Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Jahitan di Seragam Persit Halwa
Halwa masih tercenung di sofa sembari menatap seragam Persit bekas, yang entah bekas siapa. Seragam bekas itu tidak masalah baginya, tapi yang membuat dia sakit hati dan kecewa, kenapa Cakar baru memberikannya di hari yang sudah mepet seperti ini? Belum lagi dia harus mengecilkan dulu pinggang dari rok maupun ke atasannya yang terlihat sangat longgar untuknya.
"Tega banget Mas Cakar memberikan seragam ini disaat waktunya sudah mepet, mana pinggangnya longgar. Kenapa tidak dikecilkan dulu ke tukang jahit saja seragam ini?" Halwa berpikir sedih seraya menatap dalam seragam itu.
"Trek."
Suara pintu dibuka, Cakar masuk dan heran dengan Halwa yang masih tercenung di sofa seraya menatap seragam Persit yang akan dipakai besok.
"Halwa, kenapa seragamnya masih kamu tatap? Bukannya segera kamu kecilkan yang longgar itu!" tegurnya.
"Iya, Mas. Tapi aku perlu kamu antar ke tukang obras untuk mengecilkan rok dan atasannya, mungpung belum jam tujuh." Halwa menyahut.
"Kenapa tidak kamu kecilkan sendiri? Lagipula tukang jahit hari Minggu sudah tutup dari sore tadi," alasannya.
"Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Halwa menatap Cakar dengan sudut mata yang mulai berkaca-kaca.
"Sudah aku bilang tadi, jahit saja sendiri. Pakai jarum jahit tangan. Kamu pasti bisa menjahit pakai tangan," ujar Cakar segampang itu.
"Kenapa Mas Cakar tidak persiapkan dari seminggu yang lalu seragamnya, bukankah acara kantor seperti ini pasti beritanya tembus seminggu sebelumnya?" Halwa balik bertanya, tentu saja nadanya rendah, ia tidak berani berkata lantang terhadap Cakar.
"Aku lupa, aku terlalu banyak kegiatan di kantor. Tolonglah mengerti aku. Sekarang patuhi saja perintah aku, kecilkan saja baju itu sama jarum tangan, kamu juga bisa," jawab Cakar, diakhir kalimat tetap memberi perintah supaya Halwa mengecilkan seragam itu oleh tangannya sendiri.
Halwa tidak menyahut, jawaban Cakar tadi sungguh membuatnya sedih. Sudah tidak dianggap, masalah baju untuk acara kantor saja sampai lupa. Sakit rasanya hati.
"Kenapa kamu diam, kamu tidak terima baju seragam bekas ini? Bekas-bekas juga seragam ini pemberian Ibu. Coba kalau Ibu tidak memberikan ini, mau pakai apa kamu besok?" tegur Cakar menatap tajam ke arah Halwa.
"Bukan aku tidak suka seragam bekas, Mas. Setidaknya kamu siapkan seragam ini seminggu yang lalu atau paling lambat dua hari sebelumnya. Kalau seperti ini, aku belum tentu bisa mengerjakannya." Halwa protes dan menangis karena ia benar-benar sungguh kecewa dengan Cakar yang sepertinya sangat menyepelekannya.
"Kan sudah aku bilang, aku lupa karena di kantor sibuk. Kamu paham tidak? Ya sudah, aku minta maaf," ucapnya sedikit melemah dengan meminta maaf.
Halwa terlanjur meneteskan air mata, permintaan maaf Cakar tidak berarti apa-apa untuknya yang terlanjur sakit hati.
"Besok aku absen saja Mas menghadiri acara Persitnya," katanya sembari keluar dari kamar.
Jantung Cakar tiba-tiba berdegup dan dia tidak mau kalau Halwa sampai tidak datang di acara Persit itu.
"Halwa tolong mengerti aku. Aku mohon, setelah ini aku janji aku belikan seragam Persit yang baru untuk kamu. Kembalilah dan segera perbaiki seragam itu," tahannya meraih lengan Halwa dan membujuknya.
Halwa melepaskan tangan Cakar dari lengannya, ia berjalan menghampiri sofa dan meraih seragam Persit bekas itu, lalu membawanya keluar kamar tanpa menghiraukan Cakar lagi.
"Halwa," tegurnya sembari menatap kepergian Halwa. Halwa tidak membalas, ia sungguh kecewa oleh Cakar. Halwa memburu beranda di loteng itu dan memilih di sana mengecilkan seragam itu. Pada akhirnya dia patuh dan mengalah pada Cakar meskipun hatinya sakit. Sejenak Halwa menumpahkan air mata sedihnya di sana sampai ia merasa lega.
Setelah itu, Halwa bangkit meskipun isak tangis itu masih membekas. Dia menuju gudang serba ada di rumah itu, yang menyimpan benda kecil sampai peralatan rumah tangga lainnya. Halwa mencari jarum dan benang yang dia butuhkan saat ini. Dengan hati yang masih dilanda sedih, kecewa dan marah, Halwa mengecilkan seragam itu sesuai kemampuannya.
Halwa cukup menarik beberapa senti dari ban pinggang rok untuk disesuaikan dengan pinggangnya, lalu blousnya ia kecilkan juga di bagian sekeng pinggang sesuai ukurannya.
Jam sebelas malam, Halwa menyudahi kegiatannya. Rasa kantuk sudah sangat mendera, lamat-lamat dia tertidur di sofa beranda tanpa selimut atau bantal.
Kumandang azan Subuh tiba, Halwa bergeliat dan bangun dari tidurnya yang lelap akibat lelah semalam. Sejenak ia kaget, karena kepalanya sudah menyentuh bantal dan tubuhnya ditutupi selimut.
"Apakah Mas Cakar yang memberikan bantal dan selimut ini?" duganya sembari bangkit.
Pagi ini Cakar dan Halwa sudah bersiap, ternyata seragam Persit yang ia kecilkan bagian pinggangnya itu, kini melekat di badan Halwa begitu sempurna. Tidak terlihat lagi seragam itu longgar di tubuhnya. Bahkan blous atasnya juga, sama rapi dan melekat di tubuh Halwa tidak terlihat seragam bekas yang dikecilkan, padahal Halwa hanya mengecilkannya dengan jarum tangan dan cukup dijelujurnya dengan jarak yang sedikit kerap.
Cakar menatap lega ke arah Halwa, untuk hari ini ia terselamatkan. Seragam yang dikecilkan Halwa tadi malam ternyata tidak terlihat mempermalukan. Aura ibu Persit muda dalam diri Halwa sangat keluar, Halwa begitu cantik dan anggun.
Tatapan Cakar tidak Halwa balas atau hiraukan, dia berusaha bersikap tegar setelah kejadian semalam, setelah ia merasa disepelekan Cakar. Kekaguman Cakar pun, kini tidak berarti lagi untuknya. Halwa bersikap biasa di depan Cakar.
Mereka berdua segera berangkat setelah sarapan pagi, menggunakan mobil Cakar menuju kantornya. Tiba di kantor, suasana mulai ramai dan dipadati para istri tentara yang semuanya memakai seragam Persit.
"Halwa, berkumpullah bersama istri Persit yang lain. Aku menghadap Dantonku dulu. Kamu dengarkan aba-aba dari pembawa acara yang berbicara dengan pengeras suara. Lalu ikuti ke mana dia mengarahkan," pesan Cakar sebelum meninggalkan Halwa bersama istri-istri yang lain yang masih bergerombol tidak teratur.
"Halwa," panggil seseorang menuju Halwa. Halwa menoleh ke arah suara itu. Bibir Halwa terangkat tatkala melihat Rani dan Diva menghampirinya. Dia ikut senang karena Diva juga kebetulan sudah bisa menghadiri acara Persit, karena sebulan yang lalu Diva sudah resmi menikah dengan Ardi.
"Kalian. Beruntung bisa bertemu kalian lagi," ucap Halwa senang seraya merangkul kedua temannya yang masih setia sampai kini, walau status karirnya jauh berbeda dengan Halwa. Mereka punya karir yang bagus. Rani seorang Manager di sebuah mall ternama kota ini, sementara Diva pemilik medicare yang mulai ramai pelanggan akhir-akhir ini, tapi mereka berdua tidak pernah mengasingkan atau menjauhi Halwa sebagai teman.
"Wahh, ternyata ucapanku tempo hari benar. Aku pernah meminta kalian berjanji untuk menghadiri acara Persit bersama-sama, dan nyatanya kini kita bersama-sama menghadiri acara Persit. Ternyata doa yang baik itu didengar Allah," seru Rani bahagia, yang diangguki Halwa dan Diva.
Acara beberapa saat lagi dimulai, Rani dan Diva sejenak saling tatap saat melihat jahitan sekeng/ kupnat di pinggang blus milik Halwa terlihat melebar, meskipun tidak besar, tapi jahitan yang terlihat menunjukkan bahwa jahitannya hanya dijahit dengan jahitan tangan. Kebetulan Halwa berada di depan Rani dan Diva yang melihat dengan jelas.
"Diva, sepertinya blus seragam yang dipakai Halwa merupakan blus bekas yang sengaja dikecilkan, kamu lihat tidak tadi jahitannya, beda dengan jahitan mesin." Rani mengirim pesan WA pada Diva, ia merasa iba melihat blus yang dipakai Halwa.
"Iya, aku tahu. Kenapa suaminya tidak membelikan seragam Persit untuk Halwa malah memberinya bekas, kedodoran pula. Untungnya kalau sekilas tidak kelihatan banget. Tega banget Mas Cakar. Aku jadi merasa berdosa sudah mencomblangi Halwa sama Mas Cakar." Diva membalas pesan Rani, ia pun merasa iba dengan Halwa.
Suara pembawa acara telah diperdengarkan dalam pengeras suara. Para istri tentara dipersilahkan memasuki sebuah ruangan yang sudah dipersiapkan beberapa hari sebelumnya.
"Diva, Rani, ayo. Kita sudah disuruh memasuki gedung," ajak Halwa pada Rani dan Diva yang tengah termenung iba dengan yang terjadi pada Halwa.