Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Di Balik Gerbang Megah
Pagi itu, suasana di apartemen Naura terasa berbeda.
Sejak subuh, ia sudah bersiap, mengenakan gaun sederhana tetapi anggun berwarna krem yang dipilihkan Bimo.
Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan wajahnya yang bersinar, meski ada sedikit gugup yang tidak bisa ia sembunyikan.
Hari ini, untuk pertama kalinya, ia akan bertemu keluarga Bimo. Setelah pernikahan siri itu berlangsung.
Maklum pernikahan itu hanya dihadiri oleh ayah Bimo dan dua sepupunya sebab ibunya sedang sakit.
“Naura, kamu sudah siap?” suara Bimo terdengar dari ruang tamu.
Membuat Naura terkejut, padahal kala itu ia sedang mematut diri di hadapan pantulan cermin.
Naura menarik napas panjang sebelum keluar dari kamar.
Pria itu berdiri di dekat pintu, mengenakan kemeja putih dengan jas abu-abu yang sempurna membingkai tubuh tegapnya. Ia tersenyum saat melihat Naura.
“Kamu cantik sekali,” puji Bimo sambil menggenggam tangan Naura. “Mereka pasti akan menyukaimu.”
Naura hanya bisa membalas dengan senyum gugup. Meski Bimo berusaha menenangkannya, ia tidak bisa menghilangkan bayangan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
Mobil mereka meluncur ke luar kota, melewati jalan-jalan yang dihiasi pepohonan rindang.
Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah gerbang besar berwarna hitam dengan ukiran emas yang megah.
Naura memandang kagum saat gerbang itu terbuka perlahan, memperlihatkan rumah megah bergaya klasik Eropa di ujung jalan berkerikil.
“Ini rumahmu, Mas?” tanya Naura dengan mata membelalak.
Ya. Naura hanyalah perempuan tanpa kasta yang beruntung dinikahi pria kaya. Ia sadar diri.
“Rumah orang tua, lebih tepatnya. Tapi ya, aku besar di sini.” Bimo tertawa kecil.
Naura merasa dadanya berdegup kencang. Ia tidak pernah membayangkan akan menginjakkan kaki di tempat semewah ini.
Hatinya berkecamuk antara rasa takjub dan ketidaknyamanan. Tentu saja rasa takut lebih mendominasi.
Sesampainya di depan rumah, seorang pelayan segera membuka pintu mobil mereka. Bimo turun lebih dulu, lalu membimbing Naura keluar.
“Jangan takut,” bisik Bimo sambil meremas lembut tangannya.
Mereka disambut oleh seorang wanita paruh baya yang berdiri di pintu masuk.
Wajahnya terlihat anggun dengan riasan tipis, tetapi ada sorot mata tajam yang membuat Naura merasa sedikit terintimidasi.
“Bu, ini Naura,” ujar Bimo dengan nada hangat.
Ibu Bimo menatap Naura dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menilai setiap detail penampilannya.
“Oh, jadi ini dia,” ujarnya dengan nada datar.
“Selamat pagi, Ibu.”
Ibu Bimo tidak langsung menjawab, tetapi akhirnya tersenyum tipis. “Masuklah. Kita bisa bicara di dalam.” Naura menunduk sopan.
Sikap Ibu Bimo mendadak membuat senyuman di wajah Naura memudar perlahan.
Kakinya mendadak berat melangkah. Takut.
Selama makan siang, suasana terasa agak canggung.
Ibu Bimo lebih banyak berbicara dengan Bimo, sementara Naura hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat yang dilemparkan kepadanya.
Sesekali, ia menangkap tatapan dingin dari wanita itu, seolah-olah dirinya tidak cukup layak untuk berada di meja makan itu.
Namun, Bimo terus berusaha mencairkan suasana.
Ia menggenggam tangan Naura di bawah meja, memberikan isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.
“Naura adalah wanita yang luar biasa, Bu,” kata Bimo di tengah percakapan.
“Dia memiliki hati yang tulus, dan aku yakin dia akan menjadi bagian penting dalam keluarga kita.”
Ibu Bimo hanya mengangguk pelan, tanpa memberikan komentar.
Naura mencoba tetap tersenyum, meski hatinya mulai terasa tidak nyaman. Matanya bahkan sempat berembun kala itu. Malu bercampur takut.
Setelah makan siang, Bimo mengajaknya berjalan-jalan di taman belakang rumah, meninggalkan ibunya yang masih duduk di ruang makan.
“Maafkan sikap Ibu tadi,” ujar Bimo sambil menggandeng tangan Naura.
“Dia memang sedikit sulit menerima orang baru. Tapi aku yakin, seiring waktu, dia akan menyukaimu.”
Naura mengangguk, meski ia tidak sepenuhnya yakin.
Namun, ia tidak ingin memperburuk suasana dengan mengungkapkan keraguannya.
Keesokan harinya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Saat Naura bangun, seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dengan membawa nampan berisi sarapan.
“Bu Nyoman menyuruh saya membawakan ini untuk Anda,” kata pelayan itu dengan sopan.
Naura terkejut, tetapi ia menerima sarapan itu dengan senyum.
Setelah selesai makan, ia turun ke ruang tamu dan mendapati ibu Bimo sedang duduk di sana, tersenyum hangat padanya.
“Naura, mari duduk di sini,” panggilnya.
Naura mendekat dengan ragu, tetapi ibu Bimo tampak berbeda dari hari sebelumnya.
Ia mulai mengajak Naura berbicara tentang banyak hal, dari hobi hingga rencana masa depan.
“Kamu tahu, Bimo itu keras kepala,” ujar ibu Bimo sambil tersenyum kecil.
“Tapi dia jarang membawa wanita ke rumah ini. Kamu pasti sangat istimewa untuknya.”
Mendengar itu, hati Naura menghangat.
Ia mulai merasa bahwa ibu Bimo mulai menerimanya, meski perubahannya terasa tiba-tiba.
Hari-hari berikutnya, ibu Bimo bahkan mengajak Naura pergi berbelanja bersama.
Ia memilihkan pakaian-pakaian mahal untuk Naura, seolah-olah ingin memanjakan calon menantunya.
Naura merasa seperti berada di dunia dongeng, dikelilingi oleh kemewahan dan perhatian.
Bimo, di sisi lain, semakin menunjukkan perhatiannya.
Ia selalu memastikan bahwa Naura merasa nyaman dan bahagia.
Ia sering membawa Naura ke tempat-tempat romantis, memberinya hadiah, dan mengatakan hal-hal manis yang membuat hati Naura luluh.
“Mas, aku merasa seperti hidup di dunia mimpi,” ujar Naura suatu malam saat mereka duduk di balkon kamar, memandang bintang-bintang.
“Kamu tidak bermimpi, Naura. Ini semua nyata. Aku akan selalu ada untukmu, memastikan kamu bahagia.” Bimo merangkulnya erat.
Naura merasa dirinya benar-benar hanyut dalam cinta.
Semua keraguan dan kekhawatirannya perlahan memudar. Ia ingin percaya bahwa Bimo adalah jawaban dari semua doa dan harapannya.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada satu hal yang tidak bisa ia lupakan sepenuhnya—masa lalu Bimo yang penuh dengan bayangan gelap.
Meski Bimo terus meyakinkannya bahwa semuanya telah berubah, Naura tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa takut bahwa kebahagiaan ini hanyalah sementara.
Dan benar yang ia terka, seorang perempuan bernama Nina tiba-tiba nyelonong masuk, lalu mengambil beberapa paper bag belanjaan Naura.
"Maaf, kamu siapa ya? Itu kantong belanja saya. Pemberian ibu Mas Bimo tadi siang," keluh Naura sambil bersungut.
"Nina, sepupunya Mas Bimo. Dia gak pernah bilang? Aku adek kesayangan. Oh ya, kok aku ragu ya ... Budhe kasih kamu banyak barang mahal," gerutunya membuat Naura kesal.
"Ambil saja kalau mau, lagi pula aku tidak begitu butuh. Mungkin kamu lebih butuh!" Naura sengaja melemparkan kalimat menghujam.
Bagaimana tidak? Sepupu Bimo rupanya sengaja menunjukkan sikap tak suka secara terang-terangan. Seperti menantang perang. Ada amarah dari sorot matanya.
Perempuan belia itu pergi sambil membawa beberapa paper bag pemberian obu Bimo tanpa bicara sepatah kata lagi. Membuat Naura mengesah berat setelahnya.
Malam itu, saat ia berbaring di tempat tidur, Naura memikirkan semua yang telah terjadi.
Ia ingin percaya bahwa cinta mereka akan bertahan selamanya, tetapi bayangan masa lalu terus menghantui pikirannya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan