Elowen, seorang wanita muda dari keluarga miskin, bekerja sebagai asisten pribadi untuk seorang model internasional terkenal. Hidupnya yang sederhana berubah drastis saat ia menarik perhatian dua pria misterius, Lucian dan Loreon. Keduanya adalah alpha dari dua kawanan serigala yang berkuasa, dan mereka langsung terobsesi dengan Elowen setelah pertama kali melihatnya. Namun, Elowen tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan menolak perhatian mereka, merasa cemas dengan intensitasnya. Lucian dan Loreon tidak menerima penolakan begitu saja. Persaingan sengit antara keduanya dimulai, masing-masing bertekad untuk memenangkan hati Elowen. Saat Elowen mencoba menjaga jarak, ia menemukan dirinya terseret ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan, dunia yang hanya dikenal oleh mereka yang terlahir dengan takdir tertentu. Di tengah kebingungannya, Elowen bertemu dengan seorang nenek tua yang memperingatkannya, “Kehidupanmu baru saja dimulai, nak. Pergilah dari sini secepatnya, nyawamu dalam bahaya.” Perkataan itu menggema di benaknya saat ia dibawa oleh kedua pria tersebut ke dunia mereka, sebuah alam yang penuh misteri, di mana rahasia tentang jati dirinya perlahan mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Two Alpha's And Mate
Rumah Elowen terlihat sederhana, bahkan sedikit kumuh, dengan dinding yang sudah memudar warnanya dan lantai kayu yang usang. Pencahayaan di dalam rumah pun terasa remang-remang, hanya ada beberapa lampu yang menyala di sudut-sudut ruang. Tidak ada furnitur mewah di sana, hanya kursi dan meja kayu tua yang terlihat sudah cukup berumur, dan perabotan rumah tangga yang cukup sederhana namun fungsional.
Di ruang tamu, sebuah kursi roda tua ditempatkan di samping meja, tempat nenek Margareth duduk, menunggu kedatangan cucunya. Tubuh tua nenek itu tampak lelah, dengan wajah yang dipenuhi kerutan dan rambut putih yang sudah menipis. Tangannya menopang dagu, sementara matanya terpejam, tampak tertidur dengan tenang meskipun tetap dalam posisi menunggu.
Di sekelilingnya, ada beberapa perabotan yang sudah dipakai bertahun-tahun, seperti rak buku yang berisikan koleksi foto lama, dan sebuah jam dinding yang tik-taknya terdengar jelas di ruang yang sunyi. Sebuah jendela terbuka sedikit, memberikan angin sejuk dari luar, namun kegelapan malam sudah mulai menyelimuti rumah itu.
Nenek Margareth memiringkan kepala, sedikit terjaga dari tiduran singkatnya, mendengar langkah kaki Elowen yang semakin mendekat. Seperti biasa, nenek itu akan menunggu di sini sampai cucunya pulang, merasa lebih tenang hanya dengan kehadiran Elowen.
Elowen terkejut begitu membuka pintu dan melihat neneknya masih duduk di kursi roda, menunggu kedatangannya. Wajah Margareth tampak lelah, namun tetap tersenyum saat Elowen masuk ke dalam rumah.
"Nenek... kenapa tidak tidur saja? Seharusnya Nenek tidak perlu menunggu sampai seperti ini," Elowen berkata dengan nada khawatir, melangkah cepat menuju neneknya.
Margareth membuka matanya perlahan, tersenyum lembut meski jelas terlihat raut kelelahan di wajahnya. "Tidak apa-apa, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara serak, seolah ingin menenangkan Elowen. "Aku hanya ingin menunggu kamu. Seperti dulu..."
Elowen merasa hatinya tersentuh mendengar kata-kata itu. Ia mengusap pelan pipi neneknya, berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja, meskipun kelelahan begitu jelas di wajahnya.
"Aku seharusnya tidak membuat Nenek menunggu seperti ini," Elowen berkata, sedikit menyesal. "Tapi, terima kasih sudah menungguku. Aku akan segera tidur, Nenek. Kau juga harus beristirahat."
Margareth menggenggam tangan Elowen dengan lembut, seakan ingin memberi kekuatan. "Aku tidak apa-apa, Elowen. Yang penting, kau pulang dengan selamat."
Elowen tersenyum kecil dan duduk di samping neneknya, mencoba untuk merasa tenang meskipun perasaan cemas yang menggelayuti hatinya belum juga menghilang.
Elowen dengan hati-hati mengangkat neneknya dari kursi roda, membantunya berjalan perlahan menuju kamar. Ketika mereka sampai di kasur, Elowen membantu neneknya untuk berbaring dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal.
"Nenek, istirahat saja ya, nanti kalau ada apa-apa, aku ada di sini," kata Elowen lembut sambil memastikan neneknya nyaman di tempat tidurnya.
Namun, Margareth tampak sedikit gelisah, mencoba untuk duduk kembali meskipun tubuhnya tampak lelah. "Ada lauk makanan di meja dapur, kamu bisa makan. Nenek sudah memaksakan diri untuk memasaknya tadi," ujar Margareth, meski suaranya terdengar lemah.
Elowen langsung menatap neneknya dengan kekhawatiran. "Nenek, seharusnya tidak perlu memaksakan diri. Kalau memang lapar, nanti aku telepon Rlowen saja atau minta tolong mbok tetangga yang memasakkan, nanti aku akan beri uangnya," jawab Elowen, berusaha menenangkan.
Margareth menggelengkan kepala dengan lembut. "Tidak usah berlebihan, sayang. Nenek masih bisa memasak sedikit, tidak apa-apa. Kamu makan saja, aku baik-baik saja," katanya dengan senyum yang terpaksa, berusaha untuk tidak membebani Elowen lebih jauh.
Elowen menatap neneknya, merasa sedikit cemas namun tak ingin membuat neneknya merasa tertekan. "Baiklah, Nenek." Elowen berusaha tersenyum dan mencium dahi neneknya dengan penuh kasih sayang.
Elowen berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, meskipun hatinya masih terasa berat memikirkan kondisi neneknya. Di atas meja dapur, ada piring dengan lauk sederhana, beberapa potong ikan goreng dan sayur tumis yang tampaknya dimasak dengan penuh usaha meskipun Margareth sudah tampak lemah. Elowen menatapnya sejenak, lalu memutuskan untuk makan sedikit sebagai tanda penghargaan atas usaha neneknya.
Setelah mengambil piring dan makanannya, Elowen kembali ke kamar nenek, duduk di kursi dekat tempat tidur. Ia menatap neneknya yang sudah tertidur dengan tenang, wajah tua Margareth terlihat damai meskipun tubuhnya tampak sangat rapuh.
"Nenek, kamu sudah terlalu banyak berkorban," gumam Elowen pelan, seraya menatap neneknya dengan rasa sayang yang mendalam.
Setelah beberapa lama, Elowen memutuskan untuk makan sejenak sambil duduk di samping neneknya, memastikan neneknya tidur dengan nyaman. Sesekali, Elowen mencuri pandang ke luar jendela.
➰➰➰➰
Pagi itu, Elowen berdiri di depan pintu apartemen Valerie, mengetuk pelan sambil melirik jam tangannya. Hari itu adalah akhir pekan, dan mereka sudah sepakat untuk pergi ke mal bersama mencari gaun untuk pesta reuni alumni kuliah mereka. Dengan jadwal yang cukup padat sepanjang minggu, Elowen merasa ini adalah kesempatan bagus untuk bersantai sedikit, meski ia tidak terlalu bersemangat menghadiri acara tersebut.
"Valerie, aku sudah sampai!" panggil Elowen ketika pintu apartemen akhirnya terbuka. Ia masuk sambil melepas sepatunya. "Aku masuk, ya."
Suasana apartemen Valerie terasa sunyi. Elowen berjalan masuk lebih dalam ke ruang tamu dan tiba-tiba berhenti di tengah langkahnya. Matanya membelalak melihat sosok Loreon sedang duduk santai di sofa ruang tengah, tangannya memegang remote TV, meski layar TV itu hanya menampilkan saluran berita. Tatapan dinginnya langsung membuat Elowen kaget setengah mati.
"Astaga! Kamu?!" Elowen berseru, suaranya meninggi. "Kamu ngapain di sini?"
Loreon hanya mengangkat sebelah alisnya tanpa berkata apa-apa, seolah tak peduli. Ia kembali mengalihkan pandangan ke arah TV, mengabaikan pertanyaan Elowen. Sikapnya yang dingin membuat Elowen makin kesal.
Tak lama, Valerie muncul dari arah kamarnya sambil tersenyum lebar. "Eh, Elowen! Kamu sudah datang? Sini-sini, duduk dulu."
Elowen menunjuk Loreon dengan ekspresi heran. "Tunggu, Valerie. Dia ngapain di sini? Bukannya dia cuma... teman? Kenapa dia ada di apartemenmu pagi-pagi begini?"
Valerie terkekeh kecil, mengusap lehernya dengan canggung. "Ah, tenang dulu, El. Dengerin dulu penjelasanku, ya."
"Penjelasan apa?" tanya Elowen, matanya menyipit curiga.
Valerie menghela napas dan duduk di sofa. "Dia sebenarnya bukan cuma teman. Dia bodyguard-ku."
"Bodyguard?" Elowen melongo. "Kamu punya bodyguard?!"
Valerie mengangguk santai. "Iya, El. Kakakku sama Papi terlalu paranoid sama keselamatanku, jadi mereka menyuruhku punya bodyguard. Dan kebetulan, aku sudah akrab sama Loreon. Jadi, ya, dia yang jadi bodyguard-ku."
Elowen memutar matanya tak percaya. "Bodyguard? Serius? Kamu gak kelihatan butuh bodyguard, Val. Terus, dia kan... dia... ya kamu tahu sendiri, aneh!"
Loreon akhirnya membuka mulut, meski dengan nada malas. "Aku di sini bukan untuk menghibur kamu, jadi berhenti berisik." Kalimat itu diucapkannya tanpa emosi, seperti komentar yang tak penting.
"Lihat, kan?" Elowen menunjuk Loreon lagi dengan tatapan kesal. "Dia bahkan gak sopan!"
Valerie hanya tertawa kecil. "Ya sudah, anggap saja dia bagian dari dekorasi apartemenku. Sekarang kita duduk dulu, santai sebentar sebelum kita pergi ke mal. Gak usah ribut, El. Dia gak bakal ganggu kamu kok."
Elowen menghela napas panjang, masih kesal, tapi akhirnya menyerah. "Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau aku gak bisa menikmati hari ini karena merasa dia terus memperhatikan aku."
Loreon melirik sekilas ke arah Elowen, senyum tipis penuh sindiran muncul di wajahnya. "Percayalah, aku tidak punya waktu untuk itu."
...➰➰➰➰...
Parkiran mobil
Valerie berdiri di depan mobil hitam yang sudah terparkir di depan apartemennya. Ia mengetuk-ngetuk jam tangannya dengan santai, menunggu Elowen yang katanya sedang ke toilet di lobi. Tidak lama kemudian, Elowen keluar dari pintu apartemen dengan wajah agak kesal, melihat Valerie sudah siap dengan mobil.
"Lama sekali, El," keluh Valerie, membuka pintu mobil untuk masuk.
"Aku cuma sebentar kok," balas Elowen dengan nada sedikit defensif sambil mengikuti Valerie menuju mobil. Namun, langkahnya terhenti sejenak begitu melihat seseorang duduk di kursi depan, tepat di sebelah kemudi. "Tunggu, dia... kenapa dia ikut juga?" tanyanya sambil menunjuk Loreon yang terlihat duduk santai dengan wajah dinginnya, pandangannya lurus ke depan seolah keberadaan Elowen sama sekali tidak penting.
Valerie, yang baru saja duduk di kursi belakang, memiringkan kepala dan menjawab ringan, "Tentu saja dia ikut. Dia kan bodyguard-ku."
"Tapi kenapa dia harus ikut? Ini kan hanya perjalanan biasa ke mal," protes Elowen sambil berdiri di luar pintu mobil, wajahnya penuh rasa tidak setuju.
Valerie mengangkat bahu dengan santai. "Sudahlah, anggap saja dia makhluk asing atau... makhluk halus, kalau itu membuatmu merasa lebih baik. Lagipula, aku nggak merasa terganggu, jadi kamu juga tidak usah."
Elowen menutup matanya sejenak, mengambil napas panjang untuk menenangkan diri. "Baiklah, terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau suasana jadi aneh karena dia."
Setelah itu, ia masuk ke mobil dan duduk dengan hati yang masih kesal. Perjalanan menuju pusat perbelanjaan terbesar di kota itu dimulai dengan suasana hening, hanya ada bunyi lembut mesin mobil yang mengisi kekosongan.
Mall Imperial Grand berdiri megah di tengah kota, dengan arsitektur modern yang mencolok. Bangunan berlantai lima itu memiliki fasad kaca besar yang memantulkan langit biru cerah pagi itu. Di bagian depannya, berbagai toko dan restoran terlihat sibuk dengan pelanggan yang keluar masuk. Suara langkah kaki, tawa, dan obrolan riuh mulai terdengar begitu mereka memasuki lobi utama mall.
Elowen mengikuti Valerie yang melangkah penuh semangat, meski perasaannya masih sedikit terganggu oleh kehadiran Loreon yang terus membuntuti mereka tanpa bicara. Di dalam mall, aroma kopi dari kafe terdekat bercampur dengan wangi parfum dari toko-toko mewah di sekitarnya. Musik pop yang mengalun pelan di speaker mall menjadi latar belakang suasana hiruk-pikuk itu.
Valerie berhenti di depan sebuah butik elegan, menunjuk ke arah display gaun yang tergantung rapi di etalase kaca. "Nah, kita mulai dari sini saja, ya. Aku yakin kamu pasti suka sesuatu dari koleksi mereka."
Elowen memandang butik itu sambil mendesah. "Kita lihat saja. Tapi kamu yakin mau dia..." ia melirik Loreon dengan ekspresi tidak puas, "...ikut masuk ke butik juga?"
Valerie menoleh ke Loreon dan berkata santai, "Terserah dia, mau ikut atau tidak. Yang penting kita cari gaun yang bagus, oke?"
Loreon, yang berdiri di belakang mereka dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, hanya mengangguk kecil tanpa memberi komentar.
oh iya mampir juga yuk dikarya baruku, judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏