"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Siri
Satu minggu berlalu setelah kematian Elma. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sekarang Elma sudah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Dia sudah menyusul ibu ke surga sana.
Kepergian Elma masih menyisakan kepedihan dalam hati kami; aku dan ayah. Begitu pula dengan keluarga Niklas. Lebih-lebih lelaki itu. Mungkin Niklas tidak mengatakan secara langsung, tetapi tindak-tanduk dan wajah tanpa ekspresinya menunjukkan hal itu.
Keputusan untuk menikahkan aku dan Niklas tidak bisa digagalkan. Mereka benar-benar ingin memaksa aku dan Niklas melakukannya. Ya, Tuhan! Padahal Elma belum lama pergi. Baru satu minggu. Namun, mengapa? Mengapa mereka tega?
Om Sandy hari itu—saat kami membicarakan rencana pernikahan—pernah berkata, "Untuk itu, San. Kita akan mengadakannya dengan sangat tertutup. Niklas juga sudah setuju."
Saat itu aku melirik Niklas yang tampak tidak minat dengan pembicaraan kami. Semakin menyedihkan karena kami bicara di rumah Niklas, di mana kenangan Elma masih ada di setiap sudut rumah itu. Tidakkah para orang tua menyadari bahwa itu hanya akan melukai Niklas?
"Tanpa catatan resmi secara hukum dan negara. Jadi, maksudnya kami akan menikah siri?" kataku sembari menatap semua orang yang ada di ruangan itu.
Tak ada yang berkomentar, sibuk saling memandang satu sama lain. Oh, sepertinya hanya aku yang tidak tahu apa pun. Hanya aku yang bodoh di sini.
Aku terkekeh kecewa kala itu. "Haruskah kalian melakukannya sejauh ini?"
Niklas tiba-tiba berdiri setelah aku melempar pertanyaan. "Kalau kamu tidak setuju, kita bisa membatalkan pernikahannya."
"Hei," Tante Julia menegur sang anak. Dia duduk di dekatku saat itu dan menggenggam kedua tanganku. "Kalian bisa meresmikan pernikahan setelah anak itu lahir, Tsania. Ini terlalu cepat, jadi lebih baik kalian menikah seperti itu dulu."
"Kalau ini terlalu cepat, kenapa harus memaksa kami menikah?!" Suaraku meninggi. Aku mengerling pada Niklas yang sama sekali tidak menampilkan ketertarikan akan hal ini. "Kalian semua hanya ingin memperalat aku."
Semua orang terdiam setelah aku melontarkan kalimat tersebut. Oh, pantas saja ... pantas mereka memperlakukan aku semaunya. Bahkan Ayah pun tidak berkomentar, memilih membisu. Karena apa? Karena aku bukanlah darah dagingnya.
"Tidak ada yang seperti itu, Tsania," Om Sandy menyeletuk. "Kalian akan menikah secara resmi setelah anak itu lahir. Ini untuk menghormati Elma."
Apa? Apa maksudnya? Kenapa aku tidak bisa mencerna maksud mereka? Kupandangi mereka satu per satu. Kemarahan membakar rongga dadaku saat menatap Niklas. Padahal satu minggu yang lalu aku jelas-jelas menolak.
Inikah yang dia maksud? Dia sedang menghukumku?
"Siapa yang mengusulkan ini? Maksudku untuk menikah siri seperti ini?" tanyaku.
Tiga pasang mata lainnya melirik Niklas yang terlihat angkuh karena wajah datarnya yang tanpa ekspresi. Aku meradang seketika, perasaanku terasa sakit oleh kemarahan. Dia benar-benar ingin menikah, tetapi menyembunyikan pernikahan. Kalau aku tidak kunjung bisa hamil, aku akan dibuang. Jika aku hamil dan anakku lahir, pernikahan kami tidak akan dibuat resmi, tetapi aku akan diceraikan.
Aku sudah tidak punya cara untuk lari lagi. Permintaan terakhir Elma menjebakku. Akan aku ikuti permainan Niklas jika memang ini bisa menebus kesalahan dan kejahatanku di masa lalu.
Aku mendekati Niklas yang terdiam memandangiku tampak tidak minat. "Kalau kamu sangat ingin aku menebus kesalahanku dengan cara ini, akan aku lakukan, Niklas."
——oOo——
Aku dan Niklas menikah hari ini. Disaksikan oleh pihak keluarga. Tokoh masyarakat setempat menikahkan kami. Benar-benar tanpa melibatkan hukum negara yang sah. Seperti apa yang diinginkan oleh Niklas.
Sesaat setelah akad pernikahan, aku dibawa pulang menuju rumah Niklas dan Elma. Ya, rumah yang akan aku tempati adalah rumah dengan banyak sekali kenangan Elma di sana. Bagaimana bisa aku bertahan menjalani kehidupanku di rumah yang bahkan masih terasa keberadaan Elma di sana? Yang ada aku akan terus dihantui oleh kakakku.
"Maafkan Ayah, Tsania," kata Ayah sebelum pulang.
Tentunya aku akan ditinggalkan di rumah ini bersama Niklas. Sesuatu yang sangat tidak aku inginkan sejak Elma dan lelaki itu berpisah. Aku menghargai Niklas sebagai suami Elma, lalu sekarang lelaki itu malah menjadi suamiku.
"Sudahlah, Ayah. Aku memang harus melakukan ini dan tidak punya pilihan lain, 'kan? Kalian tidak akan membiarkan aku bersikeras untuk menolak," jawabku.
"Kamu salah paham, San. Elma-lah yang menginginkan ini. Kami juga terkejut saat Elma mengucapkan keinginan itu. Kamu pikir Niklas akan menerimanya dengan cepat? Dia memprotes, tetapi Elma bersikeras. Beginilah cara Niklas mencintai Elma, dia menerima keinginan istrinya meski bagi dia itu menyakitkan."
"Ayah pikir ini tidak menyakitkan untukku?"
Kedua mataku menatap Ayah dengan sedikit mengabur karena mataku mulai berkaca-kaca. Jika mereka pikir Niklas terluka, maka aku juga! Aku juga menderita.
"Dulu kamu mengalah untuk Elma," kata Ayah seraya beranjak dari sisi ranjang. "Sekarang saatnya Elma menebus kesalahannya."
"Aku bahkan nggak mau mengingat itu, Ayah. Semua yang aku putuskan di masa lalu sudah terjadi dan aku berusaha mengikhlaskannya."
Lagi-lagi aku diabaikan. Ayah hanya menepuk pundakku dengan lembut dan bergegas keluar dari kamar yang aku tempati. Tentu bukan kamar yang pernah ditempati Niklas dan Elma. Kamar itu telah dikunci dengan rapat dan semua kenangan Elma dan Niklas tersimpan erat pula di sana.
Aku bersandar pada kepala ranjang, memijat pelipis yang terasa pusing. Menyebalkan sekali saat menyadari aku juga harus melepas kebaya dan menghapus riasan di wajahku—yang sebenarnya tidak terlalu tebal. Di sisi lain, aku merasa lelah. Bukan karena seharian bekerja berat, tetapi karena beban masalah dan kesedihan yang masih menimpa.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Niklas muncul dari sana, mengalihkan atensiku. Tanpa melihatku, dia melepas jas dan mengambil baju ganti, lalu masuk ke kamar mandi. Suami-istri macam apa yang harus hidup seperti ini?
"Sampai kapan aku harus menjalani ini?" gumamku, "bahkan setelah kamu tiada, kamu tetap menyakitiku, El. Kamu menempatkan aku dalam situasi menyakitkan yang sulit."
Wajah Elma terbayang-bayang dalam benakku. Lalu, mendadak perasaanku nyeri kembali. Untung saja Niklas keluar dari kamar mandi, menggagalkan kesedihanku. Aku bisa saja menangis lagi untuk yang ke sekian kali.
Tidak, aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis dan terlihat lemah di depan Niklas atau dia hanya akan menganggap aku akan lebih mudah ditindas.
"Aku hanya akan datang ke sini saat kita akan melakukannya," ucap Niklas tiba-tiba.
Melakukannya? Ah, aku tahu ke mana arah pembicaraan. Tentu saja ... anak. Jika Niklas ingin aku mengandung, aku dan dia harus bersetubuh. Kami harus melakukan hubungan yang lebih intim.
"Sebaiknya kamu cepat mengandung agar kita nggak menunda perpisahan," imbuhnya.
Aku berdecih sesaat. "Memangnya kamu pikir aku ini Tuhan yang bisa mengatur seenaknya kapan aku harus hamil? Jangan gila, Niklas!"
"Kalau kamu tidak bisa hamil juga, kamu tau kan apa yang akan terjadi?" tanyanya.