Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 07
Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa waktu makan malam pun juga telah usai. Akan tetapi belum ada tanda-tanda Sebastian akan kembali ke rumah, padahal papa Steven telah kembali sedari tadi sore. Entah kemana dia, pikir Almira.
"Apa kak Tian lembur malam ini?" Gumam Almira yang memang sedari tadi sore sudah menunggu kedatangan Sebastian. "Sudah jam delapan. Aku tunggu di kamar atau di sini saja, ya? Emm... Sebaiknya aku tunggu di sini saja lah," sambungnya seraya duduk di salah satu sofa yang berada di ruang tamu.
"Almira?!" Sapa papa Steven.
"Pam... Eh, Papa. Ada apa?" ucap Almira yang masih saja kagok akan panggilan tersebut.
Almira pada papa Steven mungkin bisa, tapi pada mama Siska...??? Perlu dipertanyakan lagi.
"Sedang apa Kau di sana?" Tanya papa Steven seraya berjalan mendekati Almira.
"Ooh, itu... Anu... Apa..."
"Menunggu Bastian?" Sela papa Steven.
"I-iya, Pa," ucap Almira tersenyum canggung. "Tumben jam segini belum pulang. Kenapa ya, Pa? Apa Papa tahu?" Tanyanya beruntun.
"Ya. Sebastian saat ini sedang lembur," jawab papa Steven.
"Ah, Papa mengetahui hal, itu??"
"Ya. Dan sebaiknya Kau beristirahatlah. Karena sepertinya Sebastian akan pulang larut malam," perintah papa Steven.
"Iya, Pa. Tapi mungkin aku akan menunggu kak Tian beberapa waktu lagi," ucap Almira.
"Baiklah, terserah padamu saja. Papa tinggal."
"Iya, Pa."
Almira pun menghela nafasnya dengan berat, dan benar-benar masih menunggu Sebastian di ruang tamu. Sesekali Almira melihat jam dinding yang menggantung di atas dinding sana.
"Sudah jam sepuluh lewat. Aku tunggu lagi atau tidak, ya..?" Gumamnya sembari menguap. "Tapi aku ngantuk sekali..." Ucapnya lagi. "Aku coba tunggu lima menit lagi saja. Jika kak Tian tidak datang juga, aku akan kembali ke kamar," lanjutnya sembari merebahkan tubuhnya di sofa, setelah sebelumnya meletakkan kembali sebuah majalah yang dibacanya untuk menemaninya.
Akan tetapi, belum juga ada tiga menitan, Almira telah berpindah ke dunia mimpinya.
***
Jam telah menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit, saat itu pula barulah terdengar deru mesin mobil yang biasa dikendarai oleh Sebastian.
Saat baru membuka pintu utama dengan menggunakan kunci cadangan yang dirinya bawa, Sebastian mengernyit heran karena lampu di ruang tamu masih menyala.
"Tumben jam segini lampu masih menyala??" Ucapnya sembari kembali mengunci pintu dari dalam. Setelahnya segera berjalan menuju arah saklar lampu ruang tamu untuk dimatikannya. Akan tetapi, saat dirinya melewati sofa panjang di sana, pandangannya tak sengaja menangkap sesosok tubuh tengah berbaring di sana.
"Almira??" Ucapnya setelah menoleh dan memastikan siapa sosok pemilik tubuh yang tengah tertidur dan memunggunginya itu. "Mengapa dia tidur di sana?" Gumamnya seraya mendekati tubuh Almira yang tengah tertidur pulas. "Apa dia menungguku??" Tanyanya pada diri sendiri. Membuat hatinya tiba-tiba menghangat jika benar apa yang baru saja dipikirkannya adalah benar adanya. "Jika benar begitu.. Bukankah dia seharusnya pindah ke kamar saja saat merasakan kantuk?! Al.. Al. Ada-ada saja," ucapnya lagi seraya meletakkan tas kerjanya di atas meja dan berniat akan menggendong Almira.
"Kak Tian..?! Kau sudah pulang?" Baru saja Sebastian membalikkan tubuh Almira, Almira tiba-tiba membuka mata karena tidurnya terganggu.
Melihat Almira yang telah membuka mata, Sebastian segera menegakkan kembali tubuhnya.
"Iya, aku sudah pulang. Mengapa Kau tidur di sini? Apa Kau menungguku?" Tanya Sebastian memastikan, yang ternyata Almira langsung mengangguk. Dan entah mengapa membuat dada Sebastian seperti ada banyak bunga yang baru mekar kala melihat respon yang diberikan Almira. "Mengapa tak menunggu di kamar saja..?" Lanjutnya sembari mencoba mengalihkan debaran aneh yang dirasakannya.
"Tidak, karena ada yang ingin aku bicarakan dengan Kak Tian," jawab Almira seraya bangkit dari berbaring nya. "Tapi Al perhatikan sepertinya Kak Tian saat ini sedang lelah, jadi besok sajalah," lanjutnya.
"Tak apa.. Katakanlah, Kakak akan dengarkan," ucap Sebastian dengan lembut seraya duduk di samping Almira. Membuat Almira yang mendengarnya jadi tersenyum, karena merasa kak Tian nya yang dulu telah kembali setelah beberapa hari ini menghilang tertutupi aura dingin. Namun hanya beberapa saat, karena di detik berikutnya senyum Almira hilang tanpa bekas.
"Ini yang aku takutkan, Kak..., dengan Kau yang bersikap lembut seperti ini kepadaku, aku takut nantinya aku akan juga jatuh cinta pada Kakak.., padahal Kak Tian hanya menganggap ku seorang adik. Seharusnya kakak tidak seperti ini. Seharusnya kakak tetap bersikap seperti beberapa hari ini, dingin dan acuh. Agar perasaan ini tak menjadi terlalu dalam dan mati seiring waktu sebelum berkembang," batin Almira sembari matanya terus menatap lekat wajah sosok kakak yang kini menjadi suaminya.
"Almira!" Panggil Sebastian.
"Eh, kenapa tadi, Kak?" Sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut Almira setelah tersadar dari lamunannya.
"Kau ini."
"Aw! Kak Tian..! Kebiasaan sekali!" Gerutu Almira dengan wajah cemberut, dan bibir dimajukan.
"Cepat katakan, apa yang ingin kau bicarakan padaku?" Tanya Sebastian seraya menyilangkan tangan di depan dada dan dengan salah satu kaki yang bertumpu diatas kaki lainnya, tak lupa dengan tatapan seriusnya yang dirinya tujukan untuk Almira pertanda telah siap mendengarkan.
"Aku..."
"Aduh, bagaimana cara ku mengatakannya?? Rasanya malu sekali jika harus to the poin," batin Almira seraya menggigit bibir bawahnya.
"Emm... Aku..."
"Tunggu," sela Sebastian disaat otaknya mengingat sesuatu.;"Al," panggilnya.
"Kenapa??"
"Ada yang ingin kakak tanyakan padamu,"
"Apa?"
"Apa..."
"Bagaimana jika itu benar?" Batin Sebastian yang tiba-tiba jadi was-was sendiri.
"Apa, apa?"
"Hem??" Pertanyaan Almira kembali menyadarkan Sebastian dari lamunan singkatnya.
"Apa... Apa kau memiliki kekasih??"
"Kekasih??" Ulang Almira dengan kening berkerut karena bingung.
"Iya... Kekasih... Apa kau memiliki kekasih?" Sebastian mengulang pertanyaannya untuk memastikan benar tidaknya, karena dirinya tak ingin egois hanya karena demi yang lainnya tapi menyakiti yang lainnya juga. Karena jika memang benar itulah yang sebenarnya, yaitu Almira memiliki kekasih, maka dirinya akan memilih jalan tengah, yaitu akan memberi pernyataan jika dirinya bermasalah dalam kesuburan sehingga dirinya bisa melepaskan Almira untuk mencari kebahagiaannya, walau....
"Apa sih kak? Kekasih apa?!" Ujar Almira yang sepertinya masih bingung akan apa yang di ucapkan Sebastian.
"Itu, waktu itu. Beberapa hari yang lalu kau bersama seorang pria yang sepertinya seumuran denganmu. Waktu itu aku melihatmu ketika baru kembali dari pertemuan dengan klien," ucap Sebastian mengingatkan Almira pada kejadian beberapa hari lalu.
"Bertemu seorang pria??" Ulang Almira dengan otaknya yang mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu.
"Di taman!" Ucap Sebastian dengan kesal karena Almira yang tak kunjung mengingatnya.
"Di taman??" Ulang Almira lagi.
"Ooh... Aku ingat sekarang!" Serunya kala otaknya telah mengingatnya, menyebabkan kantuk yang sedari tadi masih menyerangnya sirna seketika.
Melihat respon Almira, entah mengapa membuat Sebastian semakin kesal. Mengingat jika saat ini Almira pasti tengah terbayang wajah pria yang saat itu bersamanya.
"Jadi benar bukan, orang itu kekasih mu?" Tanya Sebastian lagi, memastikan.
"Hais! Mana ada seperti itu. Orang yang disebut orang itu oleh Kak Tian memiliki nama. Dan namanya___"
"Terserah! Kakak tak peduli mau orang itu bernama siapa," sela Sebastian. "Yang kakak tanyakan disini, dia itu___"
"Bukan," Almira juga ikut menyela.
"Bukan?" Ulang Sebastian memastikan.
"Iya bukan," jawab Almira dengan pasti. "Dia itu Ditto, teman sewaktu Al kuliah," lanjutnya. "Tapi bukan teman dekat, hanya teman seangkatan dan teman sekedar sapa saja," ralatnya dengan cepat, takut jika Sebastian sampai salah paham.
Tunggu dulu! Salah paham???
"Jika di ingat-ingat... Sepertinya kak Tian sikapnya berubah dingin dan acuh setelah.... Apa jangan-jangan....." Almira membatin seraya menoleh ke arah Sebastian yang duduk tepat di sampingnya.
"Apa??" Tanya Sebastian kala melihat tatapan Almira yang menurutnya agak mencurigakan.
"Kak, jawab dengan jujur," ujar Almira dengan tatapan serius.
Membuat Sebastian jadi mengernyitkan dahi mendengar hal tersebut, namun tetap mengiyakan.
"Apa Kak Tian bersikap dingin beberapa hari ini karena marah melihat Al bersama Ditto? Atau bahkan karena Kak Tian cem__"
Cup!
Secara tiba-tiba Sebastian mengecup bibir Almira sebelum Almira menyelesaikan kalimatnya. Walau hanya sekilas, tapi berhasil membuat Almira membeku dengan mata yang membulat sempurna.
"Almira, jadilah istriku yang sesungguhnya."
***