"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (23)
Selamat membaca
*****
Mobil Aron sampai di sebuah restoran tempat ia biasa makan siang atau meeting dengan para kliennya. Tepat saat ia masuk sebuah pemandangan menarik perhatiannya.
"Caramel? Dengan siapa dia?"
Aron menghampiri meja dimana ia melihat Caramel dan seorang pria yang duduk membelakanginya. "Caramel? Sedang apa kau di sini? Dan siapa dia?" Aron menelisik wajah pria yang sepertinya tidak asing untuknya. "Sepertinya aku mengenal pria ini."
"Kakak?" Caramel tersenyum. "Aku? Emmm aku sedang bertemu dengan teman lama."
Aron menaikkan sebelah alisnya, "Reynold tahu?"
Caramel mengangguk, "Tentu, aku sudah izin padanya tadi. Kakak sedang apa? Ada meeting di sini?"
"Tidak, hanya makan siang saja," jawab Aron seadanya. Ntah kenapa Aron masih memikirkan pria yang duduk di hadapan Caramel. Ia merasa seperti mengenali dan pernah bertemu dengan pria itu. "Kalau begitu kakak permisi, nikmati pertemuan kalian." Aron pergi dari sana meninggalkan meja Caramel membuat pria itu tersenyum miring.
"Kau takut?"
Tatapan Caramel berubah tajam menatap pria itu, "Diamlah Bian! Itu bukan urusanmu!"
Pria itu, Bian terkekeh kecil di tempatnya. "Tentu saja urusanku. Bayi di dalam perutmu adalah anakku Caramel, dan Aron adalah pamannya. Bukankah dia harus mengetahui semuanya?"
Caramel menggeram marah mendengar ucapan Bian, "Kau sudah berjanji untuk tidak membahas itu jika berada di tempat umum Bian. Aku sudah mengakui semuanya jika ini adalah anakmu, jadi tolong kembali ke perjanjian awal dimana kau tidak akan mengangguku!"
"Sayangnya aku berubah pikiran. Aku ingin anakku menjadi milikku."
"Kau gila?!" sentak Caramel pelan, "Bukannya kau menyukai Auris? Kenapa tidak mengejarnya saja? Kenapa malah menerorku seperti ini?!"
Bian mengedikkkan bahunya acuh, "Auris sudah menikah. Dan lagi, jika aku tetap nekat mengejarnya sama saja aku bunuh diri."
"Aku juga sudah menikah Bian!"
"Tapi kau mengandung anakku."
Caramel terdiam. Dia kalah telak. Ucapan biar benar adanya. "Tapi kita sudah sepakat di awal jika kau tidak keberatan kalau aku menikah dengan Reynold dan anak ini akan menjadi anakku dan Reynold."
"Tidak," Bian tersenyum kecil, "Dia anakku, kenapa harus orang lain yang menjadi ayahnya?" Bian menatap Caramel, "Jika memang begitu, kenapa kau menjebakku malam itu? Kenapa bukan Reynold?"
"Itu bukan urusanmu!" Caramel bangkit dari kursinya meninggalkan Bian yang menyeringai.
"Ternyata begitu menyenangkan bermain denganmu Caramel." Bian mengambil hpnya dan menghubungi seseorang, "Tuan Aldrick, kau sudah mendengar semuanya bukan?"
*****
Pukul 1 siang, Auris baru terbangun dengan kasur yang kosong di sebelahnya. Ia meregangkan otot-ototnya. Tubuhnya terasa lemas dan seperti akan remuk. Aldrick sama sekali tidak memberinya ampun hingga menjelang pagi. Pria itu menggempurnya hingga dirinya sudah tidak bertenaga.
"Sial! Tubuhku sakit semua." Auris mengubah poisisinya menjdi duduk dan bersandar pada headboard kasur, kemudian mengambil hpnya yang berada di atas nakas. Tidak lupa Auris juga melilitkan selimut pada seluruh tubuhnya. Terlihat beberapa notifikasi yang terpampang jelas di layar. Salah satunya pesan dari Marshall yang mengirimkan beberapa file padanya.
Cklek...
Pintu kamar terbuka menampilkan Aldrick yang masuk sambil membawa nampan berisi makanan dan minum di tangannya. Pria itu tersenyum manis sambil mendekat ke ranjang. Aldrick duduk dan meletakkan nampan di atas meja nakas. Cup! "Morning wife."
"Morning husband," balas Auris tersenyum manis. "Tubuhku terasa remuk mas!" rengek Auris manja. "Beri aku cuti ya bos? Aku tidak akan bisa bekerja jika tubuhku remuk seperti ini." pinta Auris dengan wajah memelasnya.
Aldrick terkekeh kecil sambil membawa Auris ke dalam dekapannya. "Kamu bisa cuti sesukamu sayang."
Seketika senyum Auris mengembang. "Jika bisa dimanfaatkan, kenapa tidak? Ah senangnya menjadi istri bos." Auris mendongak menatap Aldrick, "Apakah dia benar-benar mencintaiku? Apa aku jahat karena memanfaatkannya? Maaf."
"Ada apa heem?"
Auris menggeleng. "Suapi aku, perutku sudah berbunyi dari tadi."
Kecupan ringan Auris dapatkan di keningnya. Aldrick melepas pelukan mereka dan mengambil piring berisi makanan lalu menyuapi Auris dengan telaten. "Bian setuju untuk bekerja sama. Dia sudah memulai rencana awal dengan terus menerus mendekati Caramel."
Auris cepat-cepat menelan makanan di mulutnya. "Bian? Rencana? Maksudnya?"
Tak!
"Sakit mas!" ketus Auris ketika Aldrick menyentil pelan keningnya. "Kok malah di sentil sih?!"
"Siapa yang meminta mas untuk membuat Bian agar bekerja sama dengan kita? Lupa heem? Ck..ck..Cantik-cantik ternyata kamu pelupa ya," ucap Aldrick menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau begitu batalkan sa_,"
"_jangan!" potong Auris cepat. Ia sedikit tidak percaya jika Aldrick benar-benar menyetujui permintaannya. Padahal ketika mendengar nama Bian, Auris melihat Aldrick yang sepertinya akan marah. Tapi sekarang dengan tiba-tiba aldrick mengatakan jika Bian sudah setuju bekerja sama dengan mereka. "Jangan dibatalkan. Biarkan saja dia mendekati Caramel."
"Jadi apa rencana kamu selanjutnya?"
Auris terdiam. Mengingat alur novel dimana seharusnya saat ini ia tidak menikah dengan Aldrick karena tokoh Aldrick sendiri jarang disebutkan nyaris tidak pernah. "Minggu depan adalah pelantikan Reynold menjadi CEO Arkatama Group. Disitu juga om Satria akan mengumumkan tanggal pernikahanku dengan Reynold. Karena aku sudah menikah begitupun dengan Reynold, Kira-kira apa yang akan terjadi?Sepertinya akan seru membuat sedikit kekacauan"
"Melon,"
"Hah?"
"Memikirkan apa heem?"
Auris menggeleng. "Tidak ada."
Aldrick mengangguk, kemudian kembali menyuapi makanan ke dalam mulut Auris. "Setelah ini segera bersiap, kita akan mengunjungi suatu tempat."
*****
Auris memilih memakai dress bewarna hitam dengan lengan panjang. Duduk di depan cermin, memakai make up tipis dan membiarkan rambutnya terurai. Setelah puas dengan semua persiapannya. Auris mengambil sling bag miliknya dan keluar dari kamar menemui Aldrick yang sudah menunggunya di lantai bawah.
Disana Aldrick terlihat berbicara dengan Gracella. Terlihat sangat serius. Sampai Auris sendiri penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Kalian membicarakan apa?"
Gracella dan Aldrick spontan menoleh. Gracella tersenyum kemudian bergelayut manja di lengan Auris, "Sesuatu, nanti bunda juga tahu sendiri."
"Sesuatu? Apa itu?"
"Nanti kamu akan tahu sayang," Aldrick berdiri dan menghampiri Auris. Merengkuh mesra pinggangnya membuat Gracella memekik kesal.
"Papa! Menyingkirlah dari bundaku!"
"Dia istri papa, seharusnya kamu yang menyingkir."
"No! Papa lah yang seharusnya menyingkir!" Gracella menarik Auris keluar meninggalkan Aldrick yang berdecak kesal di tempatnya. Ia membawa Auris keluar dari kediaman Alessandro menuju mobil yang akan mereka naiki.
"Kita mau kemana? Kenapa memakai hitam-hitam seperti ini?" Auris baru sadar jika mereka menggunakan pakaian yang sama, yaitu berwarna hitam.
"Bertemu seseorang." Gracella tersenyum tipis.
*****