My Lecture, Like My Sugar Daddy

My Lecture, Like My Sugar Daddy

Tetangga Baru

Aku berlari masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sulit dijelaskan—senang, lega, dan bersemangat.

Bagaimana tidak? Aku baru saja mendapat kabar yang benar-benar menggembirakan. Sesuatu yang selama ini aku impikan akhirnya menjadi nyata. Aku ingin segera menemui Bunda, memberitahunya supaya dia juga bisa ikut merasakan kebahagiaan ini.

“Bunda!” panggilku keras. “Jihan lulus!”

Tidak ada jawaban. Aku melangkah cepat ke ruang tengah, tetapi tetap tidak kutemukan sosok Bunda. “Ih, Bunda di mana, sih?” gerutuku sambil mengedarkan pandangan. Aku mencoba lagi, kali ini lebih kencang, “BUNDAAA!”

“Astaga, Jihan!” terdengar suara Bunda dari arah dapur. “Jangan teriak-teriak kayak gitu!”

Aku menghela napas. Padahal Bunda juga sering teriak sendiri. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Segera aku melangkah ke dapur, dan di sana aku melihatnya sedang sibuk dengan adonan kue.

“Bunda! Bunda!” seruku antusias, mendekatinya.

Bunda menoleh sekilas, tampak tidak terkesan. “Ada apa, sih? Udah dibilang jangan teriak-teriak,” ujarnya sambil melanjutkan pekerjaannya.

“Bunda, Jihan lulus! Jihan diterima!” kataku penuh semangat.

Bunda menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatapku dengan alis terangkat. “Lulus apa?”

Aku menghela napas, sedikit gemas. “Itu loh, SNBP!” jawabku sambil tersenyum lebar. “Jihan lulus SNBP pilihan pertama, Bun! Keperawatan!”

Namun, bukannya ikut senang, Bunda malah mengernyitkan dahi. Ini Bunda enggak ngerti kali, ya? pikirku. Aku langsung menambahkan penjelasan, “SNBP itu seleksi masuk kuliah jalur rapot kalau Bunda enggak tahu.”

Lalu, aku hampir berteriak karena tidak bisa menahan rasa gembira. “Dan Jihan lulus, Bun! Pilihan pertama! Keperawatan! Aaaa, Jihan seneng banget, sumpah!” Aku memeluknya erat, meskipun tangan Bunda penuh tepung. Tapi dia hanya diam. Tidak ada reaksi apa pun.

Aku melepas pelukan dan menatap wajahnya. “Bunda kok enggak ikutan senang, sih? Masih enggak paham, ya?” tanyaku, setengah bercanda.

Bunda akhirnya bersuara. “Bunda ngerti. Enggak perlu kamu jelasin juga, Bunda tahu maksudnya.”

“Terus kenapa enggak senang?” tanyaku bingung. “Ini anaknya diterima, lho! Jurusan keperawatan pula! Harusnya Bunda bangga dong?”

Bunda menghela napas panjang sebelum menjawab. “Jihan, kita bukannya udah bahas ini sebelumnya? Bunda udah bilang, kamu enggak bisa kuliah dulu tahun ini.”

Aku terdiam seketika. Rasanya seperti tersambar petir. “Tapi, Bun ....” Aku mencoba membantah, tapi Bunda memotong dengan nada tegas.

“Kamu ikut SNBP tanpa sepengetahuan Bunda?” tanyanya dengan tatapan tajam.

Aku tercekat. Memang benar aku mendaftar diam-diam karena tahu kalau Bunda tidak akan setuju. Tapi aku tidak menyangka reaksinya akan seperti ini.

“Bunda, aku mau kuliah ...,” gumamku pelan.

“Dan siapa yang akan biayain kamu?” tanya Bunda dingin. “Bunda? Kamu bikin keputusan sendiri tanpa memikirkan keadaan kita?”

Aku menggeleng pelan, mencoba mencari kata-kata. “Tapi, Bun, ini cita-citaku! Aku mau jadi perawat. Nilai rapotku bagus, sayang kalau enggak dicoba. Dan ternyata aku bisa lulus!” Aku menatapnya penuh harap. “Bunda, aku pintar, kan? Aku bisa jadi perawat yang baik.”

Bunda hanya mendengus. “Jihan, kita enggak punya cukup uang untuk itu. Lagipula, kuliah itu enggak menjamin masa depan. Banyak orang bergelar tinggi tapi tetap enggak jadi apa-apa.”

“Bunda pikir gampang cari kerja cuma dengan ijazah SMA?” Aku mulai kesal.

“Banyak yang bisa, kok,” balasnya datar.

“Tapi aku enggak mau kerja sembarangan, Bun! Aku mau jadi perawat!” seruku, hampir menangis.

Bunda menggelengkan kepala. “Itu cuma cita-citamu waktu kecil. Kamu pikir jadi perawat itu enak? Lihat darah aja kamu masih gemetaran.”

Aku menatapnya dengan mata memerah. “Tapi, Bun, aku bakal belajar dulu. Aku bakal ngelatih mental. Pokoknya aku mau jadi perawat!”

“Kalau mau tetap kuliah, silakan cari orang lain yang mau biayain kamu. Bunda enggak bisa,” katanya dingin.

Kata-katanya bagai tamparan keras di wajahku. Aku menatapnya tidak percaya. “Kok Bunda ngomong gitu, sih?”

“Karena kamu juga enggak menghormati pendapat Bunda,” jawabnya tanpa ragu. “Bunda sudah bilang dari awal. Kuliah itu percuma. Setelah menikah nanti, kamu bakal berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga. Jadi, buat apa?”

Aku benar-benar terpukul mendengar itu. Bunda kemudian menyerahkan sepiring kue kepadaku. “Nih, antar ini ke rumah sebelah. Ada tetangga baru.”

Aku menatapnya tajam. “Aku belum selesai ngomong, Bun!”

“Enggak ada yang perlu dibahas lagi,” potongnya tegas. “Cepat antarkan kuenya. Jangan lupa, sopan sama orang.”

Aku mendengus kesal, meraih piring berisi cookies itu dengan kasar, dan berjalan keluar dari dapur sambil menghentakkan kaki. Rasanya ... semua semangatku hilang begitu saja.

Aku kesal, benar-benar kesal. Rasanya dada ini seperti ditusuk-tusuk.

“Bunda kenapa sih pikirannya pendek banget!” seruku lirih, menahan gejolak yang semakin meledak.

Aku menghela napas panjang. “Aku, kan, pengen kuliah. Pengen jadi perawat!” lanjutku, suaraku mulai bergetar.

Kalau aku berhasil, siapa yang bakal bangga? Dia juga, 'kan? Tapi kenapa dia enggak mikirin perasaanku? Apa dia enggak mau lihat aku bahagia?

Langkahku semakin berat saat aku keluar rumah, membawa sepiring cookies yang Bunda buat. Sesak di dadaku memuncak. Aku berhenti di depan pagar, memandangi jalan kosong sambil berbisik pelan, “Bunda enggak sayang sama aku, ya?”

Air mata tiba-tiba tumpah. Deras. Aku buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Jangan sampai cookies ini basah. Cookies cokelat yang harusnya manis, jangan sampai asin karena air mataku.

Mataku beralih ke rumah besar di sebelah. Rumah itu benar-benar megah, jauh berbeda dari rumah kami. Setahun terakhir kosong, setelah pemilik lamanya pindah. Baru-baru ini ada penghuni baru.

“Yang beli pasti orang kaya juga,” gumamku sambil melangkah masuk ke halaman rumahnya. Untungnya, gerbangnya terbuka.

Begitu sampai di depan pintu, aku menekan bel. “Permisi! Saya tetangga sebelah!” seruku.

Tak lama, terdengar suara laki-laki dari dalam rumah. “Tunggu sebentar!”

Aku mengernyit. Suaranya dalam dan ... ganteng? Eh, tidak mungkin. Bukankah Bunda bilang dia orang tua?

"Om-om, ya," pikirku.

Pintu terbuka. Aku langsung terpaku.

Pria di depanku tinggi, berkulit cerah, dengan rambut hitam sedikit berantakan. Ia mengenakan kaos putih dan celana training, sementara jaket olahraganya diikat di pinggang. Ada keringat tipis di pelipisnya. Mungkin baru selesai olahraga? Tapi aku malah terpaku pada lengannya. Tegas dan berurat—eh? Ah, sudah, jangan lihat lagi!

“Iya, ada apa, ya?” tanyanya.

Aku masih terpana beberapa detik sebelum akhirnya sadar. “K-kok yang keluar malah sugar daddy, sih?” ucapku tanpa sadar.

Dia mengerutkan dahi. “Kamu bilang apa?”

Aku langsung menutup mulut dengan tangan. “Maaf, Om. Salah ngomong!”

Aku buru-buru menyodorkan piring cookies-nya. “Ini ada cookies bikinan Bunda saya. Katanya, untuk tanda kenalan.”

Dia menerima piring itu dengan senyum tipis. “Oh, begitu. Terima kasih. Kamu siapa?”

“Saya kan tadi bilang, Om. Saya anak dari tetangga sebelah,” jawabku cepat.

Dia mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, ya.”

Aku memberanikan diri bertanya, “Om namanya siapa? Biar sekalian kenalan.”

“Marlino,” jawabnya singkat.

Pendek banget. Aku langsung berkomentar, “Cuma itu? Kok pendek banget, Om?”

Dia tersenyum tipis. “Kalau saya sebut nama panjang saya, kamu nanti berkomentar lagi.”

“Panjang banget, ya?”

Dia mengangguk, lalu menyebutkan namanya dengan jelas, “Marlino Samudera Alvarendra.”

Aku terpana. “Iyaya, lumayan panjang banget! Kalau nama saya mah gampang, Om. Jihana Soraya. Panggil aja Jihan.”

“Baiklah, Jihan. Sampaikan terima kasih saya pada Bunda kamu, ya.”

“Siap, Om Lino! Dadaah! Semoga betah!”

Aku berbalik, melangkah pulang dengan pikiran yang masih bercampur aduk. Bahkan Aku menggerutu sepanjang perjalanan pulang.

“Om tadi kaku banget. Kayak ngomong sama KBBI aja.”

“Ih, baru inget. Males banget ketemu Bunda lagi!” omelku. Rasanya semua perkataannya tadi masih terngiang-ngiang di telingaku.

“Pengen ngambek rasanya,” gumamku sambil mengetuk-ketukkan jari di dagu.

Aku berhenti sejenak di depan pintu rumah. “Oke, mending aku ngambek deh. Siapa tahu nanti Bunda jadi luluh dan kasih izin aku kuliah.”

Ketika aku masuk ke rumah, aroma makanan langsung menyeruak. Bunda sedang sibuk mengatur piring dan lauk-pauk di meja makan. Beliau tidak menoleh ke arahku, tapi jelas menyadari kedatanganku.

“Jihan, ayo makan,” ajaknya singkat, tanpa basa-basi.

Aku pura-pura tak peduli. “Enggak. Gak lapar,” jawabku sok dingin, lalu melengos ke arah kamar.

Aku bisa merasakan tatapannya yang seolah ingin menembus punggungku. Tapi bukannya memanggilku lagi, Bunda malah berkata dengan nada datar, “Ya udah, Bunda habiskan aja semua. Kalau nanti kamu lapar, masak sendiri.”

Aku langsung berhenti di tengah langkahku. Hatiku mendidih. Ih, kan makin kesel jadinya!

“Bunda jahat!” pekikku, tak peduli bunda akan mengomel nantinya.

Pintu kamar kututup keras-keras, meski aku tahu itu tidak sopan. Tapi aku tidak peduli. Aku butuh ruang untuk mengelola emosiku. Hari ini aku benar-benar ingin merajuk sepuasnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!