NovelToon NovelToon
Contracted Hearts

Contracted Hearts

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Chu-Chan

Lyra terpaksa cuti dari pekerjaannya untuk menjenguk neneknya yang sakit di kota N, hanya untuk menemukan bahwa neneknya baik-baik saja. Alih-alih beristirahat, Lyra malah terlibat dalam cerita konyol neneknya yang justru lebih mengenalkan Lyra pada Nenek Luna, teman sesama pasien di rumah sakit. Karena kebaikan hati Lyra merawat nenek-nenek itu, Nenek Luna pun merasa terharu dan menjodohkannya dengan cucunya, seorang pria tampan namun dingin. Setelah nenek-nenek itu sembuh, mereka membawa Lyra bertemu dengan cucu Nenek Luna, yang ternyata adalah pria yang akan menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan kontrak. Apa yang dimulai sebagai perjanjian semata, akhirnya menjadi permainan penuh teka-teki yang mengungkap rahasia masa lalu dan perasaan tersembunyi di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 9

Hari ini hari minggu, tentu saja hari dimana semua perusahaan meliburkan beberapa karyawannya yang tidak memiliki jadwal kerja di hari itu.

Seperti hari minggu sebelumnya, Lyra selalu menghabiskan masa liburannya dengan berbaring diatas kamarnya sembari, membaca tumpukan komik miliknya.

Sementara, aira di dapur menyiapkan makanan. Aira selalu mendapat jadwal memasak di hari minggu. Karena hari lain, lyra lah yang memasak. Sembari bersenandung riang, aira menyiapkan makanan.

“Araaa, ayok makan.”Teriak Aira dengan nada seriosanya.

Lyra bergegas bangun dan menuju ke dapur, Aira masih dengan gaya terus bersenandung. Kemudian, ia duduk dihadapan lyra untuk menyatap makanan bersama. Mereka makan sembari berbincang riang.

“Eh, Aira,” kata Lyra, menyendok makanannya dengan sendok, sambil menatap temannya yang tampak fokus pada ponselnya.

“Progress musik latar dan efek suara buat prototipe game kita gimana? Ada yang baru?”

Aira mengangkat kepalanya dari ponsel dan tersenyum lebar. “Oh, pasti! Musik latar untuk beberapa area udah hampir selesai, tuh. Aku baru nyelesain tema untuk kota utama, dengan suasana yang lebih ceria dan dinamis. Efek suara juga lagi aku kerjain misalnya, efek serangan pertama karakter udah kelar.”

Lyra mengangguk, menyesap minumannya. “Oh, itu bagus banget! Kalau bisa, efek suara serangan harusnya bisa lebih terasa dampaknya, ya? Kayak ada kekuatan magisnya, gitu.”

Aira mengangguk dengan antusias. “Iya, iya! Aku juga mikir buat nambahin resonansi buat ngebuat serangan itu lebih terasa sihirnya. Jadi, kalau udah mulai pertempuran, langsung kerasa!”

“Pasti keren,” jawab Lyra sambil tersenyum, merasa senang dengan semangat Aira.

“Terus, bagaimana dengan musik buat dungeon dan hutan? Harus ada perbedaan yang jelas kan, antara daerah yang satu dengan yang lainnya?”

“Oh, itu udah aku pikirin!” sahut Aira dengan semangat. “Untuk dungeon atau hutan, aku pengen pakai musik yang lebih misterius, slow, dan agak gelap. Sedangkan untuk daerah perkotaan, biar lebih hidup dan cepat, jadi pemainnya nggak ngerasa jenuh.”

Lyra tampak puas dengan penjelasan Aira. “Keren! Kamu selalu punya ide yang menarik, Aira. Musik dan efek suara itu bagian yang sangat krusial buat membangun atmosfer game, apalagi game kita kan penuh dengan eksplorasi dan cerita, jadi atmosfer yang tepat bakal nambahin pengalaman banget buat pemain.”

Aira tersenyum bangga. “Makasih, Ara! Kalau ada yang kurang, langsung kasih tahu aja, ya? Biar bisa lebih disempurnakan.”

Aira kembali menatap ponselnya, tiba-tiba matanya melotot membaca email yang baru saja ia terima. Tanpa bisa menahan diri, ia terkejut dan menjerit keras.

“Aaaa....” Jeritan Aira membuat Lyra yang sedang mengunyah makanan hampir tersedak.

“Ada apa, Aira?” tanya Lyra dengan wajah terkejut, setengah panik.

Aira menatap Lyra dengan ekspresi yang sulit dipahami. “Ara, kau pasti nggak bakal percaya ini,” katanya, suaranya bergetar, penuh kebingungan dan juga kegembiraan.

“Iya, apa?” tanya Lyra, penasaran.

Aira melemparkan ponselnya ke arah Lyra, dan dengan ekspresi yang mulai riang, ia berkata, “Kau tahu manager Naveed menghubungiku, dia bilang Naveed menyukai laguku! Ia ingin bertemu denganku untuk membahas lagu itu!”

“Benarkah?” tanya Lyra, matanya tak bisa lepas dari layar ponsel Aira yang ia baca. Ia mengerutkan kening, tidak percaya, dan berkata dengan nada yang sama terkejutnya.

“Wah, akhirnya kehaluanmu dikabulkan, Tuhan!”

Aira tertawa bangga, menarik kembali ponselnya dengan ekspresi penuh kemenangan.

“Uhhh, tapi lihatkan sekarang aku nggak halu lagi,” ujarnya, senyum lebarnya hampir tak bisa disembunyikan.

“Baiklah, nyonya yang suka halu dan sekarang kenyataan. Kapan kalian akan bertemu?” tanya Lyra, masih dalam keadaan terkejut.

“Uhmm, sebentar malam jam 8 di Mega X,” jawab Aira, matanya bersinar dengan semangat.

“Mega X? Tempat apa itu?” tanya Lyra, bingung.

“Aku juga nggak tahu,” jawab Aira santai, masih terpesona dengan email yang baru saja diterimanya.

“Ya sudah, aku akan menemanimu,” jawab Lyra akhirnya, merasa sedikit lega melihat temannya yang begitu bahagia.

“Nggak mungkin aku biarin kamu sendirian di tempat yang nggak jelas gitu.”

Aira tersenyum lebar, merasa sangat beruntung punya sahabat seperti Lyra.

“Makasih, Ara! Kamu emang yang terbaik!”

Malam pun tiba, waktu menunjukkan pukul 8. Lyra dan Aira berdiri di depan pintu Mega X, memandangi papan nama besar yang menyala terang. Keduanya tampak kebingungan, memastikan kembali apakah benar ini tempat pertemuan dengan manajer artis kesukaan Aira.

“Aira, kamu yakin ini tempatnya?” tanya Lyra sambil mengerutkan kening, firasatnya mulai tak enak.

“Iya, aku sudah bertanya ke sopir taksi tadi. Dia bilang benar ini tempatnya,” jawab Aira, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Mereka mengamati gedung tersebut, melihat beberapa orang berpakaian mencolok keluar-masuk. Aira menarik tangan Lyra dengan semangat, mengajaknya masuk. Namun, sebelum masuk, seorang satpam menghentikan langkah mereka dan memeriksa kartu identitas. Setelah yakin, mereka diperbolehkan masuk.

Begitu melangkah ke dalam, Lyra mulai merasa tidak nyaman. Aroma alkohol bercampur dengan asap rokok menyambut mereka, sementara lampu warna-warni berputar, menyinari ruangan dengan suasana bising. Musik DJ yang memekakkan telinga menggema di seluruh tempat.

“Aira,” ujar Lyra dengan nada khawatir, menatap sekeliling dengan ekspresi jijik, “ini bar.”

Aira ikut mengamati sekeliling dan tampak mulai gugup. Ia menggenggam lengan Lyra dengan kuat, seakan mencari perlindungan.

“Lyra, ini memang kelihatan aneh, tapi kita sudah sampai sini. Aku telepon manajernya saja,” katanya. Ia menunjukkan emailnya lagi, seolah mencoba meyakinkan Lyra.

“Kau yakin ini ide bagus?” tanya Lyra, masih enggan, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi cepat. Kita duduk di situ dulu.”

Mereka menuju meja kosong di sudut ruangan. Lyra duduk dengan tubuh tegang, tatapannya terus mengawasi sekeliling. Sementara itu, Aira mencoba menghubungi manajer dari ponselnya.

“Aira, apakah orang itu akan datang?” tanya Lyra, yang mulai merasa tidak tenang.

Aira menggelengkan kepala dengan wajah lesu. “Nomornya sibuk.”

Mendadak, dari arah lain, lima pria mendekati mereka dengan senyum penuh arti. Lyra langsung menggenggam tangan Aira, matanya menajam.

“Kita pulang sekarang,” bisik Lyra, menarik tangan Aira.

Namun, kelima pria itu berdiri menghalangi jalan mereka. Salah satu dari mereka, dengan ekspresi melecehkan, berkata, “Mau ke mana, cantik? Baru datang sudah mau pergi?”

“Kalian siapa? Jangan halangi jalan kami,” tukas Lyra tegas.

Pria itu tersenyum mengejek, tangannya mencoba menyentuh dagu Lyra. “Galak sekali. Ayolah, kita minum bersama.”

Dengan sigap, Lyra menepis tangan pria itu dan menatapnya dingin. “Aku tidak tertarik. Minggir.”

Ketika Lyra mencoba berjalan, salah satu pria lain menarik lengan Aira. Aira ketakutan, wajahnya pucat. “Lyra, tolong aku,” katanya dengan suara gemetar.

Melihat temannya dalam bahaya, Lyra mendekat, matanya berkilat marah. “Lepaskan dia, atau aku akan berteriak.”

“Silakan, teriaklah,” ejek pria itu. “Di sini nggak ada yang peduli.”

Wajah Lyra memerah. Dengan gerakan cepat, ia melayangkan tendangan ke arah pria yang memegang Aira. Pria itu terjatuh ke lantai, meringis kesakitan. Lyra menarik Aira ke belakangnya, bersiap menghadapi yang lain.

“Aira, urus dua yang di belakang. Aku tangani tiga ini,” perintah Lyra tegas.

Aira mengangguk, meskipun tangannya masih gemetar. Mereka bergerak bersamaan, menampilkan keahlian bela diri yang mengejutkan para pria itu. Dalam waktu singkat, kelimanya terkapar di lantai, mengerang kesakitan. Lyra dan Aira saling tos, napas mereka terengah-engah.

Namun, perayaan itu tidak berlangsung lama. Sekelompok pria lain berlari ke arah mereka, jumlahnya jauh lebih banyak.

“Lari!” perintah Lyra singkat.

Mereka berlari melewati kerumunan, menaiki lift hingga lantai 70. Sesampainya di sana, Lyra melihat pintu bertanda "Toilet Rusak". Ia menarik Aira masuk dan mengunci pintu.

Di dalam, mereka bersembunyi, menahan napas. Suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Aira memeluk Lyra dengan erat, tangannya gemetar hebat.

“Aira,” bisik Lyra pelan, menatap temannya, “aku akan memancing mereka menjauh. Kau tetap di sini dan cari bantuan kalau sudah aman.”

Aira menggelengkan kepala, air matanya berlinang. “Tidak, Lyra. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian.”

“Kita tidak punya pilihan lain,” jawab Lyra tegas. “Percayalah padaku. Aku akan baik-baik saja.”

Setelah memastikan situasi di luar, Lyra membuka pintu perlahan dan berlari keluar, mengundang perhatian para pengejar. Mereka langsung mengejarnya, meninggalkan Aira sendirian di toilet rusak itu.

Aira menutup mulutnya, menahan tangis. Ia hanya bisa berdoa agar Lyra berhasil kembali dengan selamat.

Di sudut lain, sekelompok orang masih mengejar Lyra dengan semangat. Ia berlari sekuat tenaga, hingga kakinya terkilir dan membuatnya terjatuh di depan sebuah ruangan. Dari kejauhan, ia melihat beberapa orang yang masih mencarinya. Merasa tidak ada pilihan lain, Lyra melihat sekeliling dan memutuskan untuk mencoba ide gila.

Ia segera membuka pintu ruangan di depannya yang ternyata tidak terkunci. Lyra masuk dengan tergesa-gesa dan menutup pintu rapat-rapat. Tubuhnya bersandar pada pintu, sementara telinganya fokus mendengar suara langkah di luar. Orang-orang yang mengejarnya tampak mulai memeriksa setiap ruangan satu per satu. Kini, mereka sudah semakin dekat dengan tempat Lyra bersembunyi.

Dengan hati-hati, Lyra membalikkan badan. Ekspresinya langsung berubah saat menyadari ada beberapa orang di dalam ruangan itu. Mereka menatapnya dengan bingung, sementara Lyra hanya mampu tersenyum canggung. Ketegangan semakin meningkat karena suara langkah di luar ruangan semakin jelas.

Mata Lyra berkeliling dan mengenali salah satu orang di ruangan itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arahnya. “Maaf, aku dalam keadaan terdesak,” ucapnya dengan nada putus asa. Lyra langsung duduk di pangkuan pria tersebut, memeluknya erat, dan membenamkan wajahnya ke dada pria itu untuk menghindari orang-orang yang sednag mengejarnya.

Beberapa saat kemudian, orang-orang yang mengejarnya menerobos masuk. Namun, mereka terkejut saat mendapati bahwa ruangan tersebut diisi oleh orang-orang yang tampaknya bukan sembarang. Mereka langsung menunduk penuh hormat. Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk berbicara.

“Tuan, maaf mengganggu. Kami mendapat perintah untuk memeriksa ruangan ini. Ada seseorang yang sedang kami cari,” katanya hati-hati.

Lyra, yang masih memeluk pria itu, meremas kemejanya dengan tangan yang gemetar. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Tolong aku.”

Pria itu tersenyum tipis, lalu menatap orang-orang yang baru masuk dengan penuh wibawa. “Lancang sekali. Apakah ruangan ini pantas untuk kalian geledah tanpa izin?” katanya dengan nada tegas.

“Maaf, Tuan. Kami benar-benar minta maaf. Jika demikian, kami akan segera pergi,” balas mereka sembari menunduk hormat. Mereka pun segera meninggalkan ruangan.

Setelah mereka pergi, pria itu melirik Lyra dengan santai. “Apa kau akan terus memelukku?” tanyanya dengan senyuman samar.

Lyra langsung menatap pria itu dengan wajah merah, “Ah, maaf,” ujarnya sambil bergegas turun dari pangkuannya.

Pria itu tetap tersenyum ramah dan bertanya dengan nada lembut, “Kau baik-baik saja?”

Sebelum Lyra sempat menjawab, salah satu pria lain di ruangan itu angkat bicara. “Hey, gadis kecil. Kenapa kau dikejar?” tanyanya, penuh rasa ingin tahu.

Lyra hanya melirik pria tersebut sekilas, lalu kembali memandang pria yang telah menolongnya. Ia tampak ragu menjawab hingga tiba-tiba teringat Aira.

Wajahnya berubah panik. “Maaf, Pak Rayyan, saya masih ada urusan. Terima kasih sudah menolongku,” ucapnya terburu-buru sebelum bergegas keluar dari ruangan.

1
Yuliasih
kpn nie d up nya...
Yuliasih
keren
Chu-Chan
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!