NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Dijodohkan Orang Tua / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nike Nikegea

Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 : Adam yang beranjak dewasa

Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Adam kini berusia 15 tahun, tumbuh menjadi remaja yang cerdas tetapi mulai menunjukkan sifat pemberontakan khas anak muda. Alya dan Rayhan, yang terbiasa mengasuh Adam sebagai anak kecil yang patuh, mulai menghadapi tantangan baru sebagai orang tua dari remaja.

Suatu malam, Rayhan dan Alya menunggu Adam pulang dari acara sekolah. Namun, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan Adam belum juga tiba. Alya yang cemas mulai berkali-kali menelepon, tetapi Adam tidak mengangkat panggilannya.

“Ray, kok Adam belum pulang juga sih? Katanya acara selesai jam delapan. Kenapa dia belum ngabarin?” tanya Alya, gelisah.

Rayhan mencoba menenangkan istrinya, meski dia sendiri mulai khawatir. “Coba tenang dulu, Alya. Mungkin dia lagi di jalan. Remaja itu kadang suka lupa waktu.”

Namun, saat Adam akhirnya pulang pukul 11 malam, dia datang dengan ekspresi acuh tak acuh. Alya langsung menghampirinya di ruang tamu. “Adam! Kamu tahu nggak kita nungguin dari tadi? Kenapa nggak ngangkat telepon?”

Adam hanya mengangkat bahu. “Lagi sibuk, Ma. Nggak sempat buka HP.”

“Bukan itu caranya! Kamu harus kasih kabar kalau pulang telat. Kamu nggak tahu kita khawatir?” Alya mulai menaikkan nada suaranya.

Rayhan yang melihat situasi itu mencoba menengahi. “Adam, Mama cuma khawatir. Lain kali kasih tahu kalau ada apa-apa.”

Namun, Adam membalas dengan nada kesal. “Papa juga jangan ikut-ikutan, dong. Aku kan udah gede, bisa jaga diri sendiri.”

Alya terdiam, merasa sakit hati mendengar jawaban itu. Sementara Rayhan mencoba menahan emosi, dia tahu bahwa Adam sedang dalam fase sulit, di mana dia ingin merasa mandiri tetapi masih butuh bimbingan.

Malam itu, Alya dan Rayhan berbicara berdua di kamar. “Ray, aku takut kita nggak bisa ngontrol Adam. Dia udah beda banget sekarang,” kata Alya sambil mengusap wajahnya.

Rayhan menarik napas panjang. “Dia lagi mencari jati diri, Alya. Kita nggak bisa terus-terusan memarahinya. Kita harus cari cara lain buat mendekatinya, biar dia tahu kita ini ada buat dia, bukan untuk mengatur.”

Alya mengangguk, meski hatinya masih gelisah. “Aku cuma takut kehilangan dia, Ray.”

Rayhan menggenggam tangan Alya dengan lembut. “Kita nggak akan kehilangan dia. Adam cuma butuh waktu. Kita harus sabar dan tetap ada untuknya.”

---

Setelah kejadian malam itu, Alya dan Rayhan memutuskan untuk mencoba pendekatan baru. Mereka mulai lebih sering melibatkan Adam dalam diskusi keluarga, memberinya kebebasan lebih, tetapi tetap dengan aturan yang jelas.

Rayhan mencoba mendekati Adam dengan cara yang berbeda. Suatu pagi, dia mengajak Adam bermain bola di taman dekat rumah. Awalnya, Adam terlihat enggan, tetapi setelah beberapa menit bermain, dia mulai menikmati waktu bersama ayahnya.

“Adam, Papa ngerti kalau kamu mau lebih mandiri. Tapi, kalau kamu butuh apa-apa, Papa dan Mama selalu ada buat kamu, ya,” kata Rayhan sambil tersenyum.

Adam hanya mengangguk pelan. Meski dia tidak mengatakan banyak, Rayhan tahu bahwa kata-katanya sampai ke hati Adam.

Sementara itu, Alya mencoba mendekati Adam dengan cara yang lebih personal. Dia sering membuat makanan favorit Adam dan mengajaknya berbicara saat makan malam. Alya juga mulai mendengarkan cerita-cerita Adam tanpa menghakimi, meski terkadang sulit baginya untuk menerima keputusan-keputusan remaja Adam.

Perubahan itu perlahan mulai membuat Adam merasa lebih nyaman di rumah. Dia mulai berbagi lebih banyak cerita, meski tidak semuanya. Alya dan Rayhan merasa lega, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang.

---

Meski Adam mulai terbuka dengan Alya dan Rayhan, ada sesuatu yang mengganjal. Suatu malam, ketika Rayhan melihat nilai Adam di portal sekolah, dia terkejut menemukan beberapa nilai yang anjlok. Padahal, sebelumnya Adam selalu mendapat nilai baik.

“Adam, bisa kita bicara sebentar?” tanya Rayhan saat Adam sedang bermain game di kamarnya.

Adam melepaskan headset-nya dengan malas. “Ada apa, Pa?”

Rayhan duduk di sampingnya, menatap layar komputer yang masih menyala. “Nilai kamu kenapa turun? Kamu ada kesulitan di sekolah?”

Adam mendengus, mengalihkan pandangan. “Nggak ada apa-apa, Pa. Aku cuma capek.”

Alya yang mendengar percakapan itu dari luar kamar ikut masuk. “Adam, kalau kamu ada masalah, bilang sama Mama dan Papa. Jangan dipendam sendiri.”

Adam menghela napas panjang. “Aku bilang nggak ada apa-apa, kan?” Suaranya meninggi, membuat Alya terdiam.

Rayhan mencoba menenangkan. “Oke, kita nggak mau paksa kamu cerita sekarang. Tapi, kapan pun kamu siap, kita selalu ada buat kamu.”

Adam tidak menjawab, hanya kembali memakai headset-nya. Alya dan Rayhan keluar dari kamar dengan hati yang berat.

“Ray, aku takut ada sesuatu yang dia sembunyikan,” gumam Alya.

“Kita kasih dia waktu, Alya. Tapi kita juga harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Rayhan tegas.

---

Beberapa minggu berlalu, hingga suatu hari Alya dipanggil oleh wali kelas Adam. Di ruang guru, wali kelas Adam memulai percakapan dengan raut serius.

“Ibu Alya, saya ingin bicara tentang Adam. Belakangan ini, dia sering terlihat tidak fokus di kelas. Kami juga mendapat laporan bahwa dia pernah terlibat perdebatan dengan teman sekelasnya,” kata guru itu.

Alya terkejut. “Tapi, Adam nggak pernah cerita apa-apa di rumah. Ada masalah apa sebenarnya?”

Wali kelas menghela napas. “Kami menduga Adam sedang merasa tertekan. Ada isu di kelas tentang dia sering dibandingkan dengan anak-anak lain. Sepertinya itu membuatnya kehilangan percaya diri.”

Mendengar itu, hati Alya mencelos. Setelah pertemuan itu, dia langsung menceritakan semuanya kepada Rayhan.

“Ray, ternyata Adam merasa tertekan karena sering dibandingkan. Aku nggak tahu harus gimana, aku merasa gagal jadi ibu,” katanya dengan suara bergetar.

Rayhan merangkul Alya. “Kita nggak gagal, Alya. Kita cuma perlu lebih dekat sama dia. Aku akan bicara sama Adam malam ini.”

Malamnya, Rayhan mengajak Adam bicara dengan hati-hati. “Adam, tadi Mama ketemu wali kelas kamu. Kita tahu kamu lagi kesulitan.”

Adam terdiam, menunduk. “Aku capek, Pa. Semua orang nuntut aku ini itu. Aku nggak mau dibilang nggak cukup baik.”

Rayhan menggenggam bahu Adam. “Dengar, Nak. Kamu nggak perlu jadi sempurna buat bikin Mama dan Papa bangga. Kamu cukup jadi diri kamu sendiri.”

Adam akhirnya menangis, melepaskan semua beban yang selama ini dia pendam. Alya yang ikut mendengar percakapan itu menghampiri dan memeluk Adam erat.

“Kita ini keluarga, Adam. Apa pun yang kamu rasakan, jangan simpan sendiri,” bisik Alya dengan suara lembut.

---

Setelah percakapan itu, hubungan Adam dengan orang tuanya semakin membaik. Alya dan Rayhan mulai lebih sering melibatkan Adam dalam kegiatan keluarga dan memberinya ruang untuk berbagi.

Adam perlahan menemukan kembali semangatnya. Dia mulai berbicara dengan teman-temannya dan menunjukkan minat baru di bidang seni. Suatu hari, dia menunjukkan sebuah lukisan kepada Alya dan Rayhan.

“Aku ikut lomba seni di sekolah. Kalian pikir ini cukup bagus?” tanyanya ragu.

Alya dan Rayhan tersenyum bangga. “Bagus banget, Nak. Kamu punya bakat besar,” puji Alya.

“Kalau kamu suka, kejar itu, Adam. Papa dan Mama akan selalu mendukung kamu,” tambah Rayhan.

Hari lomba pun tiba, dan meski Adam tidak menang, dia merasa lebih percaya diri karena dukungan orang tuanya. Dia tersenyum saat melihat Alya dan Rayhan menyemangatinya dari bangku penonton.

“Aku tahu aku nggak menang, tapi aku senang karena kalian selalu ada buat aku,” kata Adam sambil memeluk kedua orang tuanya.

Rayhan menepuk punggungnya. “Menang atau kalah nggak penting, Nak. Yang penting kamu menikmati apa yang kamu lakukan.”

Alya tersenyum, merasa bahwa mereka akhirnya menemukan cara untuk mendukung Adam tanpa memberikan tekanan berlebih. Keluarga kecil mereka, meski tidak sempurna, kembali harmonis dengan cinta dan pengertian.

---

1
Niat
suka banget, aku suka ngebacanya 🤩
semangat kak 🤗
Niat
ini novel pertama yang ku baca 😊
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁
Tae Kook
Thor, ini cerita adalah yang pertama kali aku baca dan membuatku ketagihan.
Coralfanartkpopoaf
Meresapi setiap detail dalam cerita ini. 🧐
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!