatu saat istrimu melihatnya…? Wow! Bombastis!”
Tangan Kaivan terkepal. Dia mengganti posisi ponselnya, tidak lagi di telinga kanan. “Dengar, Raisa. Kalau kamu sampai melakukan itu, aku tidak akan diam saja. Paham?!”
Raisa tertawa terbahak-bahak. “Kalau begitu, nikmati saja permainanku. Mas…? Kenapa, sih, susah banget mau ngikutin titahku?”
“Raisa, tolong jangan macam-macam. Ini peringatan untuk kamu. Jangan sampai ada yang tau soal itu, selain kita berdua.” Kaivan merasa kepalanya berat sekali. Dia memijiti keningnya beberapa kali. Mungkin ini efek karena dia belum berisitirahat semenjak kedatangannya ke sini.
“Mas?”
Mata Kaivan yang semula menyipit, kini terbuka lebar. Dia belum menyahut, memastikan bahwa itu bukan suara dari ponselnya. Sampai dia mendengar sekali lagi suara itu.
“Mas? Masih lama, ya? Ibu ajak makan tuh.” Shana mengernyit memerhatikan Kaivan yang baru saja berbalik setelah mematikan ponselnya. “Mas? Semua baik-baik aja, kan?” Shana menyentuh wajah Kaivan yang terlihat pucat.
“Kamu … dari tadi di sini?”
Shana mengernyit heran, namun dia tetap menjawabnya. “Ng … baru aja kok. Yuk!” Tangannya terulur dengan senyum tipisnya. Dan Kaivan langsung menyambut tangannya dengan baik.
Hati Kaivan mencelos, kepalanya menunduk memerhatikan genggaman tangan Shana. Menuntunnya dengan erat. Seolah-olah bahwa Kaivan adalah tempat yang tepat untuknya berpegang.
Kaivan merasa sesuatu membasahi kelopak matanya. Buru-buru dia menyeka dengan tangan sebelahnya. Tidak ingin senyum Shana luntur. Apalagi, ketika melihat Shana bahagia di samping ibunya. Kaivan tidak ingin merusak semuanya.
Tepat setelah mereka sampai pada segerombolan orang yang tengah menikmati hidangan mereka. Kaivan dan Shana duduk berhadapan, ikut menikmati hidangan yang ada. Sesekali Shana tersenyum pada Kaivan, tapi tak ayal bahwa di sudut matanya mulai berair, bersamaan dengan embusan nafasnya yang sesak.