Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7-Belanja Bulanan
Belanja bulanan untuk kebutuhan rumah tangga merupakan sebuah keharusan. Dan sebagai suami yang baik Bang Fariz pun dengan senang hati mengintili ke mana pun langkah kaki ini pergi. Tangannya terampil mendorong sebuah troli, sedangkan tanganku dengan lincah mengambil berbagai jenis produk.
"Ambil sesuai kebutuhan, jangan mengikuti keinginan," peringat Bang Fariz berhasil menghentikan gerak tanganku yang hendak mengambil camilan.
"Iya, bawel!" sahutku malas, pasalnya kalimat itu sudah berulang kali Bang Fariz lontarkan, bahkan aku sudah mengingatnya di luar kepala.
"Semakin banyak barang yang kamu ambil, akan semakin lama kita di kasir," imbuhnya.
Aku menghela napas singkat dan mengangguk pelan. "Iya, Bang Fariz aku paham."
Bang Fariz memang seperhitungan itu jika sudah menyangkut ihwal pengeluaran. Dia ini tipikal orang yang menganut paham minimalis, membeli sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Tapi, di mataku Bang Fariz itu terlampau pelit dan terlalu rewel dalam mengatur keuangan.
Jika aku ada di posisi Bang Fariz yang memiliki cukup uang, pasti aku akan membeli apa pun yang aku inginkan. Prinsipku lebih baik menyesal karena telah membeli dibandingkan harus menyesal karena tidak sempat membelinya. Beginilah jika si pemboros berjodoh dengan si perhitungan.
"Kamu kalau belanja tanpa bawa catatan suka ambil seenak hati. Abang kurang suka, selain mubazir kamu juga menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting," cetusnya lagi.
Aku mendengkus kasar.
Belanja bulanan kali ini memang mendadak, tanpa persiapan. Selepas Bang Fariz pulang dinas dari luar kota aku langsung mengajaknya ke supermarket, sebab kebutuhan rumah tangga kami sudah habis tak tersisa.
Dan, yang paling penting kali ini kami menggunakan lembaran sebagai alat tukar sebab stok uang receh Bang Fariz belum diisi ulang. Sebenarnya tinggal mengambil di kediaman Mama, tapi dengan tegas aku menolak dan memaksa Bang Fariz untuk menggunakan uang kertas.
Terjadi perdebatan yang cukup alot memang, tapi dengan jurus memelas akhirnya dia mau mengalah. Menghadapi suami seperti Bang Fariz memang harus menggunakan akal yang cerdik.
"Ada yang mau Abang beli?" tanyaku memastikan.
Bang Fariz melihat ke arah troli yang sudah penuh sesak barang, dan dengan tegas dia pun menggeleng.
"Berlebih-lebihan itu perilaku setan, Kirania. Gak baik!" tegur Bang Fariz.
"Nah itu Abang tahu. Jadi, Abang juga jangan berlebihan pelitnya!" sahutku tak mau kalah.
"Itu namanya pemborosan."
"Abang kali yang terlalu perhitungan!"
Beruntung lorong supermaket yang kami jadikan sebagai tempat berdebat sepi pengunjung, jadi tak ada satu pun orang yang bisa menguping percakapan di antara kami.
Terdengar helaan napas berat. "Sudah semua? Kalau iya kita pulang sekarang," katanya dengan nada dingin.
Aku menelan ludah susah payah dan bergidik ngiri mendengarnya. Bang Fariz mode marah menakutkan. Alhasil aku pun lebih memilih untuk mengangguk dan mengintili langkah lebarnya yang bergerak cepat menuju kasir.
Cukup lama kami berdiri di sana, sebab jumlah belanjaan kami yang memang banyak. Bahkan aku meringis kala melihat jumlah tagihan yang tertera di layar komputer. Dari sudut mata aku bisa melihat kalau Bang Fariz menghujaniku dengan sebuah pelototan, dan aku hanya bisa menunduk dalam.
"Kembaliannya Rp. 50.300 yah, Pak," tutur sang kasir seraya menyerahkan uang kembalian beserta nota belanja.
"Bisa tukar kembaliannya dengan uang pecahan lima ratus rupiah?" sahut Bang Fariz berhasil menarikku agar mendongak dan menatap penuh rasa tak percaya.
Aku benar-benar TAK HABIS PIKIR!
Dikasih kembalian uang kertas, pecahan lima puluh ribu menolak, dan dengan santainya dia meminta uang logam.
Memang benar-benar Bang Fariz ini!
"Bisa, Pak," sahut Mbaknya terlihat memasang senyum terpaksa.
MENYUSAHKAN. Itulah kata yang pantas untuk disandang Bang Fariz.
Kakiku sudah sangat pegal, dan melihat ke arah belakang antrean mendadak sudah panjang. Aku menahan malu karena lagi-lagi menjadi pusat perhatian.
Balas dendam Bang Fariz memang tidak main-main. Pasti hal itu dia lakukan karena kesal denganku yang terlalu banyak berbelanja. Harus ditaruh di mana mukaku saat ini?
"Rp. 300nya mau didonasikan, Pak?" tanya Mbaknya setelah selesai menghitung uang logam dan memasukannya pada kantung plastik.
Beliau belum mengikatnya, justru tangan lentik itu terlihat tengah mencari uang logam pecahan seratus rupiah. Kalau aku berada di posisi itu, sudah pasti akan kudonasikan saja. Toh tidak banyak pula.
"Didonasikan ke mana memang, Mbak?" tanya Bang Fariz.
"Untuk anak yatim, Pak."
"Namanya siapa? Di mana alamatnya?"
"Disalurkan ke Yayasan, Pak."
"Yaya---"
"Terima kasih, Mbak. Sisanya didonasikan saja," potongku cepat.
Bisa panjang kalau sampai percakapan ini dilanjutkan. Aku sudah benar-benar malu bukan kepalang.
Suara-suara sumbang dari arah belakang pun kian menguar, dan telingaku sudah sangat panas. Bisa meledak emosiku jika semakin lama berdiam diri di sana.
Aku menarik paksa tangan Bang Fariz, mengambil kembalian dan memintanya untuk membawa belanjaan. Aku sudah benar-benar kehilangan rasa sabar.
"Kalau emang Bang Fariz gak niat kasih donasi ya gak usah banyak nanya. Bikin malu aja!" omelku saat kami sudah berada di dalam mobil.
"Kita wajib tahu uang yang kita sedekahkan disalurkan ke mana dan pada siapa. Kalau disalahgunakan bagaimana?"
Aku memutar bola mata malas. Hanya sekadar 300 perak saja ribetnya minta ampun. Tak terbayang jika Mbak Kasir tadi menyarankan untuk mendonasikan semua uang kembaliannya. Pasti pertanyaan yang Bang Fariz layangkan akan berlapis-lapis.
Tidak ingatkah dia, dulu pernah memberi secara cuma-cuma uang sebesar seratus ribu rupiah pada pengemis yang berada di parkiran?
Kelakuan Bang Fariz memang makin ADA-ADA SAJA. Bisa benar-benar hipertensi aku jika terus seperti ini.
"Bisa gak sih, Bang kalau di depan umum sifat pelitnya dikurangi? Jangan keterlaluan!"
Aku benar-benar sangat MUAK!
"Juga jangan menyusahkan orang lain hanya untuk kepentingan Abang!"
Setelah mengatakan itu aku memilih untuk menurunkan sandaran kursi dan memejamkan mata rapat-rapat. Menulikan telinga agar tak mendengar rentetan pembelaan yang dilayangkan Bang Fariz.
Berusaha untuk meredam emosi dengan istighfar dan juga dzikir. Setan pasti tengah bersorak gembira karena sudah berhasil menguasai diri ini, yang terlanjur berkata dengan nada tinggi pada suami sendiri.
Kepalaku rasanya sakit bukan kepalang. Lelah hati dan pikiran mengahadapi Bang Fariz yang tidak ada perubahan, bahkan makin hari makin menjadi saja rasanya.
Sudut mataku pun tiba-tiba meneteskan cairan bening. Seperti ada rasa sesak yang menyeruak dan hanya dengan cara inilah semua itu tersalurkan.
Kuharap saat mata ini kembali terbuka, semua akan baik-baik saja. Dan mungkin perasaanku pun akan jauh lebih tenang dari sebelumnya.
SEMOGA saja begitu.
Pernikahan memang tidak seindah yang dibayangkan. Justru permasalahan datang silih berganti dan berusaha untuk menghancurkan hubungan yang tengah dibina.
Mungkin itulah alasan mengapa menikah kerapkali disebut dengan ibadah, sebab tidak ada ibadah yang mudah karena hadiahnya berupa jannah.
Menjalani pernikahan itu ternyata SUSAH.