NovelToon NovelToon
Tetangga Gilaku

Tetangga Gilaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Enemy to Lovers
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."

"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"

Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16

Raga terbangun lebih pagi dari biasanya. Matanya masih sedikit berat, namun ada sesuatu yang harus ia urus hari ini. Ia beranjak dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi, dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Setelah mengenakan pakaian yang nyaman, ia keluar rumah dengan langkah santai.

Udara pagi masih sejuk, dan sinar matahari baru saja muncul dari balik cakrawala. Saat melewati halaman depan rumahnya, pandangannya tertuju pada sosok Bri yang sedang berjongkok di dekat taman kecil di depan rumahnya.

Bri, tetangga sekaligus teman masa kecilnya, sibuk menanam bunga di tanah yang tampak baru saja dicangkul. Satu tangannya memegang bibit bunga, sementara tangan lainnya mencengkeram sekop kecil. Di sebelahnya, selang air melingkar di atas tanah, dengan ujungnya mengalirkan air yang membasahi rumput hijau di sekitar. Raga berhenti sejenak dan mengamati pemandangan itu. Ia mengernyit.

"Bri, kau yakin kau tidak sedang kerasukan?" katanya dengan nada bercanda.

Bri menoleh sekilas, wajahnya datar seperti biasa. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada rendah, tapi tetap terdengar tajam.

Raga menyeringai. "Kau ini mudah marah, selalu serius, dan sering mengomel. Tapi sekarang kau di sini, menanam bunga? Menyiram rumput? Kau yakin ini cocok dengan karaktermu?"

Bri mendesah pelan, menggeleng, dan melanjutkan pekerjaannya. Tapi sebelum ia sempat merespons, Raga mengambil selang yang tergantung di tembok pembatas rumah dan mengarahkannya ke Bri.

"Kalau begini, kau lebih cocok jadi petani yang basah kuyup!" seru Raga sambil menekan ujung selang, membuat air menyembur deras ke arah Bri.

"RAGA!" Bri berteriak kaget, tubuhnya langsung basah oleh air dingin pagi itu.

Raga tertawa puas melihat ekspresi kesal Bri. "Santai saja, Bri! Air bisa menghilangkan emosimu yang mudah meledak!"

Bri berdiri dengan wajah masam, menghela napas panjang untuk menahan amarahnya. "Kau akan menyesal, Raga,"katanya pelan namun penuh ancaman.

Raga hanya tertawa kecil sebelum melangkah pergi, meninggalkan Bri yang masih menatapnya dengan tatapan menusuk.

Siang itu, Raga memang memiliki satu tujuan. Ia ingin melihat pembangunan rumah yang menggunakan gambar desainnya. Sejak lulus dari jurusan arsitektur, ia telah beberapa kali merancang rumah untuk klien. Namun, rumah yang satu ini terasa berbeda baginya.

Rumah itu milik mantan kekasihnya semasa kuliah, Livia. Perempuan yang dulu pernah mengisi hari-harinya kini sudah menikah dan memiliki anak.

Raga tahu hubungan mereka telah lama usai, dan

masing-masing telah menjalani kehidupan sendiri. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin memastikan rumah itu benar-benar dibangun sesuai dengan yang ia rancang. Livia sendiri yang menghubungi Raga untuk membuat rancangan rumahnya itu, Raga awalnya menolak karena sudah punya proyek lain namun Livia memohon dan membuatnya tidak tega dan terpaksa menolongnya.

Beberapa bulan yang lalu, Raga bertemu Livia di sebuah kafe.

Saat Livia masuk, ia masih sama seperti dulu—anggun, percaya diri, dan tetap dengan sorot mata tajam yang selalu bisa membuat orang terdiam.

"Terima kasih sudah mau bertemu," ucap Livia sambil duduk di hadapannya.

Raga mengangkat bahu. "Aku hampir tidak datang."

Livia tersenyum kecil, seolah sudah menduga itu.

"Aku butuh arsitek terbaik untuk mendesain rumahku, dan kau yang pertama kali terlintas dalam pikiranku."

Raga tertawa sinis. "Setelah bertahun-tahun tidak ada kabar, sekarang kau datang meminta bantuanku?"

Livia tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya sebentar sebelum berkata, "Aku tidak akan memaksa jika kau tidak mau. Aku hanya ingin rumahku dirancang oleh seseorang yang benar-benar mengerti tentang konsep yang ku inginkan." Kata-kata itu membuat Raga terdiam.

Ia memang mengenal Livia lebih dari siapa pun. Ia tahu selera Livia, bagaimana ia menyukai garis-garis minimalis, ruang terbuka, dan pencahayaan alami yang lembut.

“Bagaimana pernikahanmu? Berjalan dengan baik?” tanya Raga sambil menikmati secangkir kopi susu hangat.

“Bahagia tentunya. Asal tau saja aku sudah punya anak, rasanya menyenangkan. Kau harus mencobanya juga Ga.”

Raga meliriknya sekilas. “Maksudnya punya anak? Atau menikah?”

“Dua-duanya.” Livia tertawa pelan.

“Aku tidak tertarik dengan hal itu,” ucap Raga santai.

“Mungkin belum saja,” balas Livia yang tau pasti ketika hari itu tiba dia akan sangat penasaran tentang siapa wanita yang mampu meluluhkan pria di hadapannya ini.

Saat tiba di lokasi, ia melihat para pekerja sibuk menyelesaikan tahap akhir pembangunan. Rumah berdesain minimalis modern itu hampir selesai, dengan eksterior yang sudah dicat dan kaca-kaca jendela yang terpasang rapi.

Raga memperhatikan setiap detailnya. Ia merasa bangga sekaligus sedikit emosional. Ada bagian dari dirinya yang masih merasa aneh melihat rumah itu berdiri untuk seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. Tapi ia menepis perasaan itu dan tetap fokus pada pekerjaannya.

Setelah memastikan segalanya berjalan sesuai rencana, ia berbicara sebentar dengan kontraktor sebelum akhirnya pergi.

Raga membawa mobilnya melaju menuju sebuah supermarket untuk membeli beberapa keperluan yang dibutuhkannya untuk pesta nanti malam. Dia membeli beberapa daging dan ayam yang sudah dipotong, jagung, beberapa bungkus sosis dan minuman kaleng.

Malam itu, langit cerah bertabur bintang. Angin berhembus sejuk, membawa aroma panggangan dari halaman belakang rumah Raga. Ia telah menyiapkan pesta BBQ sederhana untuk merayakan ulang tahunnya. Hanya lima orang termasuk dirinya—teman-teman dekatnya sejak kuliah—namun suasananya begitu meriah.

Sebuah meja kayu panjang diletakkan di halaman belakang, dengan berbagai macam makanan di atasnya: daging sapi yang sudah dimarinasi, ayam berbumbu kecap, sosis, serta jagung manis yang sudah diolesi mentega. Di tengah meja, terdapat satu kue ulang tahun sederhana dengan lilin-lilin kecil yang sudah menyala.

Empat temannya—Theo, Didin, Eka, dan Sita pacarnya Didin—berkumpul di sekeliling panggangan yang mulai mengeluarkan asap harum. Eka, yang bertugas memanggang, sibuk membolak-balik daging sambil sesekali mencicipi bumbu dengan sendok kecil.

"Kawan, ini dagingnya sudah matang sempurna. Ayo dicoba!"katanya sambil menyodorkan potongan kecil daging panggang ke Raga.

Raga menggigitnya dan mengangguk puas. "Mantap! Eka memang chef berbakat kalau urusan BBQ!"

Tawa mereka pecah. Sita menuangkan minuman ke gelas-gelas, sementara Didin mengabadikan momen dengan ponselnya. Musik dari speaker kecil yang diletakkan di atas meja mulai mengalun—awalanya pelan, namun semakin lama semakin keras seiring dengan suasana yang makin meriah.

Pukul 23.30, mereka mulai bermain game. Permainan tebak kata yang kocak membuat mereka tertawa hingga terpingkal-pingkal. Sita yang dikenal pintar justru sering salah menjawab, membuat Didin dan Theo terus menggodanya.

"Sita, jangan terlalu berpikir keras! Ini tebak kata, bukan ujian skripsi!"ujar Theo, membuat yang lain tertawa semakin keras. Musik, suara tawa, dan obrolan semakin menjadi. Raga benar-benar menikmati malam itu.

Namun, di rumah sebelah, seseorang sama sekali tidak menikmatinya.

Bri berusaha tidur. Namun, suara tawa dan musik yang ia duga dari rumah Raga membuatnya sulit memejamkan mata. Kepalanya mulai terasa berat, tanda-tanda flu semakin terasa. Ia benar-benar ingin beristirahat, tapi suara bising dari rumah Raga membuatnya frustasi.

Bri berbaring di tempat tidurnya, mencoba memejamkan mata. Flu yang ia rasakan sejak sore semakin menjadi. Tenggorokannya kering, hidungnya tersumbat, dan kepalanya berdenyut. Yang ia butuhkan hanyalah tidur nyenyak. Namun, suara tawa yang keras dari rumah Raga membuatnya kesal.

Awalnya, ia mencoba bersabar. Ia menutup telinganya dengan bantal, tetapi suara-suara itu tetap menembus pertahanannya. Pukul 00.00, musik semakin keras. Ia bisa mendengar suara lagu upbeat mengalun dari speaker Raga. Ditambah lagi, suara Fikri dan Dika yang tertawa keras membuatnya semakin frustasi.

"Astaga, mereka ini tidak sadar sudah tengah malam?"gumam Bri dengan kesal.

Ia bangun dari tempat tidur dan berjalan turun ke bawah lalu membuka pintu belakang memastikan bahwa suara musik tersebut memang datang dari rumah pria itu.

Pukul 00.30, Bri benar-benar tidak tahan lagi. Dia mengambil ponselnya dengan cepat. "Aku akan memberimu pelajaran, Raga." Dan membuka kontak satpam perumahan dan menelepon.

"Selamat malam Pak. Saya Briana penghuni rumah nomor 10 ingin melaporkan adanya kebisingan di rumah nomor 9. Mereka mengadakan pesta BBQ yang terlalu bising hingga larut malam, dan saya—serta mungkin beberapa tetangga lain—tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Mohon segera ditindaklanjuti. Terima kasih." Suaranya terdengar sangat tenang dan formal, tapi ada ketegasan dalam intonasinya.

Tak lama kemudian, Pak Ujang datang ke rumah Raga dan mengetuk pintu Raga dengan kencang. Raga keluar dengan senyum bahagianya sekaligus penasaran dengan orang yang mengetuk pintunya malam-malam.

"Mas Raga, mohon maaf mengganggu. Saya mendapat laporan dari penghuni lain bahwa ada kebisingan dari rumah ini. Bisakah volumenya dikecilkan atau mungkin acaranya segera diakhiri?"

Raga melirik ke rumah di sampingnya dan bisa menebak bahwa mungkin wanita itu adalah penghuni rumah yang dimaksud oleh Pak Ujang. Dia menoleh ke arah satpam dan menghela napas. Ia tahu hanya satu orang yang bisa melakukan ini.

"Brianna,"gumamnya pelan sambil tersenyum kecil.

"Maaf ya Pak. Sebentar lagi teman-teman saya akan pulang. Oh iya, tunggu sebentar di sini ya Pak," ucap Raga sembari masuk kembali ke dalam dan tidak lama keluar sambil membawa sepiring penuh makanan yang tadi mereka bakar.

"Ini pak, kebetulan tadi kita banyak beli makanan. Buat Pak Ujang biar semangat keliling."

Pak Ujang sumringah melihat makanan itu dan menerimanya dengan senang hati, "Wah! Kata orang rejeki tidak boleh ditolak. Terima kasih Mas."

Akhirnya, pesta BBQ pun diakhiri, dan teman-temannya mulai berkemas untuk pulang. Saat Raga masuk ke rumahnya, ia sempat melirik ke jendela kamar Bri yang lampunya masih menyala.

Ia tersenyum kecil dan menggeleng tanda ia tidak menyangka wanita itu akan melaporkannya. Dengan itu, malam yang bising akhirnya berakhir dan Bri bisa tertidur pulas tanpa harus tersiksa dengan suara dari rumah Raga lagi.

1
Siska Amelia
okayy
lilacz
dari segi alur dan penulisan membuat aku tertarik
lilacz
jgnn lama-lama update part selanjutnya ya thor
Karangkuna: terima kasih untuk dukungannya :)
total 1 replies
ulfa
wah genre favorit aku, dan ceritanya tentang enemy to lovers. ditunggu next part ya kak. semangat /Smile/
Karangkuna: happy reading, terima kasih sudah mampir :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!