Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Entah sudah berapa lama Anson menatap Aerin yang kini tertidur setelah minum obat penurun demam. Ada berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepala pria itu. Entah kenapa ia merasa banyak sekali yang berubah dalam diri Aerin, bahkan sejak pertama kali bertemu gadis itu beberapa waktu lalu.
Tadi Anson sengaja membuka ponsel Aerin, ingin menelpon keluarganya memberitahukan keadaan gadis itu. Sayangnya, tidak ada satupun kontak anggota keluarganya yang tersimpan dalam benda pipih tersebut. Bahkan yang membuat Anson heran, hanya ada tiga kontak yang disimpan Aerin dalam kontak ponselnya. Yaitu kontak yang dia beri nama guru, bibi Raline, dan Andrea. Bahkan nomor orang tuanya tidak ada, dan Kyle. Kakak kandungnya.
Aerin ternyata tidak berbohong tentang tidak punya nomor telpon kakaknya. Tapi kenapa? Bukankah dulu gadis itu dan Kyle sangat dekat? Keluarga mereka juga tampak begitu harmonis. Dan Aerin, meski dulu banyak yang tidak suka padanya karena sikap semena-menanya, tapi gadis itu tetap punya banyak teman. Kenapa ia malah hanya menyimpan tiga nomor kontak?
Kalau hubungan Aerin dan Kyle renggang, kenapa password ponselnya tetap memakai tanggal ulang tahun Kyle? Anson ingat sekali Kyle selalu cerita tentang adiknya yang terus menggunakan tanggal lahir pria itu untuk membuat kode.
Karena ingatan itu juga, Anson berhasil membuka ponsel Aerin. Pria itu terus menatap Aerin tanpa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak pernah terpikir dibenaknya sebelumnya kalau Aerin akan menjadi semisterius ini.
"Dokter," Anson mengalihkan pandangannya ke perawat perempuan yang masuk memanggilnya.
"Ini bubur yang dokter pesan tadi." ucap perawat itu malu-malu. Pesona Anson memang membuat banyak wanita yang berbicara dengannya menjadi gugup. Anson mengambil bubur dari tangan perawat itu tak lupa mengucapkan terimakasih.
"Sebentar," ujar Anson ketika sih perawat berbalik hendak keluar.
"Kalau ada yang mencariku, katakan aku cuti malam ini. Satu hal lagi, jangan sekali-sekali bergosip tentang aku dan dokter Aerin. Kau mengerti kan?" ada nada penuh peringatan dalam gaya bicara Anson.
Meski dia tahu dengan memutuskan membawa Aerin ke rumah sakit milik keluarganya ini bahkan menjadi wali gadis itu akan mengundang banyak gosip, namun ia tahu dirinya juga punya kuasa untuk membungkam mereka semua. Mereka pasti tidak akan sembarangan bergosip tentang dirinya kalau dia memberi peringatan.
"B ... Baik dok." sahut perawat itu lalu pergi.
Anson kembali menatap Aerin lama sebelum membangunkan gadis itu untuk makan. Ini sudah sekitar jam sepuluh malam. Ketika ia menemui Aerin di kompleks rumah gadis itu tadi, hari masih sore. Artinya, Aerin belum makan apapun sejak sore tadi. Ia harus makan sekarang agar lambungnya tidak bermasalah nanti.
Aerin membuka matanya perlahan sambil memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangannya masih buram, tidak melihat dengan jelas siapa yang duduk di tepi ranjang dekatnya.
Gadis itu membulatkan mata ketika bisa menyadari dengan jelas wajah Anson. Lelaki itu duduk melipat tangan di depan dada sambil terus menatapnya dengan wajah datar yang sukar ditebak.
Aerin mencoba mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya. Setelah mengingat peristiwa tadi sore saat dirinya pusing dan Anson menggendongnya, gadis itu langsung merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia merasa malu. Dan ... Ini dimana?
Pandangan Aerin menatap sekeliling ruangan. Rumah sakit? Ia cepat-cepat bangun, meski masih harus dibantu oleh Anson sampai dirinya bisa duduk tegak.
"Kau benar-benar membawaku ke rumah sakit?" tanya Aerin dengan mata bulat besarnya menatap Anson. Pria itu mengangguk cuek.
"Kenapa, keberatan?" balasnya. Jelas sekali Anson melihat tampang keberatan di wajah Aerin. Pria itu tersenyum miring. Gadis ini bukannya berterimakasih malah menatapnya seperti itu.
"Kau tahu banyak gosip tentang aku bukan?" ujar Aerin lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari Anson
"Kalau itu yang kau takutkan, tenang saja. Aku telah mengurus semuanya. Lagipula aku juga sangat tidak suka terlibat dan digosipkan dengan gadis yang di cap buruk seperti dirimu." kata Anson cukup pedas namun Aerin sudah terbiasa. Dari dulu lelaki itu kan memang selalu berbicara tidak sopan padanya. Akan lebih aneh lagi kalau Anson tiba-tiba berbicara denga nada lembut.
Mereka berdua terdiam cukup lama. Beberapa menit kemudian Anson menyodorkan bubur ditangannya kedepan Aerin.
"Makan." katanya datar. Pandangan Aerin turun ke bubur ditangan Anson. Ia tidak suka makanan lunak.
"Jangan bilang kau ingin aku menyuapimu juga." kata Anson lagi karena Aerin terus diam tidak terlihat berminat pada makanan itu. Perkataan itu membuat Aerin cepat-cepat mengambil bubur itu dari tangan Anson dan memakannya. Seringaian kecil terlihat di bibir lelaki itu.
Mau melawannya? Jangan harap bisa.
____________
Paginya, Anson masih menggunakan pakaian yang sama untuk bekerja hari ini. Ia terlalu malas untuk pulang dan berganti pakaian. Sebenarnya bisa saja ia menyiapkan pakaian yang lain di rumah sakit namun belum dilakukannya. Baginya lebih nyaman mandi dan berganti pakaian di rumah sendiri.
Hanya dua suster jaga yang tahu kalau dirinya semalaman berada di rumah sakit, tentu saja menjaga Aerin yang sedang demam. Ia bahkan masih tidak habis pikir sampai sekarang kenapa dengan dirinya. Harusnya ia tidak mempedulikan Aerin. Namun melihat gadis itu tidak berdaya, Anson merasa tidak tenang. Pria itu bersandar dikursi kerjanya dan memijit pelipisnya sambil menutup mata.
"Kenapa denganmu? Kau tidak pulang?"
Suaran Logan menyadarkan Anson. Ia membuka mata. Logan menyimpulkan begitu karena pakaian yang dipakai Anson masih sama dengan kemarin. Anson menatap laki-laki itu malas.
"Ada yang aku urus." sahut Anson seadanya.
Logan mengerutkan kening. Anson bukan tipe yang suka bekerja semalaman, ia tahu lelaki itu tidak pernah mau waktu malamnya dipakainya untuk bekerja. Itu sebabnya ia menerima tawaran bekerja di rumah sakit keluarganya, karena ia bisa memilih waktu kerjanya di jam yang ia tentukan sendiri. Lagipula banyak sekali dokter alih di rumah sakit ini yang bisa datang sewaktu-waktu dalam keadaan terdesak.
Kira-kira apa yang diurus Anson sampai-sampai lelaki itu tidak punya waktu untuk mandi? Logan ingin sekali tahu tapi ia tidak ingin bertanya lagi. Ia menyadari Anson sepertinya tidak ingin cerita. Dirinya juga tidak mau melewati batas sekalipun pertemanan mereka cukup dekat.
"Oh ya, hasil CT scan pasien kecelakaan kemarin sudah keluar." ujar Logan menyerahkan map ditangannya ke Anson. Pria itu membaca dengan serius.
"Tulang tengkoraknya patah akibat benturan keras di kepala, pasien itu harus segera di operasi." ujar Logan lagi. Anson mengangguk setuju. Melihat hasil yang ia baca, pasien itu memang harus segera di operasi.
"Keluarga pasien sudah setuju?" tanya Anson. Logan mengangguk dan kembali berbicara.
"Semuanya sudah siap. Kalau begitu aku akan segera mengurus persiapan operasinya." lelaki itu berbalik pergi. Anson mendesah pelan, kembali menyandarkan diri di sandaran kursi. Ia butuh istirahat yang cukup karena semalaman ini kurang tidur.
Bertindak secara impulsif dan sulit mengontrol emosi.
Pendarahan selama Operasi Buruknya sangat beresiko dapat menyebabkan Infeksi setelah operasi . Gumpalan darah yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau masalah paru-paru .
Satu bab buruk dalam hidup itu tidak berarti itu adalah akhir, tetapi itu adalah awal dari babak baru dalam hidupmu..
Namun jika situasinya seperti ini tingkat Lithium yang sangat tinggi dalam darah dapat mengganggu fungsi ginjal dan organ tubuh lainnya jika dikonsumsi berlebihan.