No Khalwat Until Akad

No Khalwat Until Akad

1—Tidak Sesuai Ekspektasi

Kirania Pratista, sebut saja begitu. Bungsu dari empat bersaudara, memiliki tiga orang kakak laki-laki, serta orang tua yang masih utuh dan lengkap. Berpenampilan sederhana dengan kehidupan yang cenderung lurus-lurus saja.

Saking lempengnya, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan lamaran seorang pria, yang bahkan baru kutemui sebanyak dua kali. Hingga kini, statusku sudah berubah menjadi seorang istri, sebab satu bulan lalu lelaki bernama Fariz Alfarizi itu sudah berani mengucap ikrar suci.

Aku memang tak bercita-cita menikah muda, tapi aku iri saat melihat teman-teman sebayaku pamer pacar dan kerapkali menghabiskan waktu untuk berkencan. Sedangkan aku yang berstatus jomlo kala itu, tak ingin pacaran maunya langsung halal.

No khalwat until akad. Itulah prinsip yang kupegang erat. Karena itulah aku memutuskan untuk menggelar pernikahan, walau belum benar-benar saling mengenal. Sebab, aku sudah kadung terbuai pesona Bang Fariz.

Di mataku dia IDEAL.

Bang Fariz itu idaman. Tapi, itu pada saat awal-awal pernikahan, tidak dengan sekarang.

"Bulan kemarin pengeluaran kita membengkak, dan sekarang mau tak mau kita harus berhemat," putusnya secara sepihak.

Aku mendengkus kasar. Andaikan dia bukan suamiku sudah pasti aku akan melayangkan banyak sumpah serapah padanya. Bagaimana tidak. Dengan seenak jidat dia membatasi uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari kita.

Bukan hanya membatasi, tapi dengan teganya dia pun memberiku uang recehan setiap harinya. Dan itu sudah berlangsung sekitar seminggu terakhir. Aku hanya merasakan halusnya uang lembaran di satu bulan pertama pernikahan, setelahnya duit gopean.

"Bang Fariz, suamiku yang baik hati, pengertian, serta dermawan. Uang gak akan kita bawa mati. Jadi jangan pelit-pelit kalau sama istri," sanggahku penuh hormat.

Jujur saja, satu minggu ini aku sangat amat tertekan. Setiap belanja bahan-bahan makanan di warung, aku selalu jadi bulan-bulanan ibu-ibu. Pasalnya uang yang kubawa pasti gopean, dan aku harus menebalkan wajah serta extra sabar untuk menghitungnya.

Sungguh sangat memalukan, bukan?!

Bang Fariz menggeleng tegas. "Pemborosan itu perilaku setan, dan Abang tak mau memiliki istri yang berakhlak seperti setan. Paham, Sayang?"

Mataku melotot bukan main saat mendengar dengan jelas perkataan Bang Fariz yang mengataiku boros seperti setan. Sungguh demi apa pun aku ingin menjambak dan mencakar habis wajahnya.

Tidak ada satu pun suami yang tega menghina istrinya dengan sedemikan rupa. Tapi lihatlah suamiku yang budiman ini, begitu mudah sekali melabeli istrinya dengan kata-kata kurang sopan dan tak enak didengar.

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Bang Fariz yang budiman, Abang bisa bedakan yang mana pemborosan dan yang mana kebutuhan? Abang pikir beli beras dan lauk pauk cukup dengan uang logam dekil nan kucel yang Abang berikan? Gak, Bang!"

"Uang satu juta kalau kurang lima ratus perak jatuhnya gak akan satu juta. Jadi uang segitu sangatlah berharga," selanya begitu santai dan ringan.

Aku berkacak pinggang seraya geleng-geleng kepala. Wajahku sudah merah padam karena kesal. "Abang yang namanya uang satu juta itu sudah pasti berwarna merah semua. Gak ada tuh recehan apalagi duit gopean nyempil di sana. Jadi Abang jangan pura-pura bodoh deh?!" geramku.

"Kita harus bisa menghargai sekecil apa pun uang yang kita mil---"

Dengan cepat aku pun memotong, "Kalau uangnya cuma lima ratus perak apa yang mau dihargai, Bang Fariz? Bayar toilet umum aja udah dua ribu."

"Kan kita punya toilet pribadi di rumah. Untuk apa kita ke toilet umum segala? Buang-buang uang itu namanya!"

"Jadi kalau Abang kebelet di jalan Abang gak akan sudi menghibahkan uang Abang untuk bayar toilet, gitu?"

Tanpa dosa Bang Fariz tersenyum lebar dan mengangguk penuh rasa percaya diri. Sedangkan aku hanya mampu geleng-geleng saat menyadari bahwa sifat pelit, merki, dan kikir sudah mulai mendarah daging ke sela-sela tulangnya.

"Abang itu bukan orang gak punya yang harus susah payah cari uang buat biaya makan. Tapi kok pelitnya gak ketulungan!"

"Bukan pelit tapi ngirit. Hemat, Sayang," selanya tak tahu malu.

Ingin rasanya kugantung Bang Fariz di pohon toge.

"Abang bisa bedain gak sih yang mana pelit dan yang mana ngirit?"

Bang Fariz hanya mengukir senyum menyebalkan dan tak mengeluarkan sepatah kata pun.

ALLAHUAKBAR!

Harus dengan kalimat apalagi aku menjelaskan? Darahku benar-benar sudah mendidih. Tak habis pikir dengan cara kerja otaknya.

"Sudah dulu yah Abang harus berangkat kerja," katanya berniat berpamitan tapi dengan cepat aku menghadang langkahnya.

"Uang jatah buat belanja hari ini mana?" tagihku dengan tangan menengadah.

Aku tak pernah menerima uang bulanan darinya. Setiap hari dialah yang akan rutin memberiku uang saku, bahkan kartu ATM lelaki itu pun berada di tangan ibunya.

Aku tak tahu sebesar apa penghasilan yang mampu Bang Fariz kumpulkan setiap bulan. Tapi jika mengingat dia merupakan putra tunggal yang akan mewarisi kerajaan bisnis orang tuanya. Sudah bisa dipastikan gaji yang lelaki itu dapat memiliki nominal yang besar.

Namun, pada kenyataannya justru berlainan. Dia selalu pulang dengan tangan kosong tanpa sepeser pun uang di sakunya. Jika pun ada sudah pasti uang itu merupakan logam, bukan lembaran.

Sungguh sangat amat memiriskan!

Bang Fariz mengelus ubun-ubunku yang tertutup khimar hitam. "Di laci samping tempat tidur, kamu ambil sendiri yah," katanya yang kusambut dengan sunggingan lebar.

Kali ini berbeda, biasanya Bang Fariz akan langsung memberikan uang recehan ke tanganku. Aku jadi merasa dejavu, karena di awal-awal pernikahan Bang Fariz melakukan hal itu. Menyimpan uang di laci, dan bentuknya lembaran, bukan gopean.

Alhamdulillah akhirnya sadar!

Sepertinya kali ini aku tidak akan direpotkan dengan logam-logam berbau karat tersebut. Tanganku kali ini akan merasakan halus dan lembutnya uang berwarna merah.

"Abang serius, kan?"

Bang Fariz mengangguk mantap seraya tersenyum manis.

"Lembaran, kan? Bukan recehan!" tanyaku memastikan.

"Mending kamu lihat sendiri biar jadi kejutan."

Aku mengangguk penuh semangat, bahkan aku pun bergegas untuk mengantar Bang Fariz ke depan. Dia sudah harus berangkat kerja. Tak lupa aku pun menyalami tangannya sebagai tanda hormat.

Begitulah wanita, jika si merah ada di depan mata, kedongkolan di hati mendadak sirna. Apa memang semua wanita sama sepertiku juga?

"Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai kantor kabari," kataku setelah Bang Fariz mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi. Kegiatan wajib yang setiap hari kami lakukan.

Bang Fariz mengangguk lantas memasuki mobil. Tak lama suara mesinnya terdengar, dan kendaraan beroda empat itu pun meluncur nyaman di aspal.

Setelah Bang Fariz hilang dari pandangan, dengan segera aku kembali memasuki rumah serta menuju kamar. Sudah tidak sabar bertemu si merah yang pasti akan membuat mataku kinclong.

"BANG FARIZZZZZ!"

Sekuat tenaga aku meneriaki namanya karena yang kudapat justru gopean. Lagi, lagi, dan lagi. Awas saja kalau nanti pulang!

Jangan boros-boros yah, Sayang ;)

Dengan kesal aku merobek notes yang berada di atas laci. Menginjak-injaknya dengan penuh semangat empat lima.

Lihat saja nanti.

Tidak akan kubukakan pintu.

Dasar suami pelit dan perhitungan. Merki!

Terpopuler

Comments

aca

aca

bodoh cerai aja punya suami gt

2025-01-10

0

Novie Achadini

Novie Achadini

yg sabar ya neng org sabar padti kesel

2025-01-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!