Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Ini Terlalu Menyakitkan?
Hari ke 3 Vincent tidak kembali ke rumah, Lana mencoba untuk sabar. Namun ia bertekat, jika sampai malam nanti dia tidak pulang, maka dia akan menemuinya ke rumah sakit.
Hari itu ia melihat bagaimana perhatiannya Vincent ke gadis itu. Hati Lana menjadi panas dan terbakar. Mungkin ini namanya cinta yang ketika hampir kehilangan baru terasa.
Tapi Lana yang sekarang bisa melihat dengan jelas pria yang mencintai wanita itu seperti apa. Tidak harus melulu mengatakan cinta, tetapi yang mampu menjadi sandaran dan diandalkan saat dibutuhkan. Vincent adalah tipe pria seperti itu. Tidak banyak bicara tapi mampu diandalkan dalam berbagai situasi. Pria itu melayani tanpa peduli apa kata orang lain.
"Ibu, Bapak pulang." Dari luar pembantu rumah tangga di rumah Vincent mengetuk pintu seraya memberitahu keadaan di luar. Lana bergegas berkaca, mematut pakaiannya, lalu memprogram wajahnya agar terlihat bahagia.
Kamar Lana di lantai 2, dia turun tanpa membawa Brie. Pikirnya, Vincent nantinya akan mencari Brie ke kamarnya, dan itu akan menjadi keuntungan lain baginya. Namun justru ia tercengang melihat siapa yang dia bawa malam ini ke rumah.
Lana melihat jam tanpa sadar. Pikirannya kemana-mana menyadari anak ini akan tidur di mana. Selarut ini dan mereka terlihat saling mengasihi.
Sudahlah! Mereka pasti sudah sering bersama selama ini. Dia saja yang baru menyadari hal ini.
"Perlu aku siapkan kamar? Tampaknya dia butuh banyak istirahat." Lana membuang muka ke arah pembantu yang berdiri canggung di ruangan ini.
"Tidurlah, dia jadi urusanku." Vincent meraih tangan Egi yang rasanya lebih dingin dan lembab dari sebelumnya.
Udara di dalam sini terasa sangat dingin.
"Tidak baik seorang pria mengurus wanita yang sudah dewasa, padahal dia tidak punya hubungan apa—"
"Dia pacarku!"
Seperti petir menyambar saat Vincent berkata demikian. Mulut Lana terkatup rapat. Egi gemetar sampai rasanya ingin pingsan.
Di dunia sebelah mana ada seorang suami berkata terus terang jika dirinya memiliki wanita lain?
Dunia Vincent sepertinya dunia yang berkebalikan dengan dunia sebelah. Ini bahkan melanggar hukum dan norma.
"Aku ingin semua orang di sini memperlakukan pacar saya dengan baik!" Vincent menatap Lana sedetik lebih lama dari saat menatap pembantu yang menunduk.
"Aku akan menunjukkan kamarnya!" Lana memilih pergi. Sia-sia dia menjaga harga dirinya di depan Egi kemarin. Anak itu pasti mengerti, tetapi Vincent? Apa pria itu sungguh sudah mencampakkannya? Tapi kenapa Vincent menerima dirinya kembali?
Setahun ini, Lana berpikir Vincent menerimanya karena masih mencintainya. Tapi apa dia salah menilai sikap Vincent? Vincent masih sama baiknya dengan Vincent yang dia kenal dulu, bahkan beberapa kali mendatanginya. Namun, karena dia tidak ingin terlihat murahan, jadi dia menolak. Dia kembali bukan untuk bercinta semata. Dia kembali untuk menata ulang hidup yang pernah salah ia jalani. Dia ingin perlahan-lahan mengenali Vincent sebelum menyerahkan diri.
"Tidak perlu!"
Larangan Vincent membuat Lana berhenti di kaki tangga.
"Masuk ke kamarku!" Perintah Vincent itu berhasil membuat Egi kebingungan. Sejak tadi dia masih tidak percaya dibawa ke rumah dimana ada keluarga Vincent di dalamnya, jadi dia hanya terpaku di tempat. Menatap Lana dan ruangan di rumah ini bergantian, sebelum melirik ke lantai dua dimana Lana muncul.
"Virginia!" hardik Vincent ketika Egi tidak juga bergerak dari posisinya.
Hati Egi berjengit takut mendengar suara Vincent yang sejak awal memang tidak enak didengar. Bahkan ketika akan membawanya ke sini, dia mengancam akan membiarkan El mati jika tidak menurut.
Perlahan Egi melangkah, menuju lantai dua. Lana mendelik, tetapi masih bisa menahan diri.
"Kamarku di sana, Virgi!" Bahu Egi yang begitu ringkih itu dipaksa memutar ke arah sayap kanan rumah, dimana sebuah pintu berwarna hitam berada. "Aku tidak pernah mau menginjak lantai 2 rumahku!"
Lana dan Egi menoleh ke arah Vincent bersamaan. Keduanya bisa langsung menangkap maksud Vincent.
"Masuk dan tidurlah!" Vincent mendorong Egi pelan. Disaat itu juga, ponsel Vincent berdering.
"Mbak, bantu dia masuk dan tidur!" Begitu melihat siapa yang menelpon, ia melepaskan Egi sendirian ke kamarnya dibantu oleh asisten rumah tangga.
Keduanya menunggu Egi lenyap di telan pintu sebelum saling berhadapan.
"Vincent, bagaimana bisa kamu melakukan itu?"
"Seperti saat kamu memilih pergi padahal kamu tahu aku dan Brie butuh kamu, seperti inilah saat itu!" Vincent tidak menyurutkan sedikit saja aura keras di wajahnya. Di rumah dia selalu seperti ini—tidak, tapi di depan Lana dia akan bersikap keras dan cuek.
"Jadi kamu berniat balas dendam?" Lana mengerti. "Ini sudah satu tahun, kupikir menerimaku artinya kamu memaafkan kesalahan yang aku buat!"
Vincent menatap wajah Lana yang sangat tirus dan kecil. Mata wanita itu sudah penuh air mata.
"Apa aku pernah mengatakan kalau aku memaafkan kamu?"
"Lalu semua sikapmu selama ini? Apa artinya, Vincent?" Lana membuang muka. Bingung sekali Lana saat ini. "Kamu membiarkan aku bersikap biasa saja seolah aku tidak menyesalinya! Kamu menerimaku dengan begitu baiknya! Kamu mempermainkan aku?"
"Apa begitu sakit?" Vincent mengeluarkan senyum jahatnya. "Aku hanya mengakui dia sebagai pacarku, tidak seperti aku memergokimu saat bercinta dengan orang lain! Apa aku terlalu menyakitimu?"
Lana mengatupkan bibirnya rapat saat melesatkan tatapan kearah Vincent, rasanya air matanya cukup untuk menjelaskan betapa perbuatan Vincent begitu menyakitkan.
"Kamu bahkan mendatangiku untuk bercinta kemarin!" desis Lana. Ekspresinya menjadi sangat buruk, seakan semua kebencian tumpah di sana.
"Itu tidak bisa dihitung sebagai tanda aku sudah menerimamu, Lana! Aku pikir tidak ada salahnya mengujimu dari berbagai sisi!" Vincent menjawabnya datar, tanpa rasa kasihan sedikitpun.
"Seharusnya kamu mengatakan jika kamu masih membenciku, Vincent!" isak Lana dengan tubuh terhuyung. Semua yang ia bangun setahun belakangan rasanya hancur sudah.
"Seharusnya, tanpa aku bicara kamu sudah mampu memikirkannya, Lana! Di dunia ini tidak ada pria yang begitu bodoh menerima kembali wanita yang menyakitinya sampai ke tulang!"
Kalimat itu begitu dalam menusuk Lana. Pandangan matanya menjadi nanar menatap Vincent.
"Tapi Lana ... kamu tetap tidak bisa pergi sekalipun kamu ingin pergi!" Vincent mengatakan itu dengan pandangan semakin dingin. "Atau aku tidak segan membuat Brie—anakmu, terluka! Ingat baik-baik dalam kepalamu, Lana! Jika kamu banyak tingkah, Brie taruhannya!"
Lana menggeleng perlahan. Sungguh dia tidak menyangka jika akhirnya Brie ikut dilibatkan. Kemana nurani pria ini?
"Tapi dia anakmu, Vincent! Bagaimana kau menjadi sangat kejam pada anak kita? Dia sakit, Vincent!"
"Dan aku tidak pernah mewariskan penyakit untuk anakku! Gen yang kumiliki tidak mungkin menjadi buruk hanya karena bercampur dengan gen lemah dan murahan milikmu!"