Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepian
"Kak, Zidan. Bagaimana kabarnya?" Fahmi menyalami Zidan. Dengan mencium punggung tangan Zidan, dan kemudian berpelukan.
"Alhamdulillah, sehat. Kamu apa kabar selama disana?" Zidan bertanya kepada Fahmi.
"Alhamdulillah, Kak. Kami baik-baik saja." Jawab Fahmi.
Zidan menangkupkan kedua tangannya didepan dada dengan memandang Ayana, begitu juga sebaliknya, Ayana juga melakukan hal yang sama.
"Alhamdulillah, Kamu sendiri apa kabar, Ayana?" Zidan memandang Ayana penuh dengan rasa kerinduannya.
Ayana tersenyum dan berseru.
"Alhamdulillah, seperti yang Kak Zidan lihat saat ini. Aku baik-baik saja." Ayana terlihat lebih sumringah.
Karena akhirnya ia dan Fahmi telah pulang serta dapat berkumpul kembali dengan keluarganya.
"Syukurlah, kalau begitu kalian istirahat saja, sembari menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh Kak Nabila." Zidan menawarkan hidangan lezat yang telah Nabila masak sejak selesai sholat subuh.
"Iya, ayo dimakan! Aku sudah masak, lho. Kalian harus cicipi masakan aku. Jarang-jarang kan aku memasak untuk kalian?" Nabila berjalan mendekati Fahmi dan Ayana.
"Hehehe, terima kasih banyak, Kak Bila ku yang cantik!" Kekeh Fahmi dengan menggoda Nabila.
"Maaf ya, Kak. Kita jadi merepotkan!" Sahut Ayana.
"Eh, tidak ada yang repot kok. Sudah, ayo kita makan bersama-sama." Nabila mengajak Fahmi dan Ayana untuk segera menikmati masakannya.
"Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, silahkan dinikmati hidangannya ya. Mohon maaf jika hidangannya hanya sederhana!" Zidan menawarkan hidangan kepada seluruh tamu para tetangga yang turut hadir menyambut kepulangan Fahmi dan Ayana.
"Baik, Zidan." Seru semuanya dengan kompak.
Fahmi dan Ayana duduk bersama dengan Bu Fatimah, Zidan dan Nabila.
Mereka tampak asyik bercerita, dan saling bersenda gurau seraya menikmati makanan yang telah disuguhkan oleh Nabila.
Terlihat akrab dan begitu hangat. Tidak jarang tetangga tersenyum dan melihat keharmonisan keluarga Bu Fatimah. Mereka dapat merasakan kebahagiaannya.
***
"Mas Fahmi, hari ini sudah mulai bertugas, ya?" Ayana mendekati Fahmi yang tengah duduk di teras depan dengan menikmati secangkir kopi hitam.
"Iya, sayang! Aku berangkat nanti sore. Ada apa?" Fahmi menjawab pertanyaan Ayana.
Ayana mulai memasang wajah muram. Ia dapat merasakan bahwa dirinya akan merasakan kesepian kembali ketika Fahmi sudah mulai bertugas.
"Berapa hari?" Ayana memang wajah cemberut, ia mendaratkan bokongnya pada kursi teras disamping Fahmi.
Fahmi paham betul dengan sikap Ayana yang sudah seperti itu.
"Tiga hari, sayang!" Fahmi tersenyum memandang wajah Ayana.
Ayana semakin menunduk dan terlihat murung.
"Kamu pasti kesepian, ya?" Imbuh Fahmi. Ia begitu kasihan kepada Ayana yang terlihat kesepian tanpa dirinya.
Namun, Fahmi harus konsisten pada pekerjaannya. Ia harus menjadi seorang Pilot yang profesional.
"Sabar, sayang! Besok kan Kak Zidan sudah mulai membuka Pesantrennya. Kamu bisa langsung turun tangan membantu Kak Zidan. Tidak perlu merasa sungkan, anggap Kak Zidan sebagai kakak kandungmu sendiri." Jelas Fahmi.
Ayana menarik napas panjang. Ia pun mengangguk.
"Iya, Mas. Aku akan membantu Kak Zidan." Jawab Ayana.
Fahmi tersenyum kepada Ayana.
"Nah, begitu dong. Harus semangat." Fahmi memberikan semangat untuk isterinya.
"Tapi, besok Mas Fahmi tidak ikut pembukaan Pesantren dong?" Ayana bertanya dengan dahi mengerut.
Fahmi mengangguk.
"Iya, Sayang. Aku tidak bisa ikut. Tidak apa-apa, tanpa aku pun, insya Allah harus tetap terlaksana. Semoga nanti Pesantren Kak Zidan menjadi Pesantren yang banyak diminati dan bisa berkembang hingga seiring perkembangan zaman kelak." Fahmi berdo'a untuk Pesantren Zidan.
"Aamiiiin, Ya sudah, kalau begitu. Mas mau sarapan sekarang atau nanti saja?"
"Nanti saja, sayang. Aku ingin menikmati suasana pagi dulu. Temani aku disini ya. Sembari melihat tetangga jogging, hehehe." Fahmi mengusap lembut tangan Ayana.
"Hehehe, kamu ada-ada saja!"
***
"Malam, Ayana Zahira! Ada yang bisa aku bantu?" Zidan datang menghampiri Ayana yang sepertinya memang sedang membutuhkan pertolongan.
Ayana terlihat sedang memasang tabung gas, namun sepertinya begitu susah ia lakukan karena karet tabung gas tidak langsung pas.
Keringat bercucuran membasahi pelipis Ayana.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam.
Ia rupanya ingin memasak air panas untuk membuat secangkir kopi untuknya.
"Huh, Iya, Kak. Ini kenapa tabung gas nya tidak bisa dipasang ya? Apakah aku salah memasangnya?" Ayana terlihat lelah dan menggeser tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan Zidan.
Zidan kasihan terhadap Ayana, lalu ia berniat untuk membantunya.
"Baiklah, aku akan mengeceknya. Kamu duduk saja." Perintah Zidan.
Zidan pun mengecek dan segera mengeksekusi tabung gas tersebut.
"Hmm.. Ini nih biang keroknya! Karetnya tidak cocok, tunggu sebentar aku tukar dulu. Ibu sepertinya punya stock banyak karet-karetnya." Zidan menunjukan karet bulat kecil dengan lingkarang tengahnya berlubang.
Ia kemudian mengambil karet dari balik laci kitchen set nya.
Zidan terus mencoba-coba untuk memasangnya.
Dan tidak membutuhkan waktu lama, kompor gas pun sudah dapat digunakan kembali.
"Alhamdulillah, sudah beres. Kamu ingin masak apa?" Zidan bangkit dari posisi jongkok dan duduk dibangku dapur. Berseberangan dengan bangku yang Ayana duduki.
"Masak air, Kak. Aku ingin membuat kopi." Jawab Ayana.
Zidan mengerutkan dahinya.
"Jam segini membuat kopi? Kamu ingin begadang?" Zidan terheran karena Ayana ingin membuat kopi malam-malam.
Ayana tertunduk.
"Aku bete, Kak. Aku bingung harus apa. Aku belum ingin tidur." Sahut Ayana.
Zidan mengangguk dan berpikir sejenak.
Ia kemudian memasang wajah penuh ide.
"Hmmm.. Bagaimana kalau kita membuat konsep untuk nanti ketika Pesantren sudah buka? Kebetulan kan besok pembukaan, jadi malam ini aku akan menjelaskan sedikit tentang apa yang ingin aku rencanakan kedepannya." Zidan menawarkan kepada Ayana untuk bergabung dalam menyusun rencananya.
Ayana tersenyum lepas.
"Boleh, Kak. Tapi, aku membuat kopi dulu ya. Kak Zid tunggu saja di ruang tengah!" Jawab Ayana terlihat antusias.
Zidan pun turut senang ketika Ayana menerima ajakannya.
"Oke, sekalian tolong buatkan untukku ya kalau tidak keberatan." Pinta Zidan.
"Siap, Kak."
Malam itu, Ayana dan Zidan menyusun rencana ketika nanti Pesantren sudah benar-benar buka.
Zidan mempercayakan kepada Ayana untuk menghandle santriwati.
Ketika Zidan sedang tugas mengajar di Kampus, Ayana lah yang akan bertanggungjawab dalam kepengurusan Pesantren selama masih baru dan belum banyak karyawan.
Ayana menerima tawaran itu, dan sangat tidak keberatan dengan ide-ide yang diberikan oleh Zidan.
Keduanya terlihat sangat asyik dan akrab di ruang tengah.
Sedangkan Bu Fatimah telah terlelap usai meminum obatnya.
"Jadi, untuk sementara kamu mengajar Durusul Fiqhiyah dan Babul Minan ya, Za! Bisa kan?" Perintah Zidan dengan senyumannya.
Ayana yang sudah mulai mengantuk pun menyandarkan bahunya pada sofa yang empuk.
"Insya Allah bisa, Kak Zid. Huaaammm...!!" Ayana menjawab pertanyaan Zidan kemudian ia menguap karena rupanya hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Sudah hampir tiga jam mereka bersama.
Berdiskusi dan saling bertukar pikiran.
"Kamu sudah mengantuk? Ya sudah, kamu segera istirahat saja. Kita lanjutkan saja besok." Zidan memerintahkan Ayana untuk segera beristirahat.
Akan tetapi, Ayana menolaknya.
"Nanti saja, Kak Zid. Ayo kita lanjutkan!" Jawab Ayana dengan menyandarkan kepalanya di punggung sofa.
"Yakin?" Zidan memastikannya.
Ayana mengangguk.
"Baiklah aku lanjutkan sebentar, kemudian kamu bisa beristirahat!" Pandangan Zidan kembali menuju layar laptop.
Ia menjelaskan secara rinci tentang sisa konsep yang belum ia beri tahu kepada Ayana.
Namun, ketika Zidan menoleh kearah Ayana karena Zidan menyadari tidak ada suara jawaban dari Ayana dari pertanyaan-pertanyaannya, ia menggelengkan kepalanya ketika tahu bahwa Ayana sudah terlelap.
"Ya ampun, Za. Ternyata memang kamu sudah mengantuk. Za... Za... Bangun.. Kamu pindah ke kamar gih!" Zidan membangunkan Ayana dengan menepuk lutut Ayana menggunakan gulungan kertas.
Rupanya Ayana mengantuk berat. Tidak ada respon atau pergerakan sedikitpun dari Ayana.
Zidan merasa kasihan jika Ayana harus ia tinggal untuk tidur di ruang tengah sendirian.
Mau tidak mau, Zidan harus memindahkan Ayana ke kamar Ayana.
"Zaaa.. Kita pindah yuk!" Ajak Zidan ketika membangunkan Ayana kembali, barangkali Ayana langsung terbangun.
Nyatanya, Ayana masih tetap pulas.
Zidan merapihkan semua barang-barangnya, karena ia hendak beristirahat juga.
"Zaaa, maaf ya! Terpaksa aku harus membopong dan memindahkan kamu ke kamar! Tidak apa-apa kan, Za?"