Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Kericuhan Karena Kaivan
Kaivan, mengernyitkan keningnya saat Airin tak merespon ucapannya, tapi malah menyinggung soal bajunya. "Ada apa dengan bajuku?" tanyanya, suaranya datar tapi tegas.
Airin menggigit bibir bawahnya, sedikit gelisah. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ah, itu... sebaiknya kamu lepaskan kemejamu. Kami perlu membersihkan tubuhmu dan memastikan tidak ada luka yang terlewat, karena... bajumu sudah banyak yang sobek dan kotor," akhirnya Airin berkata, suaranya lirih namun terdengar tegas.
Nenek Asih menimpali, nada bicaranya penuh kelembutan. "Benar, Nak. Luka kecil pun harus kami periksa, siapa tahu ada yang kotor atau mulai infeksi. Jangan khawatir, kami hanya ingin membantu."
Kaivan terdiam sejenak, merasakan kehangatan di balik nada suara mereka. Meskipun ia masih diliputi kecurigaan, tidak ada alasan logis untuk menolak bantuan mereka dalam kondisi seperti ini. Akhirnya, dengan sedikit menghela napas, ia mengangguk kecil. "Baiklah," jawabnya singkat, lalu mulai melepaskan kemejanya perlahan.
Entah mengapa jantung Airin mulai berdegup kencang saat jemari Kaivan mulai melepas satu per satu kancing kemejanya. Ia menelan ludah dengan kasar ketika dada bidang dan perut sixpack pria itu terpampang jelas di hadapannya. Napasnya tertahan sesaat. Baru kali ini ia melihat bentuk tubuh pria yang, dalam pikirannya, nyaris sempurna.
Airin mencoba memalingkan pandangan, tetapi matanya kembali terpaku tanpa bisa ia cegah. Pipi gadis itu perlahan memerah, membuatnya tampak gugup.
Sementara itu, Nenek Asih yang mengamati dari dekat mengulum senyum kecil. Ia jelas melihat betapa cucunya terpesona oleh penampilan pria asing itu. Namun, dengan suara lembut, ia berusaha mengembalikan fokus Airin. "Airin, cepat ganti airnya dengan yang baru. Jangan terlalu lama melamun."
Airin tersentak mendengar teguran neneknya. "Ah, iya, Nek!" Ia cepat-cepat mengambil baskom yang airnya sudah kotor, hampir tersandung kakinya sendiri. Saat ia menjauh untuk mengganti air di baskom, wajahnya benar-benar merah, campuran antara malu dan gugup,
Kaivan, yang tidak bisa melihat, hanya diam, tidak menyadari kericuhan kecil yang disebabkan oleh tubuh atletisnya. "Apa ada luka di tubuhku, Nek?" tanyanya dengan nada datar, membuat Nenek Asih tersenyum tipis.
"Ada beberapa luka kecil, Nak," jawab Nenek Asih, masih dengan kelembutan khasnya.
Tak lama, Airin kembali dengan baskom berisi air bersih. Nenek Asih menoleh dan berkata dengan lembut, "Airin, kamu yang menyeka tubuh Nak Ivan. Nenek akan menyiapkan bubur hangat untuknya."
Airin mematung sejenak, memegang baskom dengan erat seolah itu menjadi tempat bersandarnya keberanian. "A-aku, Nek?" tanyanya ragu.
"Ya, siapa lagi? Jangan terlalu dipikirkan. Dia juga butuh dirawat," ujar Nenek Asih, tersenyum tipis sebelum meninggalkan ruangan.
Kini hanya ada Airin dan Kaivan. Gadis itu duduk perlahan di samping Kaivan, menatap pria itu yang duduk diam dengan wajah datarnya. Airin menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan debaran jantung yang semakin liar. Tangannya mulai mencelupkan kain bersih ke dalam air, namun sedikit gemetar saat mengangkatnya.
Saat kain itu menyentuh bahu Kaivan, Airin menarik napas dalam-dalam. Kaivan adalah pria pertama yang begitu dekat dan bersentuhan langsung dengannya. Meskipun masih dibatasi kain, tubuh atletis di depannya membuatnya sulit berkonsentrasi. Dada bidang, otot lengan yang kokoh, dan kulit putih hangat yang terasa di bawah sentuhannya benar-benar membuatnya grogi.
Kaivan yang duduk diam mulai menyadari keraguan Airin. "Apa aku menyulitkanmu?" tanyanya tiba-tiba, dengan nada datar namun penuh perhatian.
Airin tersentak. "T-tidak. Aku hanya... belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku tak pernah sedekat ini dengan seorang pria," jawabnya terbata, tapi jujur, berusaha menghindari tatapan Kaivan, meskipun pria itu tak bisa melihat.
Kaivan tersenyum tipis, nyaris tak kentara. "Terima kasih, Airin. Aku tahu ini pasti tidak mudah bagimu," ucapnya dengan nada tenang, namun tulus.
Airin tertegun sejenak. Suara Kaivan yang biasanya terdengar datar, bahkan terkadang terkesan dingin, kini terasa lebih hangat, seperti percikan kecil yang menenangkan kegugupannya. Ia mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil. "Nggak apa-apa. Hitung-hitung latihan mengurus suamiku nanti," selorohnya, meski ada nada malu-malu dalam suaranya.
Kaivan mengangkat sedikit alisnya, tapi tak menanggapi. Ia hanya diam, membiarkan Airin melanjutkan tugasnya.
Dengan hati-hati, Airin kembali mencelupkan kain ke dalam baskom, lalu menyeka tubuh Kaivan. Namun, matanya tak bisa sepenuhnya berpaling dari tubuh pria itu. Dada bidang dan otot-ototnya yang terlihat jelas membuat wajahnya merona semakin dalam. Ia berusaha keras menjaga fokusnya, meski jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.
Untuk sejenak suasana menjadi hening. Kaivan memiringkan kepalanya sedikit, sedari tadi mencoba membaca nada suara gadis itu dan neneknya. Batin kecilnya berkata untuk menaruh kepercayaan, tapi sisi lain dari dirinya masih bertahan. "Apa aku bisa percaya pada mereka?" Namun, untuk saat ini, ia memilih untuk tetap diam dan menerima kebaikan mereka.
Kendati demikian, setiap gerakan lembut Airin dan neneknya membuatnya sulit mempertahankan dinding emosinya yang dingin. Sentuhan tangan Airin yang hati-hati dan kelembutan suara Nenek Asih perlahan melunturkan kecurigaannya. Dalam kegelapan yang menyelimuti penglihatannya, setiap sentuhan Airin dan neneknya membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Kaivan menghela napas pelan. "Kita tak saling mengenal, mengapa kamu berusaha payah menolongku? Kenapa kalian begitu peduli padaku?” Suaranya serak dan berat, tapi tetap terdengar penuh ketegasan.
Airin yang masih membersihkan tubuh Kaivan, menatap pria itu dengan tatapan tenang. "Kenapa kamu menanyakan itu lagi? Jika aku melihat kucing terluka di pinggir jalan, aku pasti menolongnya, apalagi kamu manusia, mana mungkin aku membiarkan kamu mati begitu saja. Itu saja.”
Kaivan menunduk, sejenak merenung. Sesuatu dalam kata-kata Airin membuatnya terdiam, meski ia tak ingin mengakui ada sedikit rasa hangat yang muncul dari perlakuan Airin dan neneknya. Setelah beberapa saat, Kaivan menatapnya dengan pandangan kosong, meskipun ia tak dapat melihat. “Baiklah, sekali lagi terima kasih,” katanya pelan, tanpa ekspresi, namun jelas ada perubahan dalam nada suaranya.
"Hum," sahut Airin seraya meletakkan kain basah yang baru ia peras di baskom, memandang Kaivan yang kini sudah bersih dari lumpur sungai. Airin memperhatikan pria yang duduk di sampingnya dengan cermat. Meski wajahnya penuh goresan dan sebagian besar tertutup oleh brewok yang lebat, namun semua itu tidak bisa menutupi wajah tampannya. Hidungnya yang mancung, mata hitam legam dengan sorot yang tajam meski kini terlihat lelah, alisnya yang tebal, serta bibirnya, ah, bibir itu. Ada sesuatu yang membuatnya terlihat... seksi.
Airin menunduk cepat, menyadari pikirannya mulai melantur. Ia menggelengkan kepala kecil-kecil, mencoba mengalihkan perhatian pada luka-luka di tubuh pria itu. "Apa yang sedang kupikirkan? Fokus, Airin," gumamnya dalam hati sambil mengambil kain bersih untuk menyeka luka di pelipisnya. Namun, mata itu... meski tertutup sesaat, seperti memiliki daya tarik yang tak bisa ia abaikan.
"Siapa sebenarnya pria ini?" pikir Airin sambil melirik sekilas ke arah Kaivan. Tubuhnya putih bersih dan nampak terawat, terlalu kontras dengan keadaan yang ditemuinya di pinggir sungai. "Apa dia orang kaya? Tapi, meski tidak kaya, orang kota memang biasanya kulitnya putih, 'kan? Lalu kenapa dia bilang tak ada yang bisa dihubungi? Apa dia sebatang kara?" gumamnya dalam hati, rasa penasaran menguasai dirinya.
Ia menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba mengabaikan pikiran-pikiran itu. Namun, tatapan kosong pria di depannya, meski tak bisa melihat, seolah menyimpan sesuatu yang ingin ia ketahui lebih dalam.
Airin, nenek Asih dan Kaivan tak menyadari, sejak Airin membawa Kaivan pulang tadi, sepasang mata tajam terus mengawasinya dari balik rerimbunan pohon. Sosok itu berdiri diam, membaur dengan bayang-bayang mentari yang sedikit tertutup awan. Sebuah senyum tipis namun penuh arti terukir di wajahnya.
Sosok itu melangkah mundur perlahan, menjauh tanpa suara, bayangannya menghilang di antara pepohonan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
melek o Bramantyo....lihat dengan benar , mana yang baik dan mana yang buruk . tapi nyatanya usia tak bisa membuatnya bijaksana .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
okeeee..... lanjutkan saja , maka Kaivan tak akan tinggal diam .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
udah tau punya istri malah kamu dekati...kan kakeknya yang suka,bukan Kaivan nya 🤣🤣🤣
nikah gih ma kakeknya...