Aleena Salmaira Prasetyo adalah anak sulung dari keluarga Prasetyo. Dia harus selalu mengalah pada adiknya yang bernama Diana Alaika Prasetyo. Semua yang dimiliki Aleena harus dia relakan untuk sang adik, bahkan kekasih yang hendak menikah dengannya pun harus dia relakan untuk sang adik. "Aleena, bukankah kamu menyayangi Mama? Jika memang kamu sayang pada Mama dan adikmu, maka biarkan Diana menikah dengan Angga". "Biarkan saja mereka menikah. Sebagai gantinya, aku akan menikahimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Aleen Dan Dev
Air mata Aleena kini telah mengalir deras dan tidak bisa dibendung lagi. Hatinya serasa hancur mendengar apa yang dikatakan sang ayah padanya.
"Pah, aku tidak melakukan kesalahan apapun, kenapa kalian melakukan hal ini padaku?".
Aleena bicara dengan derai air mata dipipinya. Dia menatap wajah semua orang yang ada disana satu persatu.
"Bagaimana itu bukan kesalahan. Jika… ".
"Sudah kubilang kalau aku tidak melakukannya! Kenapa kalian tidak ada yang mau percaya padaku?!".
Aleena menyela dengan berteriak sekuat tenaga agar mereka mau mendengar ucapannya.
"Angga, bukannya kita sudah lama saling kenal? Bahkan kita sudah pacaran lebih dari 3 tahun. Apa kamu masih tidak bisa memahamiku? Pah, Mah, Diana, kalian keluargaku, apa kalian juga tidak tahu bagaimana sifatku? Kenapa kalian tega melakukan ini padaku? hiks… hiks… hiks… ".
Aleena terus menangis sambil mempertanyakan pada semua orang atas apa yang terjadi.
Semua orang hanya diam sambil menatap Aleena dengan tatapan dingin karena tuduhan yang diberikan pada Aleena. Sedangkan Diana dan sang ibu bersikap biasa saja seakan mereka tidak bersalah.
Plak!
"Aleena, berhenti membuat keributan dan pulang sekarang! Tidak ada lagi yang perlu kami dengarkan dari omong kosongmu! Buat malu saja!".
Pak Bastian kembali menampar Aleena dengan kerasa sebelum dia meminta Aleena untuk pulang dengan sikap yang dingin dan penuh kekesalan.
Aleena menatap wajah semua orang dengan penuh amarah dan kekecewaan sambil memegangi sebelah pipinya.
"Aku benci kalian semua!".
Aleena berlari keluar hotel sambil terus menangis. Dia menyusuri malam yang gelap ditengah guyuran hujan yang turun dengan deras.
Angga hendak mengejar Aleena begitu dia lari, namun Diana menahannya.
"Sebaiknya kita semua pulang. Hari ini pasti sangat melelahkan, jadi semua harus segera beristirahat".
Ayah Angga membuka suara ditengah keheningan yang terjadi setelah kepergian Aleena.
"Anda benar. Sebaiknya kita pulang dan beristirahat. Lain kali kita akan berkumpul lagi untuk membahas apa yang harus kita lakukan kedepannya untuk pertunangan anak kita", ujar ayah Diana menanggapi dengan sikap yang tenang.
"Saya setuju dengan ucapan anda".
Ayah Angga mengulurkan sebelah tangannya pada pak Bastian untuk berjabat tangan.
"Terima kasih untuk hari ini. Maaf karena putriku telah membuat kekacauan besar pada pesta anda".
Pak Bastian menyambut uluran tangan ayah Angga sambil meminta maaf padanya.
"Tidak papa. Ini adalah sesuatu yang sama sekali tak terduga"
"Kalau begitu kami permisi, ayo Mah, Diana".
"Kami pergi dulu. Sampai jumpa".
Bu Dona berpamitan terlebih dahulu pada keluarga Angga, begitu pun dengan Diana.
"Ya, sampai jumpa".
Diana dan kedua orang tuanya pun mulai beranjak pergi dan meninggalkan hotel.
"Kita juga harus pulang. Ayo Angga".
Angga langsung mengikuti kedua orang tua dan juga adiknya dari belakang. Sesekali dia terlihat celingak celinguk mencari Aleena saat mulai berjalan keluar dari hotel.
Jeder!
"Hujannya deras. Bahkan petirnya pun sangat keras. Kemana perginya Aleena? Dia kan takut mendengar suara petir. Tidak. Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia sudah mengkhianatiku dan juga… tidak lama lagi aku akan bertunangan dengan Diana".
Batin Angga tak henti-hentinya memikirkan Aleena, bahkan saat dia sedang membencinya.
...****************...
Disudut gelap luar hotel. Aleena menangis sendiri ditengah guyuran hujan yang deras disertai petir yang menyambar-nyambar.
Jeder… jeder… !
"Aah!".
Aleena berjongkok sambil menutup telinga setelah mendengar suara petir yang menggelegar.
Dari depan Aleena terlihat percikan dari langkah kaki seseorang yang langsung berhenti tepat didepan Aleena.
"Kamu terlihat takut petir, tapi kamu malah diam dibawah guyuran hujan seperti itu".
Aleena mengangkat kepala melihat sosok pria yang kini berdiri dihadapannya. Air hujan telah sepenuhnya membasahi tubuh Aleena. Make up diwajah cantiknya pun telah hilang disapu air hujan, namun luka memar di pipinya sama sekali tidak tertutup hujan.
Pria itu bertubuh tinggi, dengan setelan kemeja rapi dan memegang payung ditangannya. Dalam pekatnya malam dan guyuran hujan yang deras, tatapannya terlihat lembut dan hangat untuk Aleena.
"Kenapa kamu ada disini?", tanya Aleena disela isak tangisnya. Sebelah tangannya terus mengusap air hujan yang membasahi wajahnya.
Jederr!
"Aah!"
Aleena kembali berteriak dan menunduk mendengar suara petir. Tubuhnya terlihat gemetar. Entah karena suara petir atau karena dinginnya air hujan.
"Sampai kapan kamu akan terus diam disini? Sebaiknya mencari tempat berteduh dulu".
Pemuda itu bicara sambil mengulurkan tangan pada Aleena. Dia mengabaikan pertanyaan Aleena yang bingung karena melihatnya.
Aleena terdiam menatap uluran tangan pria yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Kenapa kamu mengulurkan tangan padaku, sementara keluargaku sendiri meninggalkanku?", tanya Aleen yang masih belum meraih tangan pemuda itu.
"Kenapa aku harus bersikap seperti keluargamu, sedangkan aku sendiri tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, karena saat itu aku ada bersamamu".
Pemuda itu menanggapi dengan sikap yang tenang dan lembut. Dia masih tidak menarik uluran tangannya meski Aleena terlihat ragu untuk menyambutnya.
"Kamu tidak menyalahkanku juga?".
Aleena merasa tersentuh karena saat semua orang kecewa padanya, pria yang jelas tak dikenal ini malah berada disampingnya.
"Sama sekali tidak".
Pemuda itu menanggapi dengan senyum manis disertai gelengan kepala perlahan.
Aleena pun sedikit tersenyum lega karena ada yang percaya padanya.
"Sampai kapan kita akan terus berada dibawah guyuran hujan?", sambung pemuda itu meminta Aleena berdiri.
"Ah. Ya".
Aleen baru menyadari kalau dia berdiam diri ditengah guyuran hujan. Seketika dia berusaha berdiri namun kedua kakinya keram, jadi Aleen kembali berjongkok.
"Kenapa kamu jongkok lagi? Kamu bisa terkena flu jika terlalu lama diam dibawah guyuran hujan", ujar pemuda itu mengingatkan Aleen.
"Itu, kakiku… tidak bisa berdiri".
Aleen menjawab dengan raut wajah sedih dan malu.
Sesaat mereka terdiam, lalu pemuda itu tersenyum mendengar jawaban Aleen. Tanpa pikir panjang, dia berbalik lalu berjongkok dihadapan Aleen.
"Ambil payung ini dan naik ke punggungku!".
"Nanti… bajumu bisa basah semua", ujar Aleen dengan ragu-ragu.
"Tinggal ganti baju saja. Lagipula sekarang pun sudah basah. Cepatlah, kakiku juga bisa pegal jika terlalu lama jongkok seperti ini".
Pemuda itu bicara dengan nada menggoda.
Aleen terdiam sesaat sebelum dia memutuskan naik ke punggung pemuda itu.
"Pegangan", kata pemuda itu sebelum dia mulai berdiri kemudian berjalan menyusuri hujan yang lebat menuju hotel.
"Sebenarnya… siapa kamu? Kenapa kamu baik padaku? Apa kita saling mengenal sebelumnya?".
Aleen melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus untuk menghilangkan rasa penasarannya.
"Kamu bisa memanggilku Dev. Ini pertama kalinya kita bertemu, tapi aku juga tidak tahu kenapa aku sampai bersikap baik padamu".
Dev menjawab pertanyaan Aleen dengan lembut dan tenang.
"Dev, bukankah aku begitu menyedihkan?Kenapa juga kita harus bertemu sekarang? Pada pertemuan pertama… kamu malah melihat sisi terburukku. Itu sangat memalukan".
Aleena bertanya dengan senyum ketir dibibirnya.
"Kenapa harus malu? Memangnya apa yang kamu lakukan? Kamu tidak melakukan apa-apa, jadi ini bukan kesalahanmu".
Dev bicara dengan lembut untuk menenangkan Aleena.
"Harusnya mereka percaya padaku seperti kamu. Padahal mereka sudah sangat lama mengenalku, tapi mereka tidak ada yang mau mendengarkan penjelasanku. Kenapa mereka seperti itu padaku?".
Aleena terus bicara mengutarakan isi hatinya. Rasa lelah perlahan membuatnya mengantuk. Mata Aleena mulai terlihat sayu.
"Kita sudah sampai".
Dev menoleh dan melihat Aleena tertidur sambil bersandar di punggungnya.
"Tolong ambilkan payungnya. Jangan sampai dia terbangun".
Dev meminta bantuan pada pelayan hotel yang ada disana dan bicara dengan suara pelan. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar hotel.
Dev membaringkan Aleen perlahan begitu mereka tiba dikamar hotel. Dia menatap Aleen yang sedang tidur dengan tatapan iba. Pandangannya terkunci pada pipi Aleen yang merah karena tamparan sang ayah. Dev berniat mengambil handuk kecil dan air dingin untuk mengompres pipi Aleen, namun jika dia melakukannya, sudah pasti Aleen akan terbangun. Jadi Dev mengurungkan niatnya.
"Apa yang harus kulakukan padamu kedepannya?"