Kimberly atau dipanggil Lily usia 21 tahun gadis tangguh yang memiliki bela diri tingkat tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata. Mempunyai Alter Ego bernama Emily, orang yang dingin, terkejam tanpa ampun terhadap musuhnya, tidak mempunyai hati. Emily akan muncul apabila Lily dalam keadaan sangat bahaya. Namun konyolnya, Lily mati karena bola susu yang tersangkut di tenggorokannya ketika sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat reality show Korea favorit nya.
Lily terbangun di tubuh Kimberly Queeni Carta, pewaris tunggal keluarga Carta, konglomerat no 02 di Negara nya. Mempunyai tunangan bernama Max yang tidak menyukainya dan terang-terangan menjalani hubungan dengan Lolita.
Kimberly sekarang bukanlah Kim si gadis lemah dan penakut seperti dulu. Kimberly menjadi sosok yang menakutkan dan membalikkan penghinaan.
Kimberly bertemu dengan Davian Isandor Dhars, tunangan masa kecilnya yang dingin dan diam-diam selalu melindunginya.
Akankah Lily akan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Gak Guna
Lily berjalan-jalan menjelajahi rumah sakit, matanya memperhatikan setiap sudut. Sesekali ia mengintip pasien yang tengah dirawat, dan sesekali ia berhenti untuk sekadar memperhatikan suasana rumah sakit yang penuh aktivitas. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kerumunan orang di salah satu sudut.
Dari kejauhan, terdengar suara ribut dan seruan-seruan cemas. Dengan rasa ingin tahu, Lily mendekati kerumunan tersebut. Ia menyelinap di antara orang-orang, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Di tengah kerumunan, tampak seorang wanita hamil yang terlihat kesakitan. Wajahnya pucat, dan ia memegangi perutnya sambil meringis. Namun, di saat kondisinya kritis seperti itu, ia tampak terlibat perdebatan sengit dengan seorang wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya.
Lily menoleh pada seorang ibu yang berdiri tak jauh darinya, tampak serius mengamati drama tersebut. “Maaf, Bu, ini ada apa ya? Kok ramai sekali?” tanyanya dengan nada penasaran.
Ibu itu langsung menoleh pada Lily, wajahnya tampak kesal sekaligus prihatin. “Itu, Nak. Yang lagi marah itu mertuanya, dan yang hamil itu menantunya. Kata dokter, dia harus operasi karena pinggulnya sempit, jadi nggak mungkin lahiran normal. Tapi si mertua nggak mau tahu, pokoknya harus normal, katanya tradisi.”
Lily mengerutkan kening. “Terus, suaminya gimana? Apa nggak membela istrinya?” tanyanya dengan suara penuh emosi.
Ibu itu melirik seorang pria yang berdiri diam di sisi mertua tersebut. “Itu dia, suaminya. Nggak ngapa-ngapain dari tadi, cuma diem aja, kaya nggak ada nyawa. Kasihan banget istrinya, harus adu mulut sama mertua, sementara dia cuma berdiri bengong di belakang.”
Lily mendesah keras, tangannya berkacak pinggang. “Aduh, suami kayak gitu sih nggak ada gunanya. Nggak perlu dipertahankan, Bu!” ucapnya tanpa ragu, suaranya cukup lantang hingga beberapa orang di sekitar menoleh.
Pandangan Lily kembali ke ibu hamil yang semakin kesakitan. Ia menyadari air ketubannya mulai menetes perlahan ke lantai. Melihat kondisi darurat ini, Lily langsung mengambil langkah cepat.
“Aku nggak bisa diam saja melihat ini!” gumamnya pada diri sendiri sebelum akhirnya maju ke tengah kerumunan. Suasana semakin tegang, namun Lily sudah memutuskan untuk turun tangan.
Lily melihat situasi yang semakin kacau. Sang ibu hamil terlihat kesakitan, memegang perutnya erat-erat dengan napas yang tersengal. Di sebelahnya, mertua yang tampak keras kepala terus berbicara, sementara suami si ibu hanya berdiri seperti patung, tak berbuat apa-apa. Orang-orang yang berkerumun di sekitar mereka terlihat bingung, tak tahu harus berbuat apa.
Melihat air ketuban mulai menetes, Lily tahu waktunya bertindak. Dia menghela napas panjang, memasang wajah tegas, lalu melangkah maju ke tengah kerumunan.
“Maaf, permisi semuanya!” suara Lily cukup lantang untuk menarik perhatian. Orang-orang di sekitarnya menoleh ke arah gadis yang mengenakan pakaian rumah sakit tapi penuh percaya diri ini.
Dia langsung menghampiri si ibu hamil yang nyaris tak bisa berdiri lagi. “Keadaan ini tidak boleh dibiarkan lebih lama. Nyawa ibu ini dan bayinya dalam bahaya!” ujar Lily sambil memeriksa dengan cepat kondisi si ibu.
“Eh, siapa kamu, ya? Jangan ikut campur urusan keluarga kami!” bentak si mertua dengan nada galak, menatap Lily dari atas ke bawah.
Lily tak terpengaruh. Tatapannya dingin tapi tajam. “Saya mungkin orang luar, tapi ini soal hidup dan mati. Jika tidak segera dilakukan tindakan medis, Anda siap mempertaruhkan dua nyawa sekaligus?!”
Si mertua terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Lily, tapi ia kembali ngotot. “Dokter yang bicara saja belum bisa meyakinkan saya, apalagi kamu! Melahirkan itu harus normal, sudah dari dulu begitu. Kalau operasi itu mahal, berbahaya, dan tidak perlu kalau cuma masalah pinggul sempit!”
Lily menghela napas panjang, berusaha sabar, tapi dalam hatinya ia mendidih. Dia melirik si suami yang masih diam tak bereaksi. "Kamu! Suami macam apa yang hanya diam saat istri dan anakmu dalam bahaya? Bukannya melindungi mereka, kamu malah membiarkan ibumu yang menentukan semuanya!" Nada suara Lily tajam, membuat suami itu langsung menunduk malu.
“Ibu,” Lily menatap mertua itu lagi. “Jika Anda sayang pada keluarga Anda, biarkan dokter melakukan yang terbaik. Biaya bisa dicari nanti, tapi kalau nyawa hilang, Anda tidak akan bisa mengembalikannya!”
Sementara itu, si ibu hamil sudah terlihat sangat kesakitan, nyaris kehilangan energi. Lily segera memberi isyarat pada perawat terdekat. “Bawa tandu, kita harus segera ke ruang operasi!”
Para perawat segera bergerak, dan orang-orang memberikan jalan. Si mertua masih ingin protes, tapi Lily menatapnya tajam. “Pilihan ada di tangan Anda. Jika terjadi sesuatu pada mereka karena keputusan Anda, itu tanggung jawab Anda sepenuhnya!”
Mertua itu terdiam dengan wajah penuh kebingungan. Tanpa menunggu izin lagi, Lily membantu perawat mengangkat si ibu hamil ke tandu. “Cepat! Air ketubannya sudah habis banyak, kita harus segera ke ruang bersalin!” katanya dengan sigap.
Lily yang sudah di ruang gawat darurat melihat keadaan ibu hamil semakin parah. Setiap detik semakin berharga, namun yang menghalangi langkah medis selanjutnya adalah tanda tangan persetujuan dari suaminya yang belum juga diberikan. Si dokter sudah datang dan tampak khawatir, terlihat jelas dari ekspresinya yang serius.
"Kenapa masih belum masuk? Jika berlama-lama begini, bahaya untuk ibu dan anak!" ujar dokter dengan nada tegas, kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya. Di sampingnya, beberapa perawat terlihat bingung dan cemas menunggu persetujuan dari pihak yang bersangkutan, suami si ibu yang hamil.
Lily yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan mendengarkan percakapan tersebut, merasa tak bisa tinggal diam. Pandangannya tertuju pada suami yang masih terlihat kebingungan dan sama sekali tak berani bergerak. Sang mertua juga tak jauh dari situ, masih terlihat ngotot dan terus mencoba ikut campur.
Lily menyadari situasi ini bisa berlanjut terlalu lama jika dibiarkan, jadi dia mengambil langkah cepat.
“Maaf, saya harus minta maaf sebelumnya, tapi kondisi ibu di sini sudah sangat kritis!” ucap Lily dengan suara keras, menarik perhatian semuanya. Kemudian, dengan keberanian yang sudah mengalir dalam dirinya, ia melangkah maju.
“Tolong! Jika kalian masih belum bisa mengambil keputusan, saya akan lakukan yang terbaik untuk membantu mereka.” Tangan Lily meraih tangannya dan menaruh dengan lembut di bahu suami ibu hamil itu.
Si suami masih berdiri canggung, seolah bingung dihadapkan pada situasi ini, tak tahu harus bagaimana. Tanpa ragu, Lily menggenggam tangannya, lalu menatapnya tajam. "Kamu adalah suami dari ibu hamil ini, benar? Apakah kamu ingin kehilangan nyawa istri dan anakmu hanya karena satu tanda tangan? Sekarang pilih, selamatkan nyawa mereka atau jadi bagian dari masalah ini.”
Lily mengeluarkan kata-kata itu dengan penuh tekanan. Dia tak memberi ruang untuk ragu. Sesaat setelah mendengar perkataan Lily, wajah si suami tampak menyesal. Keputusan harus segera diambil.
Setelah beberapa detik yang terasa berat, suami itu akhirnya mengangguk dan segera mencabut pulpen yang ada di meja. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menandatangani dokumen persetujuan untuk operasi caesar.
"Terima kasih," kata Lily dengan singkat dan penuh syukur.
Setelah tanda tangan itu diberikan, dokter segera bergerak cepat menuju meja medis dan perawat langsung bersiap memindahkan ibu hamil tersebut ke ruang operasi.
"Terima kasih sudah membantu, saya akan pastikan semuanya berjalan dengan lancar," kata dokter sambil melangkah menuju peralatan operasi.
Saat tandu bergerak, Lily tetap mendampingi ibu hamil itu, menenangkan dengan suara lembut. “Tenang, Bu, semuanya akan baik-baik saja. Percayakan pada tim medis. Ibu hanya perlu tetap bernapas perlahan.”
Lily memandang kembali ke arah ibu hamil yang sudah dibawa ke ruang bersalin. Dengan perasaan lega, dia bisa merasa sedikit tenang. "Semua akan baik-baik saja," katanya dalam hati sebelum dokter dan perawat memasuki lift khusus pasien.
Mertua dan suami yang sempat bingung akhirnya tersadar akan pentingnya keputusan cepat ini, tetapi hanya bisa menonton saat tim medis melakukan pekerjaan mereka untuk menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
Kerumunan akhirnya bubar, dan Lily melangkah mantap pergi meninggalkan suami dan mertua yang terdiam di belakangnya. Ini hari yang sibuk, tapi Lily tahu ia tak bisa tinggal diam saat ada yang membutuhkan bantuan.
mantap grazy y
lanjut lagi Thor...