Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Ia hidup menyedihkan dalam kemiskinan bersama sepasang anak kembarnya, padahal ayah dari anak-anaknya adalah orang terkaya di kotanya.
Semua bermula dari suatu malam yang nahas. Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
“Sky ... Kau kemana saja, Nak?” Hanna meraih tubuh Sky tanpa mengindahkan kehadiran Evan. Memeluk dan membenamkan kecupan demi kecupan. Seluruh kekhawatiran yang tadi menghantuinya seketika sirna.
“Maafkan aku, Mommy.” Tangan kecil Sky mengusap wajah Hanna demi menghapus lelehan air mata.
Melirik paper bag di tangan Evan, Hanna sudah menebak bahwa Sky diam-diam pergi ke kafe dan meminta kebab untuk Star. Ya, Sky sangat menyayangi adiknya dan akan melakukan apapun demi Star.
Ketika melihat Hanna berjalan membelakanginya, Evan melangkah masuk walaupun belum mendapat izin dari sang pemilik rumah. Evan terhenyak, pandangannya menyapu seisi rumah kecil itu. Di sisi kiri ada dua kursi dan sebuah meja makan. Terdapat kamar mandi berukuran kecil di sudut ruangan, lantai hanya dialasi oleh terpal berbahan plastik dan sebuah tirai penghalang di bagian kiri. Melalui celah tirai itu, Evan dapat melihat Star terbaring di atas sebuah kasur berukuran kecil. Detik itu juga, cairan bening seakan mendobrak. Evan tak tahan lagi membayangkan hari demi hari Hanna dan kedua anaknya menghabiskan waktu di rumah itu.
“Terima kasih sudah mengantar Sky pulang. Kau boleh pergi,” ucap Hanna mendudukkan Sky di kursi.
Evan mengusap air mata yang baru saja menetes dan menyembunyikan agar Hanna tak melihat. Ia menarik napas dalam demi menguatkan hatinya. “Aku dengar dari Sky bahwa Star sedang sakit. Apa aku boleh melihatnya?”
Hanna seketika membungkam, namun kebisuan seolah menjawab segalanya. Isak tangis mulai menggema. Meskipun Hanna adalah seorang wanita dengan pendirian kuat, ia tetaplah seorang ibu yang lemah ketika anaknya dalam keadaan sakit. Bagaimana pun juga, Star membutuhkan seorang dokter dan ketidakberdayaan ini berhasil menundukkan-nya.
Evan merasakan getaran di setiap langkahnya menuju sosok kecil yang tampak begitu lemah. Kemudian berhenti saat berada di tepi pembaringan. Dari tempatnya berdiri, ia dapat mendengar setiap tarikan napas Star yang berat. Evan menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Tubuh Star terbalut selimut tipis hingga batas leher, hanya wajahnya yang terlihat memucat.
Tangan Evan mengulur menyentuh kening. Bola matanya terpejam ketika merasakan suhu tubuh Star yang jauh di atas normal.
“Star ...” Evan merengkuh tubuh lemah itu dan mendekapnya dalam tangisan. Sesaat kemudian, ia bangkit dan membawa Star dalam gendongannya. Keluar melewati tirai pembatas itu.
“Ayo cepat, Star butuh perawatan. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”
Gerakan cepat Evan membuat Hanna tak ada waktu untuk berpikir. Ia lantas mengulurkan tangan pada Sky dan ikut keluar. Berjalan dengan tergesa di belakang Evan yang sudah keluar dari rumah lebih dulu dan menuju sebuah mobil yang terparkir di ujung gang kecil itu.
"Cepat naik!" Evan membuka pintu mobil belakang sehingga Hanna segera naik. Ia meletakkan Star di pangkuan Hanna. "Sky ... Kau di depan!"
Secepat kilat mobil melaju, melesat di keramaian jalan. Sambil menyetir, Evan meraih ponsel yang berada di dalam dashboard.
“Demir, bisakah kau siapkan satu ruangan anak untukku? Ya, aku ada pasien emergency. Tolong kau hubungi juga Dokter Alaz. Katakan aku butuh bantuannya,” ucap Evan pada seseorang yang baru dihubunginya melalui telepon.
__
__
__
Suasana menjadi lebih tenang sekarang. Star sudah berada dalam penanganan beberapa dokter ahli anak. Hanna diam berdiri dan hanya melihat dari balik jendela kaca. Tampak beberapa alat medis terpasang di tubuh Star. Tatapannya kosong, seakan tiada daya bahkan untuk sekedar menangis.
“Mommy ...” Panggilan lembut itu berhasil menyadarkannya dari lamunan, mengembalikan akal sehatnya yang hampir hilang. Setidaknya ia memiliki Sky yang juga butuh perhatian.
“Iya, Nak ...” Hanna mundur beberapa langkah dan duduk di sisi Sky. Memeluknya dan membenamkan ciuman di kening.
“Star akan sembuh kan, Mommy. Star akan baik-baik saja?” Pertanyaan itu menimbulkan rasa bersalah yang besar. Merasa yang terjadi adalah karena kelalaiannya mengawasi Star hingga pergi tanpa sepengetahuannya.
“Star akan baik-baik saja, jangan khawatir,” ujar Evan mengukir senyum di wajahnya dan duduk berjongkok di hadapan Sky, tangannya mengulur mengusap puncak kepala. “Adikmu sangat kuat. Sebentar lagi dia pasti akan sembuh.”
Sky tersenyum, lalu menggenggam jemari Hanna. “Dengar kan, Mommy. Star akan segera sembuh.”
Hanna masih bungkam dan menciptakan kecanggungan di antara mereka. Evan pun berdiri dari duduknya. Ia masih ada urusan penting.
“Baiklah ... Aku ada urusan sebentar. Kalau butuh sesuatu, aku ada di ruangan pojok kanan.”
Hanna hanya menjawab dengan anggukan kepala.
_
_
_
Evan menuju sebuah ruangan setelah memastikan keadaan Star cukup stabil. Tampak seorang dokter menyambutnya ketika memasuki ruangan itu.
"Alaz, aku sangat membutuhkan bantuanmu," ucap Evan menjatuhkan tubuhnya di kursi.
"Ya, aku tahu. Kau sudah mengatakannya di telepon tadi. Tapi ... apa kau yakin dengan kecurigaanmu?"
"Karena itulah aku butuh memastikan dengan melakukan tes DNA," ujarnya. "Aku tidak ada pilihan lain. Hanna sangat keras kepala, kalau aku bertanya langsung padanya, dia tidak akan mau jujur."
Evan menggeser sebuah kotak kecil ke hadapan Dokter Alaz, yang mana membuat dahi dokter ahli genetika itu berkerut.
"Apa ini sampel rambut anak itu?" Dokter Alaz meraih kotak berisi sampel rambut.
Evan mengangguk. Tanpa sepengetahuan Hanna, ia mengambil rambut Sky dan Star untuk diserahkan kepala Dokter Alaz agar dilakukan tes DNA. Setelah melihat kemiripannya dengan Sky dan Star, serta mendengar pengakuan Sky tadi, ia semakin yakin bahwa sepasang anak kembar itu adalah anaknya dan gadis yang bersamanya tujuh tahun lalu adalah Hanna.
"Aku perlu mengetahui hasilnya secepat mungkin untuk membuktikan bahwa mereka memang anakku."
****
bahagia deh jdnya
samangat sll ka
mantap
wanita pemberani
kalo zian dah hbs tu ayael