Setelah kematian yang tragis, dia membuka matanya dalam tubuh orang lain, seorang wanita yang namanya dibenci, wajahnya ditakuti, dan nasibnya dituliskan sebagai akhir yang mengerikan. Dia kini adalah antagonis utama dalam kisah yang dia kenal, wanita yang dihancurkan oleh sang protagonis.
Namun, berbeda dari kisah yang seharusnya terjadi, dia menolak menjadi sekadar boneka takdir. Dengan ingatan dari kehidupan lamanya, kecerdasan yang diasah oleh pengalaman, dan keberanian yang lebih tajam dari pedang, dia akan menulis ulang ceritanya sendiri.
Jika dunia menginginkannya sebagai musuh, maka dia akan menjadi musuh yang tidak bisa dihancurkan. Jika mereka ingin melihatnya jatuh, maka dia akan naik lebih tinggi dari yang pernah mereka bayangkan.
Dendam, kekuatan, dan misteri mulai terjalin dalam takdir barunya. Tapi saat kebenaran mulai terungkap, dia menyadari sesuatu yang lebih besar, apakah dia benar-benar musuh, atau justru korban dari permainan yang lebih kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 – Jejak yang Tertinggal
Langit masih gelap ketika Seraphina dan Lucian akhirnya berhenti di sebuah bangunan tua di ujung distrik kumuh kota. Napas mereka memburu setelah perjalanan panjang melewati lorong-lorong sempit dan atap-atap bangunan.
"Ini tempat persembunyian yang kau maksud?" Seraphina bertanya dengan nada skeptis, menatap bangunan yang tampak seperti gudang terbengkalai.
Lucian mengangguk sambil mendorong pintu kayu besar yang berderit. Begitu mereka masuk, Seraphina langsung mencium aroma tanah lembab dan kayu lapuk. Namun, bagian dalamnya jauh lebih baik dari yang ia kira. Ada beberapa kursi, meja kayu, dan peralatan bertarung di sudut ruangan.
"Ini adalah tempat lama yang dulu digunakan oleh para Assassin untuk berlindung," jelas Lucian sambil menyalakan lentera di tengah ruangan. "Sekarang sudah lama tidak dipakai, jadi seharusnya aman untuk sementara waktu."
Seraphina berjalan mengitari ruangan itu, memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah merasa cukup aman, dia akhirnya duduk di kursi kayu dan menghela napas panjang.
"Siapa pria bertudung itu?" Seraphina bertanya, mengingat kembali sosok misterius yang mereka temui di pelabuhan.
Lucian mengangkat bahu. "Aku tidak tahu pasti. Tapi jika dia bisa menahan api sihir yang kau lepaskan dengan mudah, maka dia bukan orang biasa."
Seraphina mengangguk, pikirannya sibuk menganalisis situasi. Orang itu jelas bukan musuh yang bisa diremehkan.
"Ada satu hal yang menggangguku," lanjut Lucian, menatap Seraphina dengan serius. "Bagaimana dia bisa mengetahui kita ada di sana? Misi kita seharusnya bersifat rahasia, bukan?"
Seraphina terdiam. Itu adalah pertanyaan yang sudah ada di benaknya sejak tadi. Seseorang pasti telah membocorkan informasi.
"Mungkin ada mata-mata di dalam kuil," Seraphina akhirnya berkata pelan. "Atau seseorang mengawasi kita sejak awal."
Lucian mengepalkan tangannya. Jika ada pengkhianat di antara mereka, maka mereka harus menemukannya secepat mungkin.
Setelah memastikan tempat persembunyian aman, mereka memutuskan untuk beristirahat. Namun, sebelum tidur, Seraphina mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari sakunya. Itu adalah catatan yang berhasil ia ambil dari pelabuhan sebelum api melahap semuanya.
Lucian memperhatikan saat Seraphina membuka gulungan itu. Tulisan di atasnya menggunakan bahasa kuno yang nyaris sulit dibaca.
"Apa itu?" tanya Lucian.
"Dokumen yang kutemukan sebelum kita kabur," jawab Seraphina sambil mempelajarinya. "Sepertinya ini adalah catatan transaksi... dan ada nama-nama yang disebut di dalamnya."
Lucian bergerak mendekat dan menatap catatan itu dengan seksama. Salah satu nama yang tertulis di sana membuat matanya menyipit.
"Orcus..." bisiknya.
Seraphina mengangkat alis. "Kau mengenalnya?"
Lucian mengangguk, wajahnya mengeras. "Orcus adalah salah satu pemimpin bayangan yang mengendalikan perdagangan gelap di kota ini. Dia jarang terlihat, tetapi orang-orang yang bekerja di bawahnya selalu bergerak dalam bayangan. Jika namanya ada di sini, itu berarti dia terlibat dalam sesuatu yang besar."
Seraphina mengetuk dagunya, berpikir. "Kalau begitu, kita harus menyelidikinya. Jika kita bisa mengetahui rencana mereka, kita bisa mengungkap pengkhianatan yang terjadi di dalam kuil."
Lucian tersenyum miring. "Kau benar-benar tidak bisa diam, ya?"
Seraphina hanya tersenyum kecil sebelum menggulung kembali dokumen itu. "Kita tidak punya banyak waktu. Sebelum mereka menyadari kita memiliki dokumen ini, kita harus menemukan cara untuk menggunakannya."
Lucian berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Baiklah. Kita mulai dengan mengumpulkan informasi. Aku tahu beberapa orang yang bisa kita tanyai tentang Orcus."
Seraphina mengangguk. Misi mereka baru saja berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar, dan mereka harus bergerak cepat sebelum semuanya terlambat.
Di tempat lain, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh nyala lilin, seorang pria bertudung duduk di kursinya. Dia menatap api biru yang ia ambil dari pelabuhan sebelumnya, membiarkannya berputar di telapak tangannya.
Seorang anak buahnya berlutut di hadapannya. "Tuan, mereka berhasil melarikan diri."
Pria itu hanya tersenyum tipis. "Itu tidak masalah. Aku sudah mendapatkan apa yang kubutuhkan."
Dia menutup telapak tangannya, dan api itu menghilang begitu saja.
"Seraphina dan Lucian..." gumamnya. "Kita akan segera bertemu lagi."
Di matanya, ada kilatan bahaya yang tidak bisa diabaikan.
Seraphina duduk bersila di atas lantai kayu yang dingin, gulungan catatan itu masih ada di tangannya. Di sebelahnya, Lucian berdiri dengan tangan disilangkan, matanya tetap terfokus pada dokumen tersebut.
"Jika Orcus benar-benar terlibat, ini akan jauh lebih rumit daripada yang kita duga," kata Lucian akhirnya.
Seraphina mengangguk. "Orcus bukan sembarang kriminal. Jika dia memiliki kendali atas perdagangan gelap, itu berarti dia memiliki hubungan dengan banyak pihak, termasuk orang-orang di kuil kita."
Lucian menghela napas dan bersandar pada meja kayu yang usang. "Kita tidak bisa bertindak gegabah. Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya."
Seraphina diam sejenak sebelum berkata, "Aku punya rencana. Kita harus mencari bukti lebih banyak sebelum bertindak."
Lucian menatapnya penuh selidik. "Apa yang ada di pikiranmu?"
"Aku akan menyusup ke salah satu tempat perdagangan gelap mereka," kata Seraphina dengan tenang. "Orcus pasti memiliki markas di kota ini. Jika kita bisa menemukan jejaknya, kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya dia rencanakan."
Lucian menggeleng. "Itu terlalu berisiko. Kita tidak tahu seberapa kuat pengaruhnya di sini. Jika kau tertangkap, kita tidak akan punya kesempatan kedua."
Seraphina menatapnya dengan mantap. "Aku bukan orang yang mudah tertangkap."
Lucian mendesah, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. Seraphina adalah tipe orang yang, jika sudah mengambil keputusan, akan sulit untuk mengubahnya.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi aku akan ikut denganmu. Tidak ada perdebatan tentang itu."
Seraphina mengangkat alis. "Dan aku pikir kau lebih suka bekerja sendiri."
Lucian tersenyum kecil. "Ya, tapi aku juga bukan orang bodoh. Kalau ini jebakan, setidaknya aku bisa membantumu keluar."
Seraphina akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, kita harus mulai bergerak malam ini. Kita butuh penyamaran."
Lucian menyeringai. "Aku tahu tempat yang bisa menyediakan semua yang kita perlukan."
Malam telah larut ketika mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan kumuh yang tersembunyi di belakang gang sempit. Bangunan itu tampak seperti bar biasa dari luar, tapi Seraphina bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
"Ini tempatnya?" bisik Seraphina.
Lucian mengangguk. "Ini bukan sekadar tempat minum. Ini juga tempat berkumpulnya para informan dan penyelundup. Jika ada yang tahu tentang keberadaan Orcus, mereka ada di sini."
Mereka melangkah masuk, suasana gelap dan dipenuhi asap. Musik pelan mengalun di latar belakang sementara orang-orang berbicara dalam bisikan. Seraphina bisa merasakan beberapa pasang mata memperhatikan mereka, tapi dia tetap tenang.
Mereka berjalan ke bar dan Lucian memberi tanda pada seorang pria bertubuh besar di sudut ruangan. Pria itu bangkit dan menghampiri mereka.
"Lucian, sudah lama tidak melihatmu," katanya dengan suara berat.
"Aku butuh informasi," jawab Lucian langsung.
Pria itu menyeringai. "Informasi selalu punya harga, kau tahu itu."
Lucian melemparkan sebuah kantong kecil berisi koin ke meja. Pria itu menimbang kantong itu di tangannya sebelum akhirnya mengangguk.
"Apa yang kau cari?" tanyanya.
Seraphina maju selangkah. "Kami mencari informasi tentang Orcus. Dimana dia menjalankan operasinya?"
Pria itu menyipitkan mata. "Orcus? Itu nama yang berbahaya untuk disebut di sini."
Lucian bersandar pada meja. "Kami tidak punya waktu untuk permainan."
Pria itu menghela napas, lalu akhirnya berkata, "Orcus tidak pernah muncul sendiri, tapi dia memiliki orang-orang kepercayaannya. Salah satunya adalah seorang wanita bernama Lysara. Dia menjalankan salah satu tempat lelang gelap di kota ini."
Seraphina bertukar pandang dengan Lucian. "Dimana tempatnya?"
Pria itu tersenyum kecil. "Di distrik timur, bangunan besar dengan simbol ular perak di pintunya. Jika kalian ingin masuk, kalian harus membawa undangan."
Lucian mendesah. "Dan aku berani bertaruh kau tahu cara mendapatkan undangan itu."
Pria itu tertawa pelan. "Kalian memang pintar. Ada seseorang yang menjual undangan di belakang gang ini. Tapi harganya tidak murah."
Seraphina menatap Lucian. "Kita tidak punya pilihan lain."
Lucian mengangguk. "Baiklah. Ayo kita temui orang itu."
Di belakang gang sempit, mereka bertemu dengan seorang pria tua yang mengenakan jubah hitam. Dia menatap mereka dengan curiga sebelum akhirnya bertanya, "Kalian ingin membeli undangan?"
Lucian mengangguk. "Berapa harganya?"
Pria itu menyeringai, memperlihatkan giginya yang kuning. "Lima ratus koin emas untuk satu undangan."
Seraphina terkejut. Itu harga yang sangat mahal, bahkan untuk transaksi gelap.
"Itu terlalu mahal," kata Lucian.
Pria itu mengangkat bahu. "Kalau begitu, kalian tidak bisa masuk."
Seraphina berpikir cepat. "Bagaimana kalau kami memberimu sesuatu yang lebih berharga?"
Pria itu menatapnya penuh minat. "Seperti apa?"
Seraphina mengeluarkan belati kecil yang berlapis perak dari pinggangnya. Itu adalah senjata yang dibuat oleh pandai besi terkenal dan nilainya lebih dari cukup untuk membeli dua undangan.
Pria itu mengambilnya dan meneliti dengan seksama sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalian mendapatkan dua undangan."
Dia menyerahkan dua gulungan kecil dengan segel ular perak.
"Hati-hati di dalam," katanya sebelum menghilang ke dalam kegelapan.
Seraphina dan Lucian bertukar pandang.
"Kita masuk besok malam," kata Seraphina.
Lucian mengangguk. "Dan kita harus siap untuk apa pun yang akan terjadi."
Mereka tidak menyadari bahwa di kegelapan, seseorang telah mengawasi mereka sejak awal.
Di tempat lain, seorang pria bertudung tersenyum tipis.
"Seraphina... permainan baru saja dimulai."
Al-fatihah buat neng Alika beliau orang baik dan Allah menyayangi orang baik, beliau meninggal di hari Jumat bertepatan setelah malam nisfu syabaan setelah tutup buku amalan.. semoga beliau di terima iman Islamnya di ampuni segala dosanya dan di tempatkan di tempat terindah aamiin ya rabbal alamiin 🤲