Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stiker di pohon pucung
Beberapa ranting pohon kering sudah dikumpulkan Anggoro. Sedangkan Putra bermalas-malasan, berteduh di bawah pohon akasia. Sinar matahari nyatanya cukup terik hari ini. Menembus dedaunan hutan menciptakan bayangan hitam dan lubang-lubang cahaya di permukaan tanah.
"Kamu tidak berniat mengumpulkan ranting? Kamu tidak berminat pada kompetisi ini?" tanya Anggoro kesal. Dia berani membentak pada Putra. Bagi Anggoro kalaupun terpaksa harus berkelahi, dia merasa tidak akan kalah dari Putra.
"Satu tim denganmu itu kerugian untukku Anggoro. Kita tidak akan mendapat nilai misalpun aku menemukan banyak tanaman yang sudah ditandai. Jadi percuma saja bekerja keras," jawab Putra sembari mendengus. Dia mendongak menatap langit. Entah apa yang sedang dipikirkan laki-laki penjilat itu, Anggoro tidak mampu menebaknya.
"Lagipula hadiahnya hanya sapu tangan. Apa istimewanya coba?" balas Anggoro. Dia melirik Putra. Dan seperti dugaannya, ekspresi Putra berubah tegang.
"Tapi aneh juga ya. Kenapa tidak ada seorang pun yang protes soal hadiah tidak berharga itu? Aldo dan Bastian yang biasanya cerewet pun memilih bungkam," lanjut Anggoro mencoba memancing agar Putra bersedia untuk bercerita.
"Mana kutahu? Tidak usah membahas hal yang tidak perlu," kilah Putra tanpa melihat lawan bicaranya.
"Kamu pun tidak memprotesnya Putra. Memangnya sapu tangan itu bernilai mahal?" desak Anggoro.
"Sudahlah, jangan berisik!" bentak Putra. Dia berdiri, menepuk-nepuk celananya yang kotor. Kemudian melangkah pergi, menjauhi Anggoro. Terlihat jelas Putra menghindari pembahasan soal sapu tangan, membuat rasa penasaran Anggoro semakin bergolak.
Suasana berubah hening. Anggoro kembali sibuk memungut ranting kering. Sedangkan Putra berdiri di bawah pohon rindang membelakangi Anggoro.
"Hei Anggoro, apakah tanaman yang perlu dicatat ditandai dengan stiker bergambar logo sekolah?" tanya Putra tiba-tiba.
"Ya begitulah," jawab Anggoro sambil tetap menumpuk ranting dan dahan kering.
"Jadi bisa dimakan ya? Kebetulan pohonnya sedang berbuah dan berjatuhan. Tapi aromanya aneh," celetuk Putra.
Anggoro termenung sesaat. Seingatnya kemarin dia tidak menandai pohon yang sedang berbuah. Anggoro memberi penanda stiker pada beberapa jenis pohon besar seperti akasia, sengon yang tentu saja tidak memiliki buah. Sedangkan untuk tanaman perdu ada beberapa yang diberi stiker seperti cempaka gondok, kenanga, melati dan sebagian besar jenis bunga.
"Tunggu sebentar. Buah seperti apa yang kamu maksud?" tanya Anggoro seraya berjalan mendekati Putra.
Terlihat Putra sedang memegang buah berbentuk lonjong seukuran kepala manusia. Anggoro mendongak menatap pohon apa yang menghasilkan buah tersebut. Seketika matanya membulat sempurna.
"Pucung?" pekik Anggoro.
"Apa? Baunya menyengat nih. Apa benar bisa dimakan?" tanya Putra penasaran.
"Memang bisa dimakan, dalam bentuk rawon," sahut Anggoro dengan ekspresi bingung.
"Pucung nama latinnya Pangium edule merupakan tumbuhan besar yang tumbuh liar atau bisa juga ditanam. Menghasilkan bahan bumbu masak yang dikenal sebagai keluak. Penggunaan keluak cukup luas dalam masakan Nusantara dan memberi warna cokelat kehitaman, seperti rawon, brongkos, gabus picung, daging bumbu keluak, serta sup konro. Warna keluak dapat digunakan sebagai pengganti pewarna sintetis Chocolate Brown FH dan Chocolate Brown HT. Sedangkan bagian biji pucung mengandung racun sianogenik yang dapat memabukkan, bahkan fatal, mematikan bagi manusia," jelas Anggoro sembari membuka buku sakunya.
"Hah? Gila!" Putra melempar buah di tangannya. Kemudian mengusapkan telapak tangan pada celana.
"Bahkan daun pucung jaman dulu digunakan sebagai potas untuk membuat ikan di sungai mabuk," lanjut Anggoro.
"Kamu mau mengerjai orang-orang? Atau jangan-jangan kamu mau mencelakai teman-teman mu Anggoro? Bagaimana mungkin kamu menempel stiker pada tanaman beracun?" sergah Putra menunjuk muka Anggoro.
"Tidak. Aku tidak menandai pohon pucung. Aku berani bersumpah," balas Anggoro bersungguh-sungguh. Putra mundur beberapa langkah.
"Ada yang mengubah stiker. Ada yang melakukan sabotase." Anggoro tampak berpikir. Dahinya mengkerut, kedua alisnya nyaris menyatu.
"Bagaimana jika orang lain tidak mengerti dan mencoba memakan buah yang beracun?" desak Putra.
"Kita harus memperingatkan semua orang," ujar Anggoro seraya mengayun langkah. Putra merogoh saku celana mengambil handphone.
"Percuma menghubungi mereka, sinyal buruk di area sini," ucap Anggoro terus berjalan menjauh. Dan benar saja, di layar handphone Putra sinyal menunjukkan huruf E. Tentu saja tidak dapat mengirimkan pesan dengan kualitas sinyal seperti itu.
"Brengsek, aku memang tidak berharap di tempat ini bakalan ada sinyal 5G, tetapi tidak pernah kuduga 3G pun nggak nyantol," gerutu Putra sembari menyusul Anggoro. Mereka berdua mengabaikan tumpukan kayu kering yang sudah susah payah dikumpulkan.
Sementara itu Aldo dan Yuzi berjalan di bagian tenggara dari tempat pendirian tenda. Mereka sampai di sebuah pagar kawat besi yang menandakan batas aman dari hutan milik keluarga Bu Anggun.
"Apa sapu tangan itu benar-benar miliknya?" tanya Yuzi memecah keheningan hutan. Aldo menghentikan langkah. Dia memukul perlahan pasak besi yang tampak berkarat.
"Aku tidak tahu. Apa hubungan Pak Dolah dengannya? Aku merasa terjebak jika seperti ini," sahut Aldo gusar.
"Kamu yang bilang semua aman. Tapi nyatanya perkemahan yang kamu susun malah membawa kita mengingat dosa masa lalu," sergah Yuzi dengan suaranya yang melengking.
Aldo berbalik badan langsung mencengkeram kerah baju Yuzi. Wajahnya memerah menahan amarah. Tubuh Yuzi ditekan hingga bersandar pada sebuah pohon sengon besar.
"Berisik! Jaga mulutmu!" ancam Aldo melotot.
"Jangan-jangan semua ini gara-gara pacarmu itu. Dia yang menjebakmu. Mengajak kita berkemah begini, padahal sendirinya tidak ikut," desak Yuzi tidak mau kalah. Aldo melepas cengkeramannya. Sejujurnya di dalam hati Aldo pun memiliki prasangka yang demikian itu pada Rina.
"Pokoknya sapu tangan itu tidak ada artinya. Tidak ada yang tahu. Semua sudah berlalu," ucap Aldo seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Lalu apa yang mau kamu lakukan sekarang Do?" tanya Yuzi setelah menghela napas. Dia kembali berjalan mendekati Aldo.
"Cukup bersikap seperti biasa. Besok pagi akan kuminta pada Pak Nafi' agar perkemahan dihentikan. Aku bisa mengarang alasan apa saja, yang penting kita segera pulang dan menjauh dari Pak Dolah itu."
Aldo terlihat yakin dengan perkataannya. Yuzi mendekap lengan Aldo dari belakang.
"Kamu tahu kan Do, aku akan selalu mendukungmu? Aku rela berbuat dosa asalkan mendapat sedikit saja perhatianmu. Tapi rasanya tak rela jika Rina mempermainkanmu, menjebakmu seperti ini," bisik Yuzi bersungguh-sungguh.
"Tidak. Rina tidak mungkin menjebakku. Aku yakin ada sesuatu yang salah," kilah Aldo.
"Apapun itu, bukankah aku lebih baik dari Rina?"
Yuzi semakin erat mendekap lengan Aldo. Sejak dulu Yuzi memang menyukai laki-laki berwajah tampan itu. Yuzi tahu Aldo memang bocah nakal. Namun bagi Yuzi semua yang Aldo lakukan tidak lebih karena sifat manja hasil dari pola pengasuhan sang ayah. Bagi Yuzi sifat nakal perlahan bisa diubah seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan wajah tampan, menarik, dan aura seorang bintang tidak dimiliki oleh semua orang.
"Tidak ada yang perlu dibandingkan. Aku menyukai Rina," tukas Aldo sembari melepaskan tangan Yuzi darinya.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..