BADANMU ITU KAYAK GAPURA DESA!
Itulah kalimat yang sering di dengar Berryl, seorang wanita karir bertubuh gemuk yang selalu berpenampilan sederhana dan nerd.
Ia selalu tak beruntung dalam kehidupan sosialnya. Wanita itu acap kali mengalami pembullyan dan pengkhianatan.
Dihina, direndahkan dalam lingkungan kerja, bahkan difitnah oleh orang yang ia percaya. Parahnya, keluarga sang suami ikut memperlakukan nya dengan semena-mena.
Pada akhirnya, Berryl berusaha bangkit, ia bertekad akan membalas semua perlakuan buruk yang ia dapat.
Akankah Berryl berhasil membalas mereka semua?
Hallo Readers, saya ingin menginfokan bahwa novel PEMBALASAN ISTRI GENDUT merupakan novel yang pernah saya rilis di akun saya yang lain dengan nama pena Zindvl. Novel ini sudah saya hapus di akun lama dan saya rilis kembali di akun baru saya dengan nama pena Dae_Hwa yang memiliki makna mutiara yang berkilau. Saya harap di akun baru ini, saya dapat berkilau bak mutiara yang indah ✨
Mohon dukungannya 👊🏼
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PIG 30
Sekali lagi aku melihat tubuh Calix yang tergeletak, tak jauh dari sisi ranjang. Berapa kali pun aku melihatnya, dia tetap tak bergerak.
Dia benar-benar pingsan? Bagaimana ini?
"Dia pasti sudah berada di pintu neraka," ejek Jiwo. "Sekarang, ayo kita ke rumahku, Dik. Rumah impian kita. Sekarang, kamu pasti ketakutan, tapi, nanti kamu pasti akan mengerti dan akan semakin mencintai ku. hi ... hi ...!" Jiwo semakin menyeringai, membuatku semakin ketakutan.
Tubuh besar itu kini sudah berdiri di tepi ranjang dan mencengkram erat lenganku dengan seringai nya yang menyeramkan. Ku kepal erat ujung jemari ku yang sudah dingin, aku benar-benar takut.
Pria bertubuh besar yang memiliki kelainan di matanya itu mulai mendekatkan wajahnya padaku, bibirnya mengerucut. Dia ingin mencium ku?
Aku bergidik ngeri, ku pejamkan mata, tak sanggup rasanya melihat pria menyeramkan itu. Aku menjerit sekuat hati ku. "Bangun lah, Calix ...!"
Bzzt bzzzt ...!
Aku lekas membuka mataku, suara nyaring dari stunt gun yang menempel pada tubuh Jiwo memecahkan keheningan malam. Calix berdiri tegap di belakangnya.
KENA KAU ...!
~Dua jam yang lalu~
Saat Calix dan Alby mencari semua kamera tersembunyi di apartemen ku, sebuah notifikasi masuk ke ponsel Calix. Notifikasi dari fitur Human Detection yang melengkapi CCTV di apartemen Calix, menunjukan adanya tamu tak di undang yang masuk ke dalam sana. Sesuai dugaan, Jiwo lah orang nya. Entah bagaimana dia bisa masuk ke dalam apartemen kami.
Aku tak melihat detail isi video CCTV itu. Hanya saja, setelah Calix selesai menonton habis video rekaman Bang Jiwo, pria itu lekas memerintah Alby untuk membawa air mineral dari apartemen ku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jiwo mengerang kesakitan. "Ugh! Sialan kau ...!
Grep! Di tengah raungan nya, Jiwo menggerakkan jemarinya, mencengkram kasar tangan Calix yang tengah memegang erat benda dengan aliran listrik yang menyala.
A-apa? Stunt gun nya tidak mempan?
Bugh! Jiwo menghantam kepala Calix dengan telapak tangannya yang lebar, menyebabkan tubuh Calix terhuyung. Mata dengan kilat amarah itu seolah ingin membunuh Calix.
"Dasar pengacau, Sialan ...!" murka Jiwo.
Aku menepuk-nepuk sisi ranjang, memberi kode pada Renata dan Alby yang bersembunyi di bawah sana untuk lekas memberi kode pada puluhan pengawal yang berjaga di luar gedung tinggi ini. Harusnya dari tadi aku memberi kode pada Alby, ah bodohnya aku ...! Tapi, pasti sejak tadi Alby sudah memberi kode pada pengawal kan?
Calix dan Jiwo tengah bergelut di atas kerasnya lantai. Meninju, menyikut, bahkan mereka saling menerjang. Jiwo menyerang pelatih fitnes ku itu secara brutal, tampak sekali Calix mulai lelah.
Slashh ...!
Calix yang sejak tadi gesit melawan, tiba-tiba saja terdiam, langkah kakinya mundur kala melihat benda tajam dalam genggaman Jiwo. Darah mulai merembes, mengucur deras hingga menggenang di lantai.
"Astagfirullah." Refleks, aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Seketika dadaku berdetak kencang, tanganku gemetar.
Aku lekas bangkit dari tempat tidur kala Jiwo semakin mendekati Calix, pria itu benar-benar tidak waras. Tak ingin berpikir panjang, aku lekas berlari.
Brugh! Aku sekuat hati menubruk tubuh pria gila itu hingga ia tersungkur. Aku pun ikut tersungkur di lantai.
"Kak Berryl ...!" jerit Alby yang keluar dari persembunyiannya.
Alby lekas berlari ke arahku, dan menerjang wajah Jiwo yang tersungkur tepat di sampingku. Jiwo menjerit, suaranya begitu melengking. Darah segar keluar dari hidungnya, aku pun ngilu melihatnya.
Aku masih dalam posisi terduduk, dengan sigap Alby dan Calix menyeret kedua lenganku. Di seret seperti ini, aku benar-benar terlihat seperti atlet tinju yang kalah bertarung, padahal Calix lah yang porak poranda bak di hantam badai. Badai dari pria sinting!
Kami bertiga kembali tegang tatkala Jiwo kembali bangkit, seolah tak menyerah. Namun, syukurlah, pertarungan ini segera usai ketika puluhan pengawalku menerobos masuk dan membekuk pria sinting bin miring itu.
Ku lihat Renata membeku di sudut ruangan, tak berani mendekat. Wajar saja, gadis cantik itu memang phobia dengan genangan darah. Entah apa penyebabnya.
Bau khas darah yang menyerupai aroma besi, menyeruak, menusuk indra penciuman ku. Ku lirik darah kental yang sesekali masih keluar dari luka di lengan Calix.
"Kamu okay, Ryl?" tanya Calix khawatir, padahal dia lah yang mengkhawatirkan kini.
Aku mengangguk lemah. "Ayo kita ke klinik dulu, sebelum luka mu infeksi."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jiwo tak hentinya tertawa saat diinterogasi oleh pihak penyidik, entah apa yang lucu. Tingkahnya seolah meremehkan semua petugas yang ada di ruangan ini.
"Tolong kerja samanya!" ucap penyidik yang emosinya mulai terpancing.
"Kenapa anda menguntit saudari Berryl?" sudah tiga kali penyidik memberi pertanyaan yang sama.
"Kenapa ya?" Jiwo menerawang. "Awalnya, aku penasaran, aromanya begitu enak."
Enak? Dasar pria cabul! Gigi ku sampai ngilu saking ber-gemeretak, sejak tadi aku menahan emosi. Calix pun juga sampai mengepal erat kedua tangannya.
"Aku punya firasat saat wanita itu pindah ke apartemen. Sebuah firasat bahwa kami di takdir kan untuk bersama, hi ... hi...!"
Sesekali Jiwo menoleh kebelakang, menyeringai, sambil menatapku yang duduk di kursi tunggu. Pria itu melambai-lambai meskipun tangannya terikat borgol.
"Awalnya aku benar-benar hanya penasaran, jadi aku sengaja masuk kesana. Aku ingin tau seperti apa kamarnya, jadi aku masuk dan berkeliling sebentar."
"Ee dasar urang gilo, den tapuak muko ang beko ...!" geram Calix yang sudah menghampiri pria gila itu dan menarik kerahnya.
(Eh dasar orang gila, ku tepuk muka mu nanti ...!)
"Tolong tenang, saudara Calix tolong kembali ke belakang," pinta penyidik dengan tegas.
Calix menghembuskan kasar napasnya, pria itu kembali duduk di sebelahku.
"Ee, urang minang ang yoo?" Renata yang sejak tadi terperanjat, bertanya karena penasaran.
(Eh, orang minang lo ya?)
"Tolong hentikan perpadangan ini, aku tak mengerti bahasa kalian." pintaku sembari memejamkan mata, kepalaku sudah pusing. Aku tak ingin mati penasaran karena tak bisa menerjemahkan pembicaraan mereka.
"Tolong harap tenang," pinta penyidik sekali lagi.
Kami bertiga pun akhirnya mulai tenang dan mengikuti jalan penyidikan.
"Bagaimana caranya anda bisa masuk ke apartemen mereka?" tanya penyidik.
"Gedung apartemen itu milik orang tuaku. Aku memegang kunci utama digital yang bisa membuka semua pintu di gedung itu. Para penghuni hanya tau caranya mengganti password, tapi, mereka tidak pernah mengetahui keberadaan kunci utama. Mereka itu begitu bodoh, sampai tidak tau bahwa kunci utama itu tidak akan berubah kecuali seseorang mendaftarkan dengan yang baru. Kamar Berryl bagai kastil untukku, aku begitu nyaman kala merebahkan tubuhku di ranjang yang biasa ia gunakan untuk tidur. Aku merasa sedang tidur bersama wanita yang menjadi takdirku itu." Jiwo kembali menyeringai.
"Jadi, sejak kapan anda memasang kamera tersembunyi?" tanya penyidik.
"Sejak dua minggu yang lalu. Aku memang memasangnya, tapi, bukan berarti bahwa aku ini orang yang menyimpang ya. Aku memasang kamera itu karena aku ingin tau segala tentang nya. Ku pikir, jika aku mengetahui informasi tentangnya, aku bisa mendekatinya dengan lebih baik."
"Termasuk informasi tentang kamar mandinya?" sinis penyidik.
"Aku hanya ingin tau jikalau dia mengganti shampoo nya, aku akan segera mengganti shampoo ku juga. Dik Berryl, tubuhmu benar-benar indah." Jiwo menatapku dengan senyuman mesum.
"Diam kau, Sialan!" maki Calix, wajahnya kini begitu merah.
Penyidik memberi kode agar Calix tenang. Namun, pria tampan itu semakin gusar.
"Apa anda merasa bersalah?" penyidik kembali bertanya pada Jiwo.
"Aku sama sekali tidak merasa bersalah, karena kami memang ditakdirkan untuk menikah dan hidup bahagia, hi ... hi ..." jawab Jiwo.
Adikku yang sejak tadi menyimak sambil memejam mata, akhirnya bangkit, sorot matanya begitu tajam. Alby mengambil sebuah kursi, mengangkat setinggi-tingginya.
Brak!
Jiwo, si pria gila itu, tergeletak pingsan ketika sebuah kursi menghantam kepalanya. Kursi pun berderai, berserakan di lantai. Darah, kembali menggenang.
Semua orang di dalam ruangan itu tersentak, terbelalak. Termasuk Alby yang masih mengangkat, menggenggam erat kursi di tangannya.
Semua mata tertuju pada pria paruh baya dengan ketampanannya yang berkharisma. Pria dengan mata hitam pekat, menatap lekat tubuh pria mesum yang baru saja di hantamnya dengan sebuah kursi, nyaris sekarat.
"Papa ...!" seru kompak aku dan Alby.
"Sudah mati dia?" sinis Papa ku, Bastian.
*
*
*
Penasaran sama kelanjutannya? klik minta update✅
Suka sama ceritanya? klik like ✅
Ingin support Author? bisa klik gift iklan, mawar/vote✅
🧡
🧡
🧡