Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari perlindungan
Kabut pagi mulai menyelimuti jalanan kota, memberikan suasana yang seram pada bangunan yang sudah lama terbengkalai. Matahari terbit perlahan di balik awan tebal, menyisakan cahaya yang nyaris pucat, seperti enggan menyentuh tanah kota yang kini dipenuhi keputusasaan.
Samuel, Darius, Lara, dan Scrappy berdiri di ambang jalan, menatap arah yang akan mereka tempuh. Setelah pengalaman mencekam di lorong bawah tanah, mereka sepakat untuk segera meninggalkan kota. Ancaman dari zombie mutasi membuat mereka menyadari bahwa waktu mereka di sini sudah habis.
“Ayo, kita tidak bisa lama-lama di sini,” ujar Samuel, dengan nada tegas namun rendah. Ia tahu bahwa suara sedikit saja bisa menarik perhatian para zombie.
Lara mengangguk setuju, meski wajahnya masih menunjukkan ketegangan dan kelelahan yang jelas. Scrappy berdiri di sampingnya, mengendus-endus udara seakan memastikan bahwa tak ada bahaya di sekitar. Darius, dengan tatapan tajam, melirik sekeliling dan memastikan mereka aman sebelum melangkah lebih jauh.
Mereka berjalan dengan hati-hati, melangkah dari satu tempat perlindungan ke tempat lain, menghindari jalan utama yang mungkin diisi oleh zombie. Gedung-gedung tinggi yang dulu megah kini berdiri seperti bayangan suram yang tidak bergerak. Jalanan penuh dengan reruntuhan dan mobil-mobil yang terparkir tanpa arah, sisa-sisa dari kepanikan yang terjadi ketika wabah mulai menyebar.
“Jadi, ke mana tujuan kita sekarang?” tanya Lara, memecah keheningan. Suaranya berbisik, penuh kehati-hatian.
Samuel menoleh ke arahnya dan menjawab, “Kita menuju ke luar kota. Mungkin di sana, kita bisa menemukan tempat yang lebih aman. Selama ini, kota besar seperti ini selalu menjadi pusat keramaian, dan itu membuatnya berbahaya.”
Darius menambahkan, “Kota ini sudah penuh dengan zombie. Lebih lama kita di sini, lebih besar kemungkinan kita bertemu dengan mereka… atau sesuatu yang lebih buruk.” Tatapan mata Darius berubah gelap saat ia mengingat zombie mutasi yang hampir saja mengejar mereka.
Lara hanya bisa mengangguk, memahami situasi genting yang mereka hadapi. Dengan hati-hati, mereka bergerak menuju daerah perbatasan kota. Jalan yang mereka tempuh semakin sepi, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin jarang bangunan yang berdiri kokoh. Beberapa rumah dan toko terlihat sudah dirusak, jendela-jendelanya pecah dan dindingnya penuh grafiti. Di salah satu dinding, seseorang pernah menuliskan dengan cat merah tebal: **"Hati-hati! Mereka semakin kuat!"**
Tulisan itu mengingatkan mereka pada kenyataan yang mengerikan bahwa zombie terus berevolusi, menjadi semakin berbahaya dan sulit dikalahkan.
“Jadi, apakah kita punya tujuan pasti di luar kota ini?” tanya Darius pada Samuel.
Samuel mengangguk. “Ada kabar yang kudengar dari seseorang di radio tentang pos perlindungan di perbatasan. Mereka bilang tempat itu dilindungi tembok tinggi dan penjagaan ketat. Tempat itu mungkin bisa menjadi rumah sementara bagi kita, setidaknya sampai kita menemukan tempat yang benar-benar aman.”
“Jika benar ada pos itu, kita harus segera menuju ke sana,” ujar Lara dengan nada penuh harap. “Tempat seperti itu mungkin punya persediaan makanan, air, dan senjata yang bisa membantu kita bertahan.”
Samuel tersenyum kecil melihat harapan di wajah Lara, tapi ia juga tahu untuk tetap waspada. “Kita belum tahu pasti situasi di sana. Semoga saja kabar itu benar. Tapi jika tidak, kita harus siap dengan kemungkinan terburuk.”
Dengan tekad baru, mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang hari, mereka melewati jalan-jalan sepi dan gang-gang gelap yang penuh dengan reruntuhan. Scrappy, yang tetap berada di dekat Samuel, sesekali berhenti dan mengendus-ngendus, memastikan tak ada bahaya di sekitar.
Ketika matahari mulai terbenam, mereka menemukan sebuah bangunan kecil yang tampak cukup kokoh di pinggiran kota. Mereka sepakat untuk berhenti di sana dan beristirahat. Bangunan itu tampak seperti bekas toko kecil yang menjual barang-barang kelontong. Rak-raknya kosong, hanya menyisakan beberapa kaleng makanan yang berdebu.
“Lumayan,” ujar Darius sambil menepuk kaleng tersebut, membuka isinya, dan membagikan kepada yang lain. “Kita butuh energi untuk melanjutkan perjalanan besok.”
Mereka duduk melingkar, menikmati makanan seadanya dengan keheningan yang penuh kewaspadaan. Malam mulai menjelang, dan suara angin yang menderu di luar menambah ketegangan dalam suasana mereka. Scrappy duduk di samping Samuel, tampak lelah namun tetap waspada.
“Aku tidak pernah menyangka hidupku akan seperti ini,” gumam Lara dengan suara pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Samuel menatapnya dengan simpati. “Kita semua merasakan hal yang sama. Dulu, aku hanya kurir makanan yang menjalani hidup sederhana. Tapi sekarang… kita hanya bisa bertahan.”
Lara mengangguk, tersenyum pahit. “Aku dulu bekerja di rumah sakit. Aku biasa menolong orang. Tapi kini… rasanya aku hanya berusaha untuk bertahan hidup sendiri.”
Darius mendengus pelan. “Masa lalu sudah tak ada artinya. Sekarang kita berada di dunia yang baru, dan di dunia ini, hanya yang kuat yang akan bertahan.”
Kata-kata Darius membuat suasana kembali hening. Masing-masing larut dalam pikiran mereka, merenungkan masa lalu yang kini hanya tinggal kenangan. Malam semakin larut, dan satu per satu mereka tertidur, beristirahat untuk perjalanan panjang yang masih menanti di depan.
Samuel terbangun lebih awal dari yang lain, merasa gelisah dengan suasana di luar. Ia melirik ke arah Darius dan Lara yang masih tertidur lelap, kemudian bangkit perlahan untuk berjaga di pintu masuk bangunan itu. Scrappy mengikutinya, duduk di sampingnya sambil mengeluarkan suara pelan yang seolah menunjukkan dukungan.
Samuel menatap anjing kecil itu dan tersenyum. “Kau tahu, Scrappy? Kau mungkin anjing paling pemberani yang pernah kutemui.”
Scrappy menggoyangkan ekornya pelan, seolah memahami pujian itu.
Namun, di tengah keheningan itu, telinga Samuel menangkap suara langkah kaki yang berat di kejauhan. Ia segera merunduk, mengisyaratkan Scrappy untuk diam. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan besar bergerak perlahan di jalan. Dari penampilan dan cara berjalannya, ia bisa mengenali bahwa itu adalah zombie mutasi yang mereka temui sebelumnya.
Makhluk itu berjalan lambat, matanya yang kosong menatap lurus ke depan tanpa tujuan. Namun, setiap langkahnya membuat suara berderak yang menyeramkan, seolah tubuhnya terbuat dari logam berkarat. Samuel merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia tahu bahwa jika makhluk itu menemukan mereka, pertempuran akan sulit dihindari.
Ketika bayangan itu berlalu, Samuel menarik napas lega, tapi ia tahu bahwa kota ini semakin tidak aman. Mereka harus segera meninggalkan tempat ini sebelum zombie mutasi dan gerombolan lainnya menemukan jejak mereka.
***
Pagi berikutnya, mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih cepat dan lebih waspada. Setiap suara, setiap bayangan di kejauhan, membuat mereka tegang. Darius memimpin jalan, diikuti oleh Lara yang sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti.
Hari itu, mereka berjalan jauh lebih lama daripada sebelumnya. Samuel mulai merasakan kelelahan, namun ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan yang lain. Akhirnya, di tengah hari, mereka tiba di sebuah bukit yang menawarkan pemandangan luas dari perbatasan kota.
Di kejauhan, mereka melihat sebuah bangunan besar dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, tampak seperti benteng pertahanan. Samuel menunjuk ke arah bangunan itu. “Lihat, itu mungkin pos perlindungan yang kita cari.”
Darius mengamati bangunan tersebut, lalu mengangguk dengan antusias. “Ayo, kita tidak bisa berhenti di sini. Semakin cepat kita sampai, semakin cepat kita bisa merasa aman.”
Lara, meski lelah, menunjukkan senyum kecil. Mereka akhirnya memiliki tujuan yang jelas, harapan untuk berlindung dari mimpi buruk yang terus menghantui.
Dengan semangat baru, mereka melanjutkan perjalanan menuju pos perlindungan di perbatasan kota, berharap bahwa tempat itu akan menjadi jawaban bagi mereka yang telah kehilangan segalanya. Tapi di dunia baru ini, mereka tahu bahwa tak ada yang benar-benar pasti.