"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simbiosis Mutualisme
Saat aku baru keluar rumah, tak disangka malah bertemu lagi dengan Om Lino di depan pagar.
“Om? Ngapain ke sini?” tanyaku, merasa sedikit heran melihatnya.
“Sepertinya bunda kamu tadi marah. Jadi, saya pikir saya harus ikut menjelaskan kronologinya. Itu sebabnya saya datang,” jawabnya santai, tapi kelihatan agak ragu.
“Halah, gak usah, Om,” sahutku cepat. “Bunda memang gitu, gak mudah percaya. Mau dijelaskan panjang lebar juga dia bakal tetap curiga.”
Dia mengerutkan alis, seolah mempertimbangkan kata-kataku, tapi aku buru-buru menambahkan, “Om tenang aja, nanti juga bunda ngerti sendiri.”
“Kamu tadi dimarahi?” tanyanya sambil menatapku penuh perhatian.
“Diomelin lebih tepatnya,” jawabku sambil menyeringai kecil, mencoba mengurangi rasa canggung.
“Kalau begitu, biar saya jelaskan lagi ke bunda—”
“Gak usah, Om. Beneran deh, gak perlu.” aku menggeleng cepat, lalu menunduk sebentar sebelum kembali menatapnya. “Justru saya yang harus minta maaf. Maaf ya, Om, dari semalam saya nyusahin terus.”
Dia menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf.”
“Tapi Om mau apa sebagai gantinya?” tanyaku, berusaha menawarkan sesuatu supaya rasa bersalahku sedikit terbayar.
Dia kelihatan bingung sejenak sebelum menjawab, “Tidak perlu mengganti apa pun.”
Aku langsung mengusulkan, “Om mau saya traktir makan gak?”
Dia menggeleng lagi. “Tidak perlu—”
“Ayo, Om! Bakso di depan komplek kita enak, loh! Yuk makan ke sana!” tanpa menunggu persetujuan, aku langsung menarik tangannya.
Dia menghela napas berat. “Jihan, saya bilang tidak perlu.”
“Kenapa? Perut Om gak nerima makanan murah, ya?” tanyaku sambil tersenyum jahil.
“Bukan seperti itu—”
“Kalau gitu, jangan ditolak dong, Om. Rezeki gak boleh ditolak,” ujarku dengan nada yakin.
Dia akhirnya menyerah. “Ya sudah, terserah kamu saja.”
Aku tersenyum puas dan terus menarik tangannya menuju warung bakso. Baru sadar setelah sampai di depan warung kalau dari tadi aku lupa melepas genggaman tangannya.
“Pak, baksonya dua, ya! Bakso spesial!” seruku pada penjual bakso begitu kami tiba.
“Makan di sini, Dek?” tanya si penjual dengan ramah.
“Iya, makan di sini,” jawabku sambil mencari tempat duduk.
Warung kecil itu penuh sesak karena sore-sore memang waktu paling ramai. Untungnya, masih ada satu meja kosong di sudut. Aku segera mengajak Om Lino ke sana.
Saat duduk, aku memperhatikan dia yang sibuk melirik ke sekitar. Kelihatan jelas kalau dia gak biasa berada di tempat seperti ini.
“Om,” panggilku.
Dia menoleh. “Iya?”
“Pernah makan di warteg gak?” tanyaku, iseng memecah suasana.
Dia mendengus kecil. “Pernah.”
“Ah, masa? Kayaknya Om makannya selalu di resto-resto gitu deh,” kelakarku sambil menatapnya lekat-lekat.
“Saya pernah makan di warteg. Tapi untuk makan di warung bakso seperti ini, memang pertama kalinya,” jawabnya jujur.
“Terus biasanya Om makan bakso di mana?” tanyaku, penasaran.
“Entahlah,” jawabnya pendek.
“Entahlah gimana nih?” Aku memiringkan kepala. “Jangan-jangan Om gak pernah makan bakso?”
Dia mengangkat bahu kecil, lalu tersenyum canggung. “Mungkin memang tidak pernah.”
Aku tertawa kecil. “Astaga, Om! Berarti hari ini spesial banget dong, nyobain bakso pinggir jalan bareng saya.”
Dia tidak menjawab, hanya meringis pelan. Rasanya suasana sore itu jadi lebih santai. Setidaknya aku gak terlalu merasa bersalah lagi setelah semua kerepotan yang aku sebabkan.
Tiba-tiba, seseorang menghampiri meja kami.
“Kak Jihan?” suara itu membuatku menoleh.
“Eh?” aku menatapnya dengan bingung, mencoba mengingat siapa dia.
“Beneran Kak Jihan ternyata,” katanya dengan nada yakin.
Aku hanya mengangguk kecil sambil mencoba mencerna situasi.
“Kak, aku denger Kakak bakal ngundurin diri dari SNBP. Bener, Kak?” tanyanya tanpa basa-basi.
Astaga, langsung ke pokok pembicaraan. Aku bahkan masih berusaha mengingat namanya. Sepertinya dia adik kelasku dulu.
“Errr ... iya, mungkin, tapi—” ucapku pelan, belum selesai bicara ketika dia langsung memotong.
“Kak, please jangan.” nada suaranya mulai terdengar mendesak. “Jangan buang kesempatan semudah itu.”
Dia melanjutkan, “Kakak tau, kan, dampaknya bakal ke siapa? Tahun depan aku mau daftar SNBP prodi keperawatan di UGB juga, Kak. Tapi kalau Kak Jihan mengundurkan diri gini, sekolah bakal di-blacklist. Aku dan temen-temen lain jadi gak bisa daftar di sana.”
Aku hanya diam, merasa seluruh tubuhku lemas. Kata-katanya menghantamku dengan keras.
“Tolong, Kak. Pikirin baik-baik sebelum bikin keputusan kayak gitu,” katanya lagi. “Pikirin gimana nasib kita nanti ....”
Pundakku langsung terasa berat. Rasa bersalah yang tadi coba aku singkirkan malah semakin parah. Mereka menggantungkan harapan besar pada keputusan yang aku ambil, dan aku malah membuat semuanya rumit.
Dia melanjutkan, kali ini suaranya sedikit gemetar, “Kak, please ... jangan mengundurkan diri seenaknya kayak gini. Aku dan yang lain udah berusaha pertahanin nilai rapot dari semester satu. Tapi semuanya bakal percuma kalau sekolah di-blacklist karena dampak dari alumni yang gak ngambil kursi SNBP-nya.”
Aku menunduk, tak berani menatapnya.
“Kak Jihan kenapa harus daftar jalur rapot kalau ujungnya gak ngambil? Kakak pasti tau, kan, kami kena imbasnya? Kami—”
“Baksonya sudah datang.” suara Om Lino tiba-tiba memotong pembicaraan.
“H-hah?” Aku menoleh, sedikit terkejut.
“Jihan, ayo makan dulu,” katanya tenang, lalu beralih menatap adik kelasku.
“Dan kamu, tolong bicarakan lain waktu saja, ya? Ini tempat umum. Masalah personal, bicarakan berdua saja dengan Jihan nanti,” katanya tegas. “Sekarang kami ingin makan. Kamu bisa menghubungi Jihan nanti jika masih ada yang ingin disampaikan.”
Adik kelasku mendengus kecil, jelas terlihat kesal, tapi dia akhirnya pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku menghela napas lega, walau rasa bersalah tetap menggantung di dadaku.
“Om, kalau baksonya dibungkus aja gak papa? Saya tiba-tiba ngantuk, pengin pulang,” ucapku pelan, tanpa semangat.
Om Lino menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Dia langsung meminta pelayan membungkus bakso kami tanpa banyak bertanya.
Saat perjalanan pulang, aku hanya diam. Tangan kami sama-sama membawa kantong plastik berisi bakso, tapi pikiranku melayang-layang, memikirkan ucapan adik kelasku tadi.
Seolah belum cukup, ingatan tentang pembicaraan bunda dan nenek kemarin kembali muncul. Semua itu bercampur menjadi beban yang membuat dadaku sesak.
Aku benar-benar bingung harus bagaimana. Rasanya semua pilihan yang ada malah membuatku semakin salah.
Om lino tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatku menoleh kaget.
“Batas daftar ulangnya sampai kapan?” tanyanya dengan nada serius.
“Eh?” aku menatapnya bingung, tidak menyangka dia akan menyinggung hal itu.
“Daftar ulang kuliah, maksud saya,” lanjutnya.
“Oh.” aku menarik napas panjang. “Minggu depan semuanya harus sudah beres, Om. Kalau enggak, ya gugur. Dianggap mengundurkan diri.”
Dia mengangguk pelan, lalu menatapku dengan ekspresi tenang yang agak membuatku gelisah.
“Sudah berbicara lagi dengan bunda kamu?” tanyanya lagi.
“Bicara apa lagi, Om?” aku memandangnya dengan alis berkerut. “Om dengar sendiri kan pembicaraan Bunda di telepon kemarin?”
Dia hanya mengangguk kecil.
“Saya gak mungkin minta Bunda menguliahkan saya setelah tahu keadaan ekonomi keluarga lagi sulit, Om.”
“Itu artinya kamu benar-benar akan mengundurkan diri?”
Aku menghela napas berat. “Gak tahu ... ah, saya bingung!”
“Om, saya ngerasa serba salah banget.” aku mulai bicara lebih cepat, mencoba meluapkan semua yang ada di pikiranku. “Saya mau kuliah. Saya mau banggain Bunda. Tapi saya gak mau jadi beban dia. Dan di sisi lain, saya takut bakal ngehancurin impian orang lain. Saya takut bikin orang-orang kesulitan karena keputusan saya ini.”
Aku menatap jalan lenggang di depan, menggigit bibirku. “Dari awal ini emang salah saya, sih. Saya gak seharusnya daftar SNBP kalau akhirnya begini. Saya bener-bener ngerasa buruk banget sekarang.”
Tanganku terangkat, mengusap wajah yang terasa panas karena campuran emosi. Rasanya tidak ada jalan keluar sama sekali.
“Jihan.” suara Om Lino terdengar lebih lembut sekarang, membuatku mendongak.
“Ada apa, Om?” tanyaku.
“Saya sebenarnya memiliki solusi untuk kamu.” dia berhenti sejenak, seolah memastikan aku benar-benar memperhatikan.
Aku menatapnya penuh tanda tanya. “Solusi apa?”
“Saya sudah memikirkannya baik-baik sebelum mengatakan ini.”
Perasaanku mendadak tidak enak. Dia terlihat serius, terlalu serius.
“Saya memiliki penawaran yang bisa menguntungkan kita berdua,” katanya dengan nada datar tapi tegas.
Alisku mengerut. “Penawaran apa?”
“Kamu bisa kuliah ... dan saya bisa hidup tenang setelah ini.”
Aku menatapnya lebih tajam, bingung dengan arah pembicaraan ini. “Maksudnya?”
Dia menghela napas dalam, lalu berkata, “Kamu mau menikah dengan saya?”
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak sejenak. Mataku membelalak lebar, menatapnya seolah dia baru saja bicara hal paling gila yang pernah aku dengar.
“Dengan begitu, saya akan membiayai pendidikan kamu,” lanjutnya, tanpa memperhatikan ekspresi kagetku. “Kamu bisa berkuliah tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun lagi.”
“Wait!” aku langsung memotong. “Tunggu! Stop! Om gak lihat ini mata saya melotot saking kagetnya? Jangan diterusin!”
Dia menatapku dengan tatapan datar, seolah tidak mengerti kenapa aku panik.
“Om Lino ngomong apa sih?!” seruku.
“Ini solusi yang saya maksud,” jawabnya tenang. “Kita bisa sama-sama saling menguntungkan di sini. Kamu tidak perlu khawatir lagi tentang biaya kuliah kamu. Dan saya tidak perlu khawatir dengan ancaman perjodohan yang ingin dilakukan ibu saya.”
Dia menatapku lurus, penuh keyakinan. “Simbiosis mutualisme. Bagaimana menurut kamu?”
Aku menatapnya lama, mencoba mencerna kata-katanya.
Gila...
OM LINO TERNYATA GAK WARAS!