Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Sandi mengusap kalung yang melingkar di leher Ratna dengan lembut, di bibirnya tersinggung senyum yang sangat manis. "Cantik sekali, Yank,"
"Investasi ini benar-benar sangat menguntungkan ya, Yank? Aku tidak menyangka secepat ini bisa membelikanmu perhiasan." lanjutnya, suaranya meyakinkan. "Kita akan memiliki masa depan yang lebih baik." Ratna mengangguk. Saking bahagianya wanita itu seolah tak mampu berkata.
“Investasi apa sih itu, San?” tanya Bu Rahayu sambil mengerutkan kening, suaranya terdengar sinis. “Jangan-jangan investasi bodong, ya?”
Sandi tersenyum menanggapi cibiran Bu Rahayu. “Enggak kok, Bu. Ini investasi yang aman dan terpercaya. Hasilnya juga jelas, lihat ini,” kata Sandi sambil menunjuk kalung berlian Ratna.
“Halah, kalungnya bagus sih, tapi siapa tahu itu hasil jualan emas atau hasil jualan tanah,” kata Bu Rahayu sambil melirik tajam ke arah Sandy. “Jangan-jangan kamu hutang, San?”
Sandy terkekeh menanggapi sikap ketus dan ejekan dari Ibu mertuanya. “Masa iya cari hutangan hanya untuk beli perhiasan Bu? Terus nanti mau dibayar pakai apa? Masa perhiasannya dijual lagi untuk bayar hutang?” Sandy kemudian menoleh ke arah istrinya. “Kamu boleh Yank, perhiasannya dijual lagi buat bayar hutang?” tanyanya.
Dengan cepat Ratna menggelengkan kepalanya sambil memegang kalung yang melingkar di lehernya erat-erat. Mana bisa seperti itu. Apa yang sudah diberikan padanya tidak boleh diambil kembali. Sandi kembali terkekeh melihat tingkah istrinya.
“Hillihh,,” Bu Rahayu mencoba untuk menyembunyikan ketertarikannya dengan berpura-pura tidak tertarik dan mencibir. Namun, sebenarnya ia tertarik dengan investasi Sandi dan ingin tahu lebih banyak tentang investasi tersebut.
Sementara Ranu, setelah sidang perceraian yang menegangkan, kekalutan masih menyelimuti hatinya. Dia baru saja pulang dari situasi emosional, sehingga pikirannya masih terfokus pada masalah pribadi.
***
Sore hari, Ranu membawa sepeda motor bututnya untuk berjalan-jalan. Kemarin dia ingin membawa motor matic yang dibeli Siska, tapi istri keduanya itu tak mengijinkan, jadilah dia pulang dengan naik bis.
Kepala pria itu masih dihantui bayangan sidang pertama perceraiannya dengan Ina tadi pagi. Penampilan Ina saat berada di ruang sidang, membuatmu terkenang akan pertemuan mereka 12 tahun lalu. Pria itu kemudian membandingkannya dengan penampilan Ina saat masih bersamanya, sangat jauh berbeda.
Rasa sesal di hatinya semakin menyesakkan. Apalagi desakan dari ibunya yang memintanya untuk berusaha agar dia bisa membuat Ina membatalkan gugatan cerai. Dia juga ingin seperti itu, Tapi bagaimana caranya?
Tanpa sadar sepeda yang dikendarai oleh Ranu tiba di desa sebelah di mana Bu Hindun, bibinya Ina tinggal. “Kenapa aku bisa sampai di sini?” gumamnya. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan di mana saat ini dirinya berpijak.
Kepalang tanggung, untuk kembali pulang pun masih belum ingin. Enggan untuk mendengar ocehan ibunya, akhirnya Ranu memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah warung.
Memesan secangkir kopi hitam, Ranu memilih duduk di sudut ruang. Menangkup cangkir dengan dua telapak tangannya. Panas yang terasa dari permukaan cangkir seakan tak berefek. Menyeruput pelan, paduan rasa pahit dan manis yang menyapa lidah, membuatnya memejamkan mata.
“Ina…” desisnya. Setitik airmata tiba-tiba meluncur jatuh, ketika angannya melambung ke masa beberapa bulan silam saat dia pulang dari kota. Itu adalah terakhir kali dia merasakan kopi buatan istrinya. Terngiang jelas, bagaimana dengan pongah dia menghina apa yang telah dibuat oleh istrinya dengan susah payah.
Suara tawa yang familiar tiba-tiba menarik perhatiannya. Ia mendongak mengusap pipinya yang sedikit basah. Terlihat Ina di antara para pengunjung warung. Wajahnya berseri, kepala yang tertutup hijab instan, mengenakan gamis biru muda yang elegan – sangat cantik, persis yang dia temui saat di persidangan. Jauh berbeda dari Ina yang dulu bersamanya, kusam dan lelah.
Terlihat Ina berbincang dengan seorang wanita paruh baya, dan tampak menyadari kehadirannya. Wanita itu terkejut sejenak, lalu tersenyum tipis, sedikit canggung. Melihat wanita paruh baya yang berbincang dengan Ina pamit, Ranu menghampirinya.
"Ina," sapanya, suaranya serak.
“Mas Ranu," balasnya lembut, namun ada jarak dalam suaranya. Memperhatikan keadaan sekitar. Tidak terlalu ramai. Baiklah tak apa bicara dengan Ranu sebentar. Mungkin ini terakhir kali mereka bisa berbincang sebelum dia kembali ke kota
“Kamu... kamu terlihat berbeda,” ucap Ranu.
Ina tersenyum kecil, sedikit pahit. Sudut bibirnya tertarik ke atas, tapi matanya tetap datar, tanpa menunjukkan kehangatan. "Ada yang berubah?"
"Ya," jawab Rano jujur. "Kamu... kamu lebih cantik."
Ina terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Terima kasih." Wajahnya tetap datar. Tak ada sedikitpun ekspresi bahagia atas pujian yang dia dengar.
"Ina," panggil Ranu, suaranya berat. "Aku... aku menyesal…Aku menyesal kita bercerai," lanjut Ranu. “Aku ingin kita kembali. Tolong cabut kembali gugatanmu!” Pintanya.
Ina melipat dua tangannya di depan dada. “Kenapa?” tanyanya datar.
“Sebenarnya, aku menikah dengan Siska karena keinginan Ibu. Aku tak pernah mencintainya. Aku hanya mencintaimu.”Ranu berbicara dengan sorot matanya yang sendu.
Sedetik kemudian, Ina yang tergelak lucu membuatnya mengernyit. Apa yang aneh dari kata-katanya, hingga membuat wanita itu tertawa.
“Kamu tidak salah, Mas? Dipaksa apa memang doyan? Memangnya ibumu bisa menyeretmu ke sana? Pakai apa, ditarik? Atau diberi obat bius hingga kamu tidak sadar? Terus, kalau kamu nina ninu dengan istri barumu, itu juga dipaksa oleh ibumu?” Ina lagi-lagi tergelak.
“Mas,,, mas,,, Kamu ini kalau cari alasan mbok ya yang pas. Walaupun ibumu memaksa, semua itu juga tidak akan bisa terjadi kalau Kamu punya pendirian. Bilang saja Kamu juga mau. Kamu tergoda dengan tubuh seksinya, kamu tergoda dengan hartanya. Jujur itu lebih gentle”
Wajah Ranu merah padam, tangannya terkepal dengan rahang sedikit mengeras, marah sekaligus malu. Walaupun tidak ramai, tetap saja ada beberapa pembeli yang mendengar ucapan Ina.
“Ya, aku doyan. Aku memang salah. Tapi harusnya kamu sadar, ini juga terjadi karena salahmu. Coba saja dari dulu kamu berpenampilan seperti ini. Pasti aku tidak akan bosan padamu. Kamu tidak seperti para istri di luar sana yang bisa menjaga dan merawat diri.” Sarkas Ranu. Biar saja orang dengar. Biar Ina malu.
Suara Ranu yang cukup keras mengundang penasaran orang-orang.
“Di rumah pun Kamu tidak pernah melayani suami dengan benar. Setiap hari makan hanya dengan kangkung. Kamu tidak bisa membuat supaya suami betah di rumah.” Ranu tersenyum licik saat semua yang ada mulai berkerumun.
Ina melihat maksud Ranu, dan wanita itu pun menyeringai. “Kamu itu lucu, Mas. Minta istri tampil cantik tapi gak dimodali. Emang bisa beli bedak dan gincu pakai kerikil?” Ina tentu tak mau Ranu memutar lidah. “Jangankan beli skincare, beli beras saja aku harus gendong dulu kangkung sekarung bawa ke pasar!” Sarkasnya.
“Makan lauk kangkung protes, sekarang koar-koar di sini, Serius kamu gak malu? Coba ingat, emang kamu pernah ngasih uang belanja? Kangkung itupun aku yang harus mandi keringat di kebun kebanggaanmu. Dan Kamu, apa yang Kamu lakukan? Main game. Hanya itu kerjaanmu. Kamu terlalu nurutin ibumu yang membanggakan ijazah sarjana. Emang ijazah bisa dimakan?”
Wajah Ranu pias, dia pikir istrinya masih seperti dulu yang akan tetap diam dan berkata iya jika dia bicara apa pun. Tak disangka, Ina telah berubah begitu banyak.
Ina tidak peduli, Ranu yang memulai. Pria itu yang lebih dulu ingin mempermalukannya. Dan dia hanya sekedar membalikkan keadaan. Jangan berharap dia akan menutupi aibnya. Dia tidak sebaik itu. Wanita itu kemudian melangkah keluar dari warung. Diikuti oleh pandangan Ranu yang menatapnya nanar.
Di depan warung, sebuah sepeda motor Vixion keluaran terbaru, berwarna merah menyala, terparkir gagah. Ina berjalan menuju motor tersebut, sepeda motor yang kata Ina adalah milik Adnan. Sekarang setelah tahu jati diri Ina, Ranu tak yakin akan kepemilikannya. Bisa saja sebenarnya itu milik Ina sendiri. Dan itu membuat Ranu semakin menyesal.
Ina naik ke atas motor itu dan melaju pergi.Ranu meneguk ludahnya, Ina tampak badas dan anggun di waktu bersamaan. Ranu terpaku, motor baru Ina sangat kontras dengan motor bututnya. Ia membayangkan Ina yang dulu selalu mengalah, yang selalu mengutamakan kebutuhan keluarga, bahkan sampai harus mengorbankan keinginannya sendiri.
Ia menyadari betapa piciknya ia dulu, betapa tidak peka ia terhadap kebutuhan Ina. Motor Vixion itu bukan hanya sekadar kendaraan, tetapi simbol dari perubahan hidup Ina, perubahan yang terjadi setelah ia bebas dari beban pernikahan yang tidak adil.
Ranu merasa sesal yang amat sangat. Penyesalannya bukan hanya tentang perceraian, tetapi juga tentang ketidakpeduliannya terhadap Ina dan kehidupannya. Ia menyadari bahwa permintaan maafnya tidak cukup, bahwa ia telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Ia hanya bisa terdiam, menyaksikan Ina pergi, meninggalkan rasa sesal yang mendalam di hatinya.