Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Keluarga Nabila
Di dalam dapur rumah yang asri itu, seorang wanita yang sudah keriput kulitnya, dan juga rambut putihnya tertutup hijab, tengah sibuk memasak beserta kedua putrinya.
"Teh Sofi, jam berapa Teh Bila mau ke sini?" tanya si bungsu Fahira kepada kakak keduanya, Sofiya.
"Katanya bentar lagi," sahut Sofiya seraya menatap ke arah jam dinding di dapur sederhana itu.
"Duh, Hira gak sabar ketemu sama kakak ipar. Seganteng yang di foto gak ya," ujar Fahira dengan semangatnya.
"Kamu teh, inget suami di rumah. Baru juga nikah, udah gatel lagi. Sama kakak ipar sendiri lagi," tegur Sofiya.
"Bukan gatel atuh, Teh. Hira te penasaran aja, itu kakak ipar kita teh lebih muda dari Hira. Kalau lebih muda sepuluh tahun dari Teh Bila, berarti setahun lebih muda atuh dari Hira, dan tujuh tahun lebih muda dari Teh Sofi? Bener ih, Teh Bila milik pisan dapetin berondong gitu," celoteh Fahira.
"Bukan cuma berondong dan ganteng," timpal Sofiya. "Tajir juga. Itu yang penting."
"Ampun kalian teh," tegur Ani, sang ibu. "Yang terpenting mah bukan itu tapi, akhlaknya. Kalian tahu sendiri gimana sholehahnya teteh kalian, jadi ibu berharapnya si teteh berjodoh sama yang sholeh juga. Tapi ngelihat suami yang sekarang," Ani menghela nafas. "Haduh, meni beda sama almarhum Hadi. Kuliah juga belum lulus. Kerjaan belum punya. Gimana dia bisa ngasih nafkah ke si teteh? Kenapa atuh ya jodohnya si teteh selalu aja begini. Datang tiba-tiba, tanpa bisa si teteh teh milih siapa yang mau jadi suaminya."
Kedua anak perempuannya itu terdiam tak menyahut mendengar ucapan sang ibu, mereka setuju.
Ani menghela nafasnya. "Astagfirullah. Kenapa ibu jadi mengeluh begini."
"Wajar sih, Bu. Teh Bila itu cantik, pinter, dewasa, dan sholehah. Teh Bila itu kebanggaan kita semua. Ibu pasti berharapnya Teh Bila dapet jodoh dengan cara yang normal aja. Tapi takdir cintanya Teh Bila ternyata penuh kejutan. Jadi wajar banget kalau ibu teh ngerasa kayak gitu. Tapi alhamdulillahnya, almarhum Mas Hadi ternyata orangnya baik sekali, sholeh sekali. Sayang sama Teh Bila, sayang sama keluarganya juga." Sofiya menenangkan.
"Siapa tahu, Mas Dzaki juga sama baiknya sama Mas Hadi, Bu. Kita harus percaya Allah pasti sayang banget Teh Bila," timpal Fahira.
"Semoga aja. Kalau enggak, Ibu akan kasih pelajaran sama laki-laki yang namanya Dzaki ini. Lihat weh pokoknya mah," tegas Ani.
"Setuju, Bu!" sahut Fahira semangat.
Lalu tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan pagar rumah itu. Mereka yang ada di dapur melihat ke arah pintu samping. Fahira mendekat ke pintu dan melihat sang kakak turun dari mobil itu.
"Teh Bila, Bu!" ujar Fahira semangat memberitahukan bahwa sang kakak sudah tiba.
Sofiya dan Ani pun bergabung dengan Fahira. Kemudian terlihat Dzaki juga turun dari kursi kemudi.
"Euleuh, itu mobilnya bagus gitu. Mahal itu mah mobilnya juga," ujar Sofiya.
"Itu Mas Dzaki? Subhanallah, meni ganteng pisan itu suaminya si teteh. Turunan arab kayaknya ya?" Fahira tak kalah heboh.
"Kalian teh. Malah komentarin begitu. Cepet itu diberesin makanannya. Ibu mau ke depan dulu."
Kemudian Ani ke depan untuk menyambut sang putri sulung dan juga menantu barunya. Nabila menyalami dan memeluk sang ibu, kemudian memperkenalkan sang suami pada sang ibu.
Dzaki pun menyalami sang ibu mertua. Mereka berbasa-basi sedikit dan kemudian duduk di sofa ruang tamu. Tak lama kedua adik dari Nabila muncul dengan nampan berisi minum dan makanan ringan. Ani pun memperkenalkan adik-adik Nabila kepada Dzaki.
"Jang Dzaki, ini adiknya Bila yang nomor dua, namanya Sofiya. Dan ini, si bungsu, Fahira." Ani memperkenalkan anak-anaknya.
Dzaki menyalami kedua adik iparnya. Lalu Sofiya dan Fahira duduk di sebelah sang ibu.
"Sofiya ini udah punya anak tiga, Mas. Anak pertamanya umur 7 tahun, yang kedua 5 tahun, dan yang ketiga 3 tahun. Suaminya ASN di kecamatan sini." Nabila memperkenalkan lebih detail. "Dan ini, Fahira. Baru nikah beberapa bulan yang lalu. Suaminya TNI angkatan darat."
Dzaki mengangguk paham. "Suami Mbak Sofiya dan Mbak Fahira, di mana?"
"Masih pada di rumah," sahut Fahira. "Soalnya rumah Hira sama rumah saya deket sini. Cuma kehalang berapa rumah aja."
"Mas Dzaki jangan panggil Mbak, mau gimanapun Mas Dzaki ini suaminya teteh kami. Jadi panggil nama juga gak apa-apa," ujar Fahira.
Dzaki tertawa canggung. "Tapi saya gak enak. Gak apa-apa kan kalau saya manggilnya tetap Mbak?"
"Gak masalah, Jang Dzaki. Senyamannya aja. Pasti kagok ya? Soalnya umurnya Jang Dzaki ini di bawah Sofiya dan Fahira."
"Begitulah, Bu," ujar Dzaki sopan.
"Oh iya, Mas Dzaki, pasti kaget ya kenapa Hira sama Teh Sofi gak mirip sama Teh Bila?" tebak Fahira.
"Sedikit," jawab Dzaki. Ia memang sempat merasa aneh karena kedua adik iparnya itu terlihat mirip. Wajah mereka khas Indonesia sekali. Namun Nabila justru memiliki wajah khas Asia Timur.
"Teteh belum cerita sama Jang Dzaki?" tanya Ani pada Nabila.
"Belum, Bu," sahut Nabila menyesal.
"Ih Teteh mah gimana," seloroh Fahira. "Mas Dzaki, Teh Bila emang beda ayah sama Hira dan Teh Sofi."
Sontak Dzaki terkejut. Jadi sosok ayahnya yang Nabila ceritakan yang seorang guru itu, bukan ayah kandungnya?
"Ayahnya Bila meninggal waktu Ibu hamil Bila lima bulan. Beliau orang Tionghoa asli. Makanya kalau dari wajah, Bila ini beda. Tapi dari kasih sayang, ayahnya sayang sama ketiga anaknya," terang Ani.
"Iya, Mas. Bagi aku, walaupun almarhum ayah bukan ayah kandung, tapi karena beliau yang membesarkan aku, jadi aku gak pernah merasa beliau bukan ayah kandung aku."
"Aku baru tahu, Yang." Dzaki tercengang.
"Tapi kalau orang-orang udah ngomongin wajah Teh Bila yang beda, cantik sendiri, pasti kita semua jadi inget dan dibandingin deh. Ini mah kayak aktris korea, adik-adiknya mah kayak figuran di sinetron-sinetron."
"Kamu ih," tegur Sofiya.
Dzaki hanya bisa ikut tertawa gemas mendengar kata-kata sang adik ipar.
"Maaf ya Jang Dzaki. Ini anak bungsu ibu ini emang masih kayak anak-anak. Padahal udah jadi ibu PERSIT dia teh," timpal Ani.
Kemudian mereka pun larut dalam obrolan ringan mengenai keluarga Nabila.
Hingga setelah makan malam dan mandi, Nabila dan Dzaki pun beristirahat di kamar yang dulu kamar itu adalah kamar Nabila dulu, saat masih tinggal di rumah itu.
"Gak nyangka, Yang. Keluarga kamu welcome banget sama aku," ujar Dzaki lega. Ia sedikit khawatir keluarga Nabila tidak akan menyukainya.
"Emang Mas mikirnya gimana? Ibu sama Sofiya dan Fahira, udah nyerahin semuanya sama aku. Kalau aku sih gak heran kalau mereka bisa langsung nerima Mas. Cuma Hazel aja yang bikin aku khawatir." Nabila kembali terpikirkan sang putra.